JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Setelah mengalami penundaan hampir dua bulan lamanya, persidangan Judicial Review UU Minerba kembali digelar pada hari ini, Rabu, 5 Januari 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden Joko Widodo. Pada persidangan ini, Presiden membacakan keterangan yang diwakili oleh Dirjen Minerba, Ridwan Djamaluddin.
Tim advokasi UU Minerba Lasma Natalia menilai, persidangan kelima Judicial Review UU Minerba secara benderang mempertontokan bahwa pemerintah mengabaikan dampak kerusakan dari aktivitas pertambangan yang dialami oleh masyarakat.
Pemerintah bahkan tidak merespon dan tidak menyampaikan lebih jelas terkait jaminan tata ruang. Itu semakin menguatkan dugaan bahwa pengaturan terkait jaminan tata ruang bertentangan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
“Perlindungan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara diwujudkan melalui kebijakan pemerintah dan UU, namun dari UU Minerba kita bisa lihat bahwa pemerintah mengenyampingkan perlindungan hak warga negara, khususnya hak berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup,” katanya.
Lasma menambahkan, “Pemerintah tidak serius merespon permohonan pengujian UU dimana dalam keterangan yang disampaikan dalam sidang JR minerba, ternyata tidak menguraikan dengan jelas problem pemberian jaminan tata ruang yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup.”
Pemerintah hanya menyebut bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing dan bukan merupakan pihak yang terkena dampak dari Undang-Undang Minerba. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan partisipasi masyarakat yang selama ini dirugikan akibat pertambangan.
Tim advokasi UU Minerba Muhammad Jamil mengatakan, WALHI dan JATAM Kaltim merupakan organisasi yang sudah berperkara puluhan kali dan diakui oleh pengadilan. Sedangkan Nur Aini dan Yaman merupakan warga yang terdampak langsung akibat kehadiran industri tambang di wilayah mereka.
Keterangan pemerintah di persidangan telah menunjukkan betapa mereka mengabaikan hak warga saat merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan sumber daya pertambangan, khususnya mineral dan batubara.
“Seolah-olah yang berhak bicara dan punya legitimasi hanyalah otoritas negara bersama pengusaha. Lalu derita, kesakitan hingga kematian rakyat di garis depan akibat bisnis pertambangan sangat patut diabaikan,” paparnya.
Menurut Jamil, tidak berlebihan jika pihaknya menyebut hal itu sebagai kejahatan negara -korporasi terhadap rakyat. “Semoga saja Majelis Hakim MK yang menangani JR bisa memaknai legal standing dengan perspektif hak asasi manusia yang berkeadilan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945,” ujarnya.
Keterangan Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin, menurut Jamil, mempertegas adanya pengabaian kasus kriminalisasi yang dialami warga terdampak. Sejak UU Minerba diberlakukan pada Juni 2020, upaya kekerasan terhadap masyarakat dan pembela HAM terus terjadi. Bahkan belakangan, aksi kriminalisasi kian masif.
Contohnya, awal tahun 2020, dua orang warga Padukuhan Jomboran Sleman, DI Yogyakarta menjadi korban kriminalisasi karena menolak penambangan pasir di desanya. Mereka dilaporkan menggunakan pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Kasus terakhir, upaya kriminalisasi terhadap warga di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Sepuluh orang warga dan pendamping yang menolak tambang pasir ilegal ditangkap dan ditahan selama 24 jam oleh aparat dengan menggunakan pasal 162
“Pernyataan Ridwan Jamaluddin yang menyatakan bahwa pemohon 3 dan 4 tidak relevan sebagai pemohon adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan, karena pasal tersebut justru memberikan kepastian hukum untuk mempidanakan masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan,” tegasnya.
Jamil menilai, rumusan pasal tersebut sangat karet pada frasa, ‘setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan’. “Hal itu terbukti dari jumlah kasus kriminalisasi yang terus meningkat,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)