JAKARTA, BL- Warga Batang dari Paguyuban UKPWR kemarin kembali melakukan aksi dan menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan PLTU batubara Batang di desa mereka. Aksi kali ini ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Ratusan caping dan cangkul digunakan sebagai atribut dalam aksi ini. Mereka menyerukan kepada Presiden Jokowi agar mendengarkan rakyat bukan promotor energi kotor. Warga juga meminta Presiden untuk menghentikan pembangunan PLTU batubara Batang dan membangun energi yang lebih bersih dan aman untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi pembangunan.
Warga Batang menyampaikan aspirasi ini langsung di depan Istana Merdeka, dengan harapan agar suara dan aspirasi mereka didengar dan diperhatikan oleh Presiden Joko Widodo. Warga berharap Jokowi memenuhi janji kampanyenya untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat, mencapai kedaulatan pangan dan mewujudkan kedaulatan energi di Indonesia.
“Kami berharap Bapak Jokowi mau mendengar dan memperhatikan suara kami, sesuai janji beliau dulu waktu berkampanye di Batang. “Saya akan terus mempertahankan lahan pertanian saya sampai kapan pun, saya menentang pembangunan PLTU Batang karena saya tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan petani dan nelayan di sekitar PLTU Cilacap, Cirebon, dan Jepara,” kata Cayadi, salah seorang warga Batang.
Hampir empat tahun lamanya, warga Batang telah melakukan berbagai cara untuk menolak rencana pembangunan proyek dengan energi kotor batubara ini. Selain lebih dari 25 aksi yang mereka lakukan, mereka juga telah beraudiensi dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, DPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga berkunjung langsung ke Jepang untuk menyampaikan alasan penolakan mereka secara langsung pada J-Power dan Itochu perusahaan Jepang yang memenangkan tender. Mereka juga menemui JBIC (Japan Bank for International Cooperation) pendana proyek ini melalui pinjaman sekitar 30 Triliun Rupiah.
Setidaknya lima desa di Batang akan terkena dampak negatif proyek ini, yaitu Desa Karanggeneng,Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng, dan Roban. Proyek raksasa ini akan menggunakan lahan seluas 226 hektar, yang mencakup lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis, dan perkebunan melati.
Bukan hanya itu, PLTU batubara ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan salah satu kawasan kaya terumbu karang dan wilayah tangkapan ikan yang paling kaya bagi nelayan di Pantai Utara Jawa.
“PLTU batubara Batang ini salah satu contoh proyek yang dapat mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian Indonesia, dan mempercepat laju perubahan iklim global. Proyek ini mengancam mata pencaharian puluhan ribu masyarakat yang terdiri atas petani, nelayan, serta masyarakat lain tergantung mata pencahariannya dari pertanian dan perikanan tangkap,” kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Arif mengatakan, untuk menyediakan listrik bagi masyarakat Indonesia, pemerintah seharusnya tidak membahayakan ratusan ribu mata pencaharian dan kesehatan warga lokal, kestabilan iklim bumi. Solusi energi untuk Indonesia adalah energi terbarukan yang aman dan bersih.
“Kedaulatan energi di Indonesia tak akan mungkin tercapai selama pemerintah masih terus melanjutkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil kotor seperti batubara, dan mengabaikan potensi berlimpah energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan”, tambah Arif.
Menurut Arif, pembangunan PLTU bertenaga batu bara ini bertentangan dengan visi Presiden Joko Widodo dalam Nawacita, yaitu mencapai kedaulatan pangan dan mewujudkan kedaultan energi. “Sudah saatnya Presiden Joko Widodo memimpin revolusi energi dengan memilih sumber energi terbarukan yang lebih baik aman dan lebih hijau berkelanjutan, bukan memilih batu bara sebagai kontributor terbesar perubahan iklim dan peyebab utama polusi udara mematikan di dunia,”tandasnya (Wan)
–>