Oleh Bagong Suyoto*
Beberapa tahun lagi, setidaknya tahun 2022 DKI Jakarta akan dapat mewujudkan impiannya proyek intermediate treatment facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara. Merupakan mimpi panjang, mewujudkan proyek ITF yang digagas tahun 2003-2004 dan studinya disosialisasikan secara meriah tahun 2005. Pembangunan ITF berdasarkan Pergub No. 33 Tahun 2018, merupakan solusi guna mengatasi permasalahan sampah ibukota dan mengingat usia produktif TPST Bantargebang diperkirakan 2 atau 3 tahun lagi.
Pembangunan proyek ITF Sunter akan berjalan sesuai jadwal, sebab sudah dilakukan perjanjian Kerja Sama antara Pemprov DKI dengan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Perjanjian Jual Beli Listrik yang dilakukan antara perusahaan publik dari Finlandia, Fortum dengan PT PLN (Persero) dengan PT Jakarta Solusi Lestari (JSL), merupakan perusahaan patungan PT Jakpro sebagai operator Sunter.
Ringkasan data teknis ITF Sunter: kapasitas pengolahan sampah 2.200 ton/hari (726.000 ton/tahun), luas area pembangkit 3,05 hektar, kapasitas pembangkit 35 MW, saluran transmisi-interkoneksi dengan Grid PLN eksisting Kemayoran-Priok T/L S/S 2.2 km dan Priok S/S 4.3 km.
Dalam suatu sosialisasi di Jakarta (2018), Fortum menyatakan, bahwa sistem pengolahan gas sisa di ITF Sunter akan dirancang sesuai ketentuan Uni Eropa sehingga aman bagi lingkungan. Ambang emisi UE komponen (mg/Nm3) sebagai berikut: Total partikel 10, Sulfur dioksida (SO2) 50, Nitrogen (NO dan NO2) 200, Hidrogen klorida (HCl) 10, Merkuri (Hg) 0,05, Karbon Monoksida (CO) 50, Hidrogen fluoride (HF) 1 dan Dioksin dan Furan 0,1. Bandingkan dengan ambang emisi Indonesia: Total partikel 120, Sulfur dioksida (SO2) 210, Nitrogen (NO dan NO2) 470, Hidrogen klorida (HCl) 10, Merkuri (Hg) 3, Karbon Monoksida (CO) 625, Hidrogen fluoride (HF) 2 dan Dioksin dan Furan 0,1.
ITF Sunter dirancang mampu mengolah sampah 2.200 ton/hari. Sehingga menjadi andalan utama keberhasilan proyek tersebut. Untuk mengatasi jumlah produksi sampah setiap hari Jakarta membutuhkan 4 ITF. DKI Jakarta juga sudah menetapkan dua lokasi ITF lainnya, Cilincing Jakarta Utara dan Rawa Buaya Cengkareng, Jakarta Barat.
Pada Nopember 2019 produksi sampah DKI diperkirakan 8.500 ton/hari, sedang sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang mencapai 7.500-7.800 ton/hari. Pada saat ini TPST Bantargebang masih menjadi tumpuan DKI, sementara sistem pengolahan dan pengurangan sampah relatif sangat kecil. Semua zona sudah penuh dan tumpukan sampah semakin tinggi dan sangat mengkhawatir.
Oleh karena itu pembangunan ITF di wilayah indoor selayaknya dipercepat agar darurat sampah tak terjadi. Juga dapat menjawab impian rakyat Jakarta yang sudah bertahun-tahun menantikan terwujudnya proyek ITF tersebut. Selain itu Jakarta akan mengikuti negara-negara maju dalam pengelolaan sampahnya semakin modern dan saniter, dan dapat memberi contoh daerah-daerah lain di Indonesia.
Sosialisasi ITF Pertama Kali
Saya merasa senang ketika Rama Boedi Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta ketika itu memberi kepercayaan untuk menyelenggarakan sosialisasi master plan dalam format SEMILOKA PEMBAHASAN RENCANA AKSI PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA 2005-2015 di Hotel Mellenium Jakarta, 23 November 2005. Acara tersebut dibuka Gubernur DKI Jakarta H. Sutiyoso dan keynote speaker Menteri Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar.
