
Perikanan skala kecil di Brasil. Foto : Pixabay
VANCOUNVER, BERITALINGKUNGAN.COM– Di kedalaman samudra, tersembunyi kekayaan mineral yang menggiurkan. Namun, ketika manusia mencoba menggali kekayaan tersebut lewat praktik deep-sea mining (DSM) atau penambangan laut dalam, risikonya bukan sekadar ekologi.
Sebuah studi baru mengungkap bahwa DSM dapat menjadi bom waktu yang mengancam lingkungan, ekonomi global, dan kehidupan masyarakat pesisir — terutama negara-negara kepulauan kecil.
Dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE, studi ini merupakan kolaborasi para peneliti dari University of British Columbia (UBC) dan Dona Bertarelli Philanthropy, dan menyoroti bahwa dampak negatif DSM bisa meningkatkan kerentanan pesisir hingga 13 persen—angka yang dikategorikan sebagai risiko besar.
“Risiko DSM jauh melampaui degradasi lingkungan,” ujar Prof. Rashid Sumaila, ahli ekonomi kelautan dari UBC seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman resmi University of British Columbia (16/04/2025).
“Dampaknya menjalar hingga ke ekosistem laut, komunitas adat, hingga industri asuransi dan investasi.”katanya.
Ketika Alam Tak Bisa Menegosiasikan Premi
Dampak ini terasa nyata di wilayah seperti Florida, Amerika Serikat, yang kini dihantam banjir, badai, dan kenaikan permukaan laut. Perusahaan asuransi mulai hengkang, meninggalkan warga dalam ketidakpastian.
“Bayangkan jika risiko banjir di wilayahmu naik 11 persen. Efeknya? Perusahaan asuransi mundur,” kata Dr. Lubna Alam, peneliti utama studi ini. “Dan sayangnya, alam tak bisa menegosiasikan premi asuransi.”imbuhnya.
Risiko ekonomi lainnya pun mencuat: pelanggaran kontrak, kerugian investasi, bahkan ancaman terhadap stabilitas keuangan global. Negara-negara kepulauan kecil (SIDS) seperti Kiribati, Tuvalu, dan Fiji yang bergantung pada laut kini menghadapi tantangan besar — dari turunnya peringkat kredit negara hingga makin mahalnya biaya pinjaman untuk pembangunan infrastruktur dan adaptasi iklim.
“Kami melihat negara-negara kecil mulai kehilangan dukungan dari asuransi swasta,” ungkap K. Pradhoshini, peneliti independen dari India.
“Pemerintah terpaksa mengambil alih, namun dengan perlindungan yang terbatas.”tambahnya.
Dampak Langsung pada Perikanan dan Pariwisata
Penambangan laut dalam bukan hanya menimbulkan kerusakan habitat, tetapi juga mengganggu rantai pasok pangan laut. Zona Clarion-Clipperton di Samudra Pasifik, target utama DSM, adalah wilayah perikanan tuna paling produktif di dunia.
“Kenaikan suhu laut sudah mendorong migrasi tuna ke timur,” ujar Prof. Sumaila. “Jika habitatnya terganggu oleh suara bising, cahaya, dan limbah logam dari DSM, hasil tangkapan bisa anjlok. Negara-negara Pasifik bisa kehilangan $140 juta per tahun pada 2050.”ungkapnya.
Dan bukan hanya ikan. Industri pariwisata bahari juga terancam oleh perubahan kualitas air, hilangnya terumbu karang, dan gangguan ekosistem laut.
Alternatif: Ekonomi Sirkular
Dalam menghadapi krisis ini, para peneliti menyerukan pergeseran menuju ekonomi sirkular: sistem yang menekankan daur ulang, pemanfaatan kembali, dan pengurangan ketergantungan terhadap sumber daya baru.
“Kami sudah bisa mengekstrak hampir semua litium dari baterai kendaraan listrik bekas, Teknologi seperti ini bisa memenuhi permintaan logam tanpa mengorbankan laut.” kata Prof. Sumaila.
Dengan mengoptimalkan potensi urban mining dan rekayasa daur ulang, dunia bisa memenuhi kebutuhan industri tanpa membayar harga mahal berupa kerusakan alam. “Ekonomi sirkular bukan utopia, Ini solusi nyata untuk masa depan yang berkelanjutan.” ” tegas Prof. Sumaila (Marwan Aziz).