KENDARI, BERITALINGKUNGAN.COM- Maraknya aktivitas pertambangan yang merusak kawasan hutan memperparah bencana banjir di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pandangan tersebut disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Saharuddin menduga terulangnya bencana banjir dibeberapa daerah di Sultra, karena tidak terkontrolnya pembukaan kawasan lahan hutan yang terus diobok-obok oleh aktifitas pertambangan dan pembukaan lahan untuk area perkebunan. Khususnya terjadi di Kabupaten Konawe Utara.
WALHI mencatat setiap tahun ada 8,8 persen wilayah hutan di Konut, hilang dan ini terjadi sejak tahun 2000 s.d 2019.
Akibatnya, saat musim hujan tiba sangat potensi dilanda banjir bandang karena sudah hilang sumber utama resapan air. Kondisi ini pula yang menguatkan indikasi penyebab banjir besar di tiga wilayah seperti di Konawe Utara, Konawe, dan Kolaka Timur.
Olehnya itu, WALHI meminta kepada Pemprov Sultra dan Pemkab yang terdampak banjir untuk mereview Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang jumlahnya masih cukup banyak.
“Yah, data kita setiap tahun lahan hutan di Konut hilang 8,8 persen dan sudah terjadi sejak tahun 2000 s.d 2019,” ungkap Saharuddin, seperti dikutip dari detiksultra.com.
Dari data WALHI tahun 2014 lalu, terpublikasi ada 136 IUP di Konut dan tahun 2015 ada 19 Izin Perkebunan Sawit yang tersebar di Konawe, Konawe Utara hingga perbatasan Sultra dan Sulteng.
“Tingginya pembukaan lahan tak diiringi perlakuan reklamasi, sehingga tak ayal wilayah tersebut masuk kategori darurat ekologis,”ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan data yang dikutip dari laman BNPB, banjir di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara mengakibatkan 1.091 KK atau 4.198 jiwa mengungsi. Enam kecamatan terimbas banjir adalah Andowia, Asera, Oheo, Landawe, Langgikima, dan Wiwirano. Kecamatan Asera merupakan kecamatan dengan jumlah desa terdampak paling tinggi yaitu 13 desa. Banjir ini juga mengakibatkan 72 rumah hanyut dan ribuan lain terendam.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Konawe Utara masih melakukan pendataan di lapangan. Kerusakan sektor pertanian mencakup lahan sawah 970,3 ha, lahan jagung 83,5 ha dan lainnya 11 ha, sedangkan sektor perikanan pada tambak seluas 420 ha.
Di samping itu, kerusakan fasilitas umum teridentfikasi berupa jembatan, jalan, rumah ibadah dan fasilitas kesehatan. BPBD setempat melaporkan jembatan penghubung Desa Laronanga ke Desa Puwonua hanyut, jembatan lain di Desa Padalerutama tidak dapat dilalui karena terendam banjir, jembatan putus yang menghubungkan Desa Tanggulari ke Desa Tapuwatu dan jembatan antar provinsi di Asera. Kerusakan bangunan lain berupa masjid 3 unit, puskesmas 2 unit dan pustu 2 unit. (DS/DC/Wan)