Dalam penyelenggaraan ada seminar dan lokakarya. Lokarya dibagi menjadi 3 komisi yang membahas topik sebagai berikut: Komisi A: Kebijakan Pengelolaan Sampah di Jakarta 2005-2015; Komisi B: Menuju Teknologi Pengolah Sampah Ramah Lingkungan; dan Komisi C: Rekayasa Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Menuju Jakarta 2015. Sidang-sidang komisi telah merumuskan masukan-masukan konkrit sebagai penyempurnaan master plan. Mereka sangat antusias dan bahagia pikiran-pikiran konstruktif tersebut akan mewarnai pengelolaan sampah DKI Jakarta.
Saya percaya DKI Jakarta akan memulai babak baru dalam pengelolaan sampah, yakni implementasi master plan pengelolaan sampah tahun 2005-2015. DKI akan membangun ITF di empat wilayah indoor, masing-masing mampu mengolah sampah berkapasitas 1.000-1.500 ton/hari. Jika selama sepuluh tahun DKI bisa mewujudkan impian tersebut, maka persoalan sampah dapat diatasi dengan sempurna. Penulis dan Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), WALHI Jakarta, PIDUS-Zero Waste Indonesia dan network-nya tak henti-hentinya memberikan kritik dan saran melalui berbagai saluran, agar DKI Jakarta segera merealisasikan pembangunan ITF. Karena semua itu demi perbaikan pengelolaan sampah DKI sebagai ibukota negara RI.
Kesimpulan Semiloka Pembahasan Action Plan Pengelolaan sampah di Jakarta 2005-2015 ini mendapat sambutan luas dari berbagai stakeholder. Pada umumnya peserta menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan pemberdayaan dalam pengelolaan sampah. Hal ini merupakan cermin, bahwa setiap orang masih memiliki kepedulian terhadap persoalan sampah di Jakarta dan sekitarnya. Juga setiap orang mempunyai kewajiban yang sama dalam pengelolaan sampah, bukan hanya pemerintah melainkan juga masyarakat, LSM, perguruan tinggi, pers, dunia usaha dan komponen lainnya.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah harus total mulai dari proses perencanaan, implementasi, monitoring dan review. Termasuk pelibatan masyarakat dalam memilih pendekatan strategi, teknologi, lokasi TPA/TPST, dan lainnya. Oleh karena itu hasil studi “Solid Waste Management for Jakarta: Master Plan and Program Development” bagian dari Western Java Environmental Management Project (WJEMP), atau singkatnya dikenal dengan action plan pengelolaan sampah Jakarta 2005-2015 harus dikaji-ulang untuk memberi ruang bagi partisipasi masyarakat luas.
Rekomendasi Semiloka, diantaranya: Pertama, melakukan Review Total terhadap pelibatan berbagai stakeholders dalam pengelolaan sampah di Jakarta, dengan menempatkan partisipasi masyarakat pada level yang paling utama. Juga pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Kedua, melakukan kaji ulang terhadap pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir/tempat pengolahan sampah terpadu (TPA/TPST) yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Ketiga, menyediakan berbagai alternatif dan kaji ulang penggunaan teknologi pengolahan sampah di Jakarta. Hendaknya menekankan teknologi yang ramah lingkungan, tidak menimbulkan pemborosan sumber alam dan sumber dana, melindungi kesehatan dan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Master Plan Pengelolaan Sampah dan ITF
Untuk memperbaiki pegelolaan sampah ini, Pemprov DKI telah me-review master plan-nya. Pengelolaan sampah DKI Jakarta berbasis pada master plan yang disusun Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1987. Basis pengelolaan sampah di Jakarta adalah master plan 1987-2005, meliputi (1) pengumpulan (colletion) seperti pelayanan door to door, sistem LPS (gerobak sampah), penyapuan (street sweper). (2) pengangkutan (SPA besar 2 buah, SPA kecil 13 buah). (3) Pengangkutan dengan container dan compactor. (3) Pembuangan akhir (disposal site) di belahan timur di TPA Bantargebang dan belahan Barat di Ciangir, Tangerang. Sayangnya sampai sekarang calon TPA Ciangir tidak bisa dioperasikan karena penolakan warga.
Sistem kumpul – angkut – buang merupakan sistem konvesional, yang hanya memindahkan masalah. Sampah Jakarta dibuang ke TPST Bantargebang, dan terus menggunung. Dari 5 zona TPA Bantargebang pada Juli 2006 ini sudah penuh, yang semestinya TPST ditutup pada akhir Desember 2003 lalu. Lebih dari 27.966 m³ atau 6.000 ton/hari sampah dibuang ke TPST Bantargebang, terdiri dari 55,37% sampah organik dan 44,63% non-organik. Sampah itu dihasilkan oleh lebih 12 juta penduduk Jakarta.
Setelah Ciangir gagal, untuk mengatasi kejenuhan TPST Bantargebang, Pemprov DKI Jakarta membangun TPST Bojong Klpanunggal – Bogor, dirintis awal 2001. Namun, TPST Bojong ditolak warga sekitar. Berbagai alasan penolakan muncul mulai dari kebohongan publik hingga penempatannya tidak sesuai dengan tata ruang (RTRW). Sementara itu pihak pengelola, menyatakan TPST tersebut menggunakan teknologi pengolah sampah (balla press) paling moderen di Indonesia, dapat menyerap 1.500 ton/hari sampah dari Jakarta.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menyelimuti pengelolaan sampah Jakarta maka dilakukan review master plan 1987. Review 10 tahun kedepan (2005-2015) yang dimaksud adalah Solid Waste Management for Jakarta: Master Plan Review and Program Development, bagian dari Western Java Environmental Management Project (WJEMP – IBRD Loan 4612-IND/IDA Credit 3519-IND). Bagian yang sangat penting dari WJEMP adalah Jabodetabek Waste Management Corporation (JWMC), yaitu pembentukan TPA Regional, direncanakan di Nambo, Bogor. Belajar dari pengalaman pengelolaan sampah selama ini maka DKI perlu merubah paradigmanya, menuju era baru pengelolaan sampah.
Sebagai ibukota negara, metropolitan Jakarta dibebani oleh berbagai masalah, seperti pertambahan penduduk dan urbanisasi, perkembangan aktivitas ekonomi dan pembangunan moderen. Sementara perilaku masyarakat yang semakin konsumtif sulit ditekan, termasuk pemakainan kantong/pembukus dari plastik yang tidak ramah lingkungan. Semua berimplikasi pada timbulan dan komposisi sampah. Yang terus bertambah besar. Berpijak dari pengalaman masa lalu dan persoalan yang mengikutinya, maka pengelolaan sampah di Jakarta sudah waktu mengandalkan teknologi canggih yang ramah lingkungan.
Pendekatan dan strategi berdasarkan review master plan, yaitu tidak terpusat, ramah lingkungan, multi teknologi, tata regulator/ operator, peran swasta dan masyarakat, pilah sampah/3R (reduce, reuse, dan recycle), kerjasama regional, pay as you throw. Sasaran program untuk jangka pendek, menengah dan panjang adalah (1) pengelolaan sampah yang efektif, efesien, ramah lingkungan dengan menggunakan teknologi moderen; (2) tercapainya sinergi Pemda, swasta dan masyarakat; (3) terwujudnya sampah sebagai sumberdaya. Sumber dana APBD, kemitraan, APL-2 (World Bank), grant, peluang CDM.
Sejarah ITF Wilayah Indoor
Regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah DKI yang jadi pijakan, yaitu: UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah; Permendagri No. 33/2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah; Perda Provinsi DKI Jakarta No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; Perpres No. 81/2012 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga; Permen PU 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan; Permendagri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal; Permen LH No. 13/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduse, Reuse, Recycle melalui bank sampah.
Pemprov DKI akan membangun 4 ITF di wilayah indoor, yaitu Duri Kosambi-Jakbar, Marunda-Jakut, Pulogebang-Jaktim, dan Ragunan-Jaksel. Pada intinya sampah akan dikelola mulai dari sumber (pemilahan), diangkut ke SPA, dan disalurkan ke TPST. Sampah akan diolah menjadi kompos dan material yang berguna, daur ulang, dan juga akan diubah menjadi listrik (waste to energy). Pemprov DKI sudah melakukan penjajakan dan MoU dengan sejumlah perusahaan baik domestik maupun luar negeri. Dari luar negeri dapat disebut Kepple-Seghers, Singapura, dan perusahan Kanada. Program ini lebih dikenal dengan ITF.
Dalam laporan Potential Project Porfolio for Clean Development Mechanism in India and Indonesia (Maret 2006) ada dua tempat yang mendapat peluang dukungan dari Kanada, yaitu waste to energy melalui insinerasi (Dinas Kebersihan DKI) di Duri Kosambi, Jakarta Barat dan mechanical composting and manual sorting oleh Wira Gulfindo Sarana di Jakarta Utara. Dua proyek pengelolaan sampah yang (akan) mendapat fasilitas CDM. Sedang di TPST Bantargebang salah satu perusahan dari Jepang (Kajima) akan mengolah sampah juga menjadi listrik. Belakangan kalangan GTZ German dengan Bali Focus sedang menyusun studi kemungkiman berapa besar dapat difasilitasi CDM. Mereka telah melakukan kunjungan ke Bantargebang pada bulan April 2006 didampingi Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, dan Koalisi Persampahan Nasional.
Kelemahan yang mendasar dari review master plan itu adalah tidak nampaknya konsep, pendekatan (metodologi) dan strategi tentang partisipasi masyarakat. Tidak diketemukaan dalam naskah studi tentang advokasi dan penyiapan-penyiapan masyarakat sekitar yang akan dibangun TPST atau ITF tersebut. Sehingga sulit dibayangkan akan kelancaran implementasi program TPST itu. Dalam konteks tersebut sangat diperlukan orang-orang yang ahli dalam pendampingan masyarakat, ahli sosial, ahli komunikasi, ahli perilaku massa, dan lain-lain.
Dalam buku Sejarah Kemelut Pengelolaan TPST Bantargebang (Bagong Suyoto, 2015) ditulis, kegagalan demi kegagalan relealisasi master plan pengelolaan sampah DKI Jakarta mulai menyusun draf akademik master plan 2012-2032. Hal itu disebabkan berbagai perkembangan yang terjadi, seperti pertumbuhan penduduk, perkembangan pembangunan, adanya UU dan peraturan baru. Master plan 1987 sudah tidak memadai mengingat pesatnya perkembangan penduduk, ekonomi, industri dan kegiatan pembangunan lain.
Kemudian Pemprov DKI Jakarta melakukan refleksi, yakni dilakukan studi Solid Waste Management Jakarta: Master Plan Review and Program Development (2005). Rencana aksi pengelolaan sampah Jakarta 2005-2015, bahkan dirubah lagi menjadi Master Plan 2011-2025. Perkembangan perundangan-undangan dan peraturan bertambah guna memayungi pengelolaan sampah skala nasional dan daerah agar lebih baik.
Volume sampah DKI Jakarta terus meningkat, survey komposisi sampah 2011 Dinas Kebersihan DKI menyebutkan, bahwa total produksi sampah mencapai 32.530,8168 m³ setara 8.132,5 ton/hari. Merupakan jumlah volume sampah sangat besar dalam pengelolaannya, pastilah memerlukan keseriusan dan melibatkan berbagai pihak dan masyarakat mulai dari sumber sampah, juga perlu menggunakan multi-teknologi dan teknologi tinggi ramah lingkungan. DKI tampaknya akan serius mewujudkan beberapa ITF yang tertera dalam master plan-nya sudah digembar-gemborkan belasan tahun lalu.
Namun dari rencana pengelolaan sampah di wilayah indoor itu, ujung-ujungnya tetap masih mengandalkan TPST Bantargebang. Setidaknya, jika ITF berhasil, residu hasil pengolahan sampah akan tetap dikirim ke TPST Bantargebang. Bantargebang akan menjadi tujuan akhir dari limbah yang paling limbah. Hal ini bisa dilihat dari proses dan tahapan pengelolaan sampah DKI dalam draf akademik master plain 2012-2013, yang terbagi menjadi lima fase lima tahunan.
Sekarang ini (November 2015) sampah Jakarta yang dibuang ke TPST Bantargebang sudah mencapai 6.400-6.800 ton/hari, tahun 2016 mencapai 7.000 ton/hari. Seharusnya sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang hanya 4.000/hari dan terus menurun sampai angka 2.000 ton/hari. Lihat dari jumlah volume yang dibuang ke TPST Bantargebang semakin besar mengindikasikan pengelolaan sampah di wilayah indoor belum berhasil. Jika berhasil, berlaku aksioma sebaliknya, sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang semakin menurun setiap tahunnya. Oleh karena itu Jakarta harus memiliki target pengurangan sampah signifikan, misal 10% atau 20%/tahun, akhirnya tinggal 30% saja yang dibuang ke TPST.
Sementara kapasitas pengolahan sampah di TPST Bantargebang hanya didesain dengan kapasitas lebih kurang 4.000 ton/hari. Kemudian pada tahun berikutnya terus menurun menjadi 3.000 ton/hari sampai 2.000 ton/hari. Seperti composting kapasitas produksi dengan bahan baku sampah 1.000-1.200 ton/hari. Daur ulang plastik kapasitas bahan baku 20-40 ton/hari menghasilkan produk biji plastik sekitar 3,5-4 ton/hari. Sementara power house atau Waste to Energy (WtE) dan sanitary landfill tidak lebih dari 2.500-3.000 ton/hari.
Jikalau dilihat secara seksama draf master plan pengelolaan sampah DKI tahun 2012-2032 terbaru menyajikan, konsep, pendekatan dan strategi yang tidak jauh berbeda dengan master plan terdahulu, mungkin hanya bungkusnya yang lebih rapi. Konsep pengelolaan sampah merupakan kegiatan sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan meliputi perencanaan, pengurangan dan penanganan sampah (Pengolahan antara dan Pengolahan akhir) meliputi pemilahan/pewadahan, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan.
Dalam draf master plan itu menyebutkan, bahwa strategi pengurangan sampah direncanakan sebagai berikut: Skala rumah tangga/individu: Pemilahan dan pengomposan skala rumah tangga; Pengelolaan sampah berbasis masyarakat: Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat (94 lokasi 3R); Skala kawasan: Pengelolaan sampah oleh pengelola kawasan, Kawasan Komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial dan fasilitas umum; Sentra 3R: Tempat pengolahan sampah terpadu berbasis institusi dengan prinsip 3R; dan Skala kota: Pengolahan sampah antara ITF.
Berdasarkan master plan 2012-2032 maka target kapasitas olah sampah setiap ITF 1.000-1.500 ton/hari. Jika ada 4 ITF terbangun dan dioperasikan akan mampu mengolah sampah 4.000-6.000 ton/hari. Sedangkan program kegiatan olah sampah 3R berbasis komunitas di Jakarta diprediksi mampu menyerap 1.000 ton/hari. Jadi total di wilayah indoor DKI mampu mengolah sampah 7.000 ton/hari. Sisa sampah dan residu dikirim ke TPST Bantargebang.
Jikalau rencana ini berhasil maka DKI Jakarta 100% berhasil mengelola sampahnya sendiri, dan tidak perlu cemas, takut dan marah akan ancaman darurat sampah!? Oleh karena itu master plan itu harus dijadikan Peraturan Daerah (Perda) agar diimplementasikan secara ketat, konsisten dan kontinyu siapa pun pemimpin atau orang nomor satu Jakarta.
Jika diperhatikan secara seksama dan jernih Pemprov DKI Jakarta tidak pernah serius melaksanakan master plan-nya (2005-2017). Master plan hanyalah tumpuk kertas sebagai bentuk pekerjaan proyek. Jika penggarapan selesai maka dianggap sudah memenuhi kewajibannya. Apakah wajib dilaksanakan atau tidak, maka para pemimpin DKI tidak pernah konsisten menjalankan master plan atau induk perencanaan pengelolaan sampah? Umur master plan hanya seumur tanaman singkong. Memang ada hobi membuat master plan, namun pelaksanaannya masa bodoh. Hal ini penyebab utama terjadinya kemelut persampahan Jakarta dan TPST Bantargebang yang berkepanjangan sampai sekarang.
Jakarta itu adalah ibukota Republik Indonesia maka tidaklah pantas seringkali didera kemelut atau krisis sampah. Apa yang terjadi di Jakarta pastilah menjadi sorotan dunia internasional. Dan sudah semestinya urusan sampