Oleh : Andy Hendraswanto*
Sesungguhnya hidup kita di bumi ini sangat bergantung pada kemurahan alam ini kepada kita. Tuhan telah menciptakan bumi dan seisinya dengan ukuran yang teliti dan sempurna.
Keseimbangan yang terjadi dalam setiap proses ekologi yang terjadi di bumi merupakan penopang bagi kehidupan manusia setiap harinya. Manusia sebagai makhluk yang terbatas kemampuannya ini tidak akan mampu mengembalikan keseimbangan alam yang telah diusik dengan tangan-tangan jahil manusia itu sendiri dengan mengatasnamakan industrialisasi dan atau modernisasi.
Kita bisa melihat dan mengakui bahwa industrialisasi telah membawa tahap kemajuan ekonomi bagi penghuni planet biru ini yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Berkat revolusi teknologi dalam industrialisasi, sebagian manusia dapat menikmati derasnya arus hedon kemakmuran dalam bentuk gaya hidup yang konsumtif.
Terlebih lagi tatkala logika produksi barang dan jasa saat ini sudah mengutamakan bagaimana produk dan jasa itu dikonsumsi dan bagaimana caranya produk dan jasa itu bisa dikonsumsi sebanyak banyaknya. Sehingga pencitraan produk melalui iklan dan agensi iklan merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan konsumsi massal.
Demikian pula ketika manusia mulai mengenal dan menggunakan alat pendingin ruangan baik di dalam mobil maupun di dalam rumah sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern. Alat tersebut banyak diminati oleh masyarakat terutama dari kalangan kaya dan kalangan menengah atas.
Namun sayangnya, teknologi air conditioner itu menjadi biang menipisnya lapisan ozon di stratosfer.
Proses penipisan lapisan ozon yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari radiasi ultraviolet B ini tak lepas dari kandungan bahan chlorofluorocarbon (CFC) yang disinyalir dapat berpotensi merusak keseimbangan reaksi pembentukan dan penguraian ozon di atmosfer seperti yang tergambar jelas dalam diagram empat reaksi Chapman yang sudah terkenal itu.
Rusaknya keseimbangan tersebut tak lepas dari sifat molekul ozon sebagai oksidator yang kuat sehingga mudah bereaksi dengan senyawa lainnya. Mengingat, volume pelepasan zat CFC ke atmosfer dimasa lalu (sekitar tahun 70-an) cukup massif tentu hal ini sangat berdampak pada semakin meluasnya proses penguraian ozon dimana konsekuensinya lapisan ini secara visual makin menipis atau berlubang.
Penipisan lapisan ozon inipun berdampak pada pemanasan global akibat efek rumah kaca yang ditimbulkannya.
Guna mengantisipasi makin menipisnya lapisan ozon, atas dasar kesadaran bersama dunia internasional menyepakati penghentian produksi dan konsumsi zat yang dapat merusak lapisan ozon seperti yang termaktub dalam Protokol Montreal.
Melalui protokol ini, setiap negara yang meratifikasinya berkewajiban mencegah masuknya bahan perusak ozon (BPO) di negaranya serta berkomitmen menghentikan segala bentuk produksi dan konsumsi yang berpotensi dapat merusak lapisan ozon.
Yang menjadi pertanyaan kritisnya adalah bagaimana cara menyusun mekanisme kontrol bersama antarnegara secara kolektif dan transparan terhadap upaya penghentian tersebut sehingga penggunaan CFC dan BPO lainnya benar-benar hilang dari peredaran di pasar secara internasional.
Good will bersama antarnegara peratifikasi protokol Montreal dan upaya kontrol yang kuat tentu saja berguna untuk memastikan bahwa proses penyembuhan lapisan ozon bisa kembali dalam kondisinya seperti sedia kala sebelum tercemar cfc. Sehingga peringatan hari ozon internasional yang setiap tahun berlangsung secara meriah itu tidak berjalan sekedar seremonial belaka namun benar-benar menjadi aksi nyata bersama untuk menyembuhkan lapisan ozon.
Lantas, siapa salah satu makhluk yang terdampak langsung dari akibat menipisnya lapisan ini? Ya, tentu saja manusia, wa bil khusus kesehatan manusia. Akibat berlubangnya lapisan ozon, pelepasan sinar UV B dapat secara langsung meningkatkan level UV Indeks.
Level yang makin meningkat jelas berpotensi menurunkan kualitas kesehatan manusia terutama pada masalah kesehatan kulit dan mata.
Bahkan, salah satu badan resmi pemerintah US yaitu EPA melakukan warning untuk mengantisipasi dampak paparan sinar UV B yang dapat meningkatkan resiko kanker kulit dan katarak.
Resiko penyakit ini bagi penduduk di negara tropis seperti Indonesia terutama pada musim kemarau berpotensi meningkat dan perlu antisipasi nyata secara bersama antara pemerintah, dunia usaha, dunia kampus, dan masyarakat sipil. Salah satu bentuk antisipasi secara nyata adalah dengan memperkuat pelayanan BPJS Kesehatan terutama untuk penyakit-penyakit yang timbul akibat paparan langsung radiasi UV B.
Dengan skema perlindungan kesehatan ini merupakan bentuk komitmen dan bukti adanya upaya serius dalam pemenuhan hak-hak Sosial warga negara oleh pemerintah selama lapisan ozon belum pulih total.
Selama lapisan ozon belum pulih pada kondisi normalnya maka kewaspadaan terhadap dampak buruk terutama dampak langsung paparan radiasi UV B harus tetap di siapsiagakan agar produktifitas masyarakat tidak terganggu secara nasional.
*Penulis adalah kontributor Beritalingkungan.com berdomisili di Jember.