Ketika AI Menatap Bintang, Penemuan Baru untuk Mengintip Kejadian Terliar di Alam Semesta

Berita Lingkungan Jelajah Riset Terkini

Ilustrasi peristiwa gelombang gravitasi pertama yang diamati oleh LIGO. Bentuk gelombang yang terdeteksi dari LIGO Hanford (oranye) dan LIGO Livingston (biru) ditumpangkan di bawah ilustrasi penggabungan lubang hitam. Foto : Aurore Simmonet (Universitas Negeri Sonoma), Atas izin Laboratorium Caltech/MIT/LIGO.

BERLIN, BERITALINGKUNGAN.COM– Bayangkan dua lubang hitam raksasa, masing-masing jutaan kali lebih berat dari matahari, melaju dan akhirnya bertabrakan dalam dentuman kosmis yang mengirimkan riak melalui ruang dan waktu itu sendiri.  Gelombang gravitasi, begitu para ilmuwan menyebutnya.

Gelombang tak terlihat namun terukur, pertama kali diprediksi oleh Einstein lebih dari seabad lalu. Dan kini, dengan bantuan kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI), manusia tidak hanya dapat mendeteksinya, tetapi juga merancang alat pengamatnya dengan cara yang bahkan tak terbayangkan oleh pikiran manusia.

Di Max Planck Institute for the Science of Light (MPL), Jerman, sebuah tim ilmuwan yang dipimpin oleh Dr. Mario Krenn sedang mengubah lanskap observasi kosmos. Bersama LIGO—observatorium interferometer laser pencatat gelombang gravitasi pertama di dunia.

Mereka menciptakan Urania, sistem AI yang tidak hanya mengikuti jejak manusia dalam merancang detektor gelombang gravitasi, tapi juga menciptakan jalur baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

“Setelah dua tahun, kami menemukan puluhan solusi desain baru yang tampaknya melampaui rancangan terbaik yang dibuat manusia,” ungkap Krenn seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Max Planck Institute for the Science of Light (17/04/2025). Nama Urania, yang diambil dari nama dewi astronomi dalam mitologi Yunani, sang AI telah menemukan cara baru untuk menatap langit malam.

Revolusi Diam dalam Gelombang

Gelombang gravitasi sangat sulit untuk ditangkap. Mereka begitu halus, nyaris tidak mengubah apa pun—kecuali bahwa kita tahu, di balik getaran kecil itu, ada ledakan bintang, tabrakan lubang hitam, dan kilatan misterius dari zaman awal semesta.

Untuk melihatnya, dibutuhkan detektor luar biasa rumit, seperti LIGO. Tapi rancangan detektor bukanlah teka-teki sederhana. Ia adalah ruang kemungkinan tak terbatas dari parameter optik hingga bentuk interferometer, setiap variabel bisa mengubah hasil secara drastis. Maka tim MPL mengubah tantangan ini menjadi teka-teki matematis besar yang diserahkan kepada AI. Hasilnya? Tak terduga.

Urania tidak hanya mengkonfirmasi teknik yang telah dikenal, tetapi juga menawarkan rancangan-rancangan “nonkonformis”, tak sesuai pakem, bahkan membingungkan para ilmuwan. Namun performanya unggul, beberapa rancangan AI ini bahkan mampu meningkatkan jangkauan detektor lebih dari sepuluh kali lipat.

Kebun Binatang Detektor

Sebanyak 50 desain terbaik dari Urania kini disusun dalam “Detector Zoo” kumpulan rancangan eksperimen publik yang terbuka untuk dijelajahi ilmuwan dari seluruh dunia. Beberapa di antaranya begitu asing sehingga masih belum dimengerti sepenuhnya oleh manusia.

“Kita memasuki era di mana mesin dapat menemukan solusi super manusia dalam sains, dan tugas manusia adalah memahami apa yang telah ditemukan mesin,” ujar Krenn. Dalam pernyataan ini, tergambar masa depan sains yang tak lagi hanya soal eksperimen laboratorium, melainkan juga tentang dialog kreatif antara manusia dan mesin.

Masa Depan Ilmu Pengetahuan yang Berpikir Sendiri

Penelitian ini tidak hanya relevan untuk observasi kosmis, tapi juga membuka pintu bagi AI dalam merancang alat-alat ilmiah lain dari mikroskop partikel hingga teleskop luar angkasa generasi berikutnya.

Di dunia di mana ilmu pengetahuan kadang berjalan lambat karena keterbatasan pikiran dan sumber daya manusia, AI seperti Urania hadir sebagai mitra yang tak pernah lelah mengeksplorasi. Di tangan algoritma, semesta bukan lagi misteri yang menunggu dipecahkan, tapi ladang ide yang bisa dibuka oleh kreativitas mesin.

Dan seperti langit malam yang tak pernah kehabisan bintang, masa depan observasi alam semesta tampaknya tak akan kehabisan kejutan (Marwan Aziz).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *