Utusan Khusus Presiden, Hashim S. Djokohadikusumo di COP 29, ketika berbicara di Paviliun Indonesia dalam area penyelenggaraan COP 29 di Baku, Azerbaijan.
BAKU, BERITALINGKUNGAN.COM – Program Food Estate sebagai lumbung pangan nasional kembali menuai kritik tajam dari NGO Lingkungan dalam Konferensi Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan.
Pernyataan dari Utusan Khusus Delegasi Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo, yang mendukung keberlanjutan program ini dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi laju deforestasi sesuai target FOLU Net Sink 2030.
Dalam pidatonya, Hashim menyebutkan bahwa program Food Estate penting untuk menjaga ketahanan pangan di tengah guncangan global seperti pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina. Namun, program tersebut dianggap tidak sesuai dengan target pengurangan deforestasi Indonesia, yang kuotanya telah terlampaui sejak 2019.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, laju deforestasi hingga 2019 sudah mencapai 4,8 juta hektar, atau minus 577 ribu hektar dari target yang ditetapkan. “Program Food Estate justru memperparah deforestasi dan menghambat pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia kepada Beritalingkungan.com (15/11/2024).
Konflik dengan Wilayah Adat dan Keanekaragaman Hayati
Cindy Julianty dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menyoroti dampak negatif Food Estate terhadap masyarakat adat, khususnya di Merauke, Papua Selatan.
“Lebih dari dua juta hektar hutan adat masyarakat Malid, Maklew, Khimaima, dan Yei telah dibabat untuk program ini,” ungkap Cindy.
Ia juga mengingatkan bahwa hutan adalah sumber pangan alami sekaligus tempat berkembangnya keanekaragaman hayati. “Pertanyaan besar apakah restorasi 12,7 juta hektar hutan dalam pemerintahan Presiden Prabowo akan melibatkan masyarakat adat dan memberikan manfaat langsung bagi mereka,” tambahnya.
Pentingnya Kemitraan Internasional
Nadia Hadad mempertanyakan mengapa Indonesia belum bergabung dengan Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP), sebuah inisiatif global untuk menghentikan hilangnya hutan pada 2030.
“Indonesia sering disebut sebagai champion dalam inisiatif FOLU Net Sink 2030, tapi belum mengambil langkah konkret untuk memobilisasi pendanaan dari kemitraan ini,” ujarnya.
Menurut Eka Melisa dari Kemitraan, COP29 seharusnya menjadi momen untuk memperkuat daya tahan masyarakat dan ekosistem terhadap perubahan iklim.
“Indonesia perlu memanfaatkan momentum COP Finance ini untuk memastikan pendanaan iklim tersalurkan tepat sasaran,” kata Eka.
Peran Indonesia di Kancah Global
Iqbal Damanik dari Greenpeace menilai Indonesia belum menunjukkan kepemimpinan yang kuat di COP29. “Indonesia seharusnya menjadi suara utama bagi negara-negara rentan terhadap krisis iklim dan memastikan pendanaan global untuk mitigasi, adaptasi, serta kerugian akibat perubahan iklim,” katanya.
Indonesia diharapkan mampu mengarahkan pendanaan iklim untuk aksi nyata, termasuk mendorong kebijakan yang mendukung perlindungan hutan, pengurangan emisi, dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan langkah strategis, Indonesia dapat mengubah tantangan perubahan iklim menjadi peluang untuk masa depan yang lebih hijau (Marwan Aziz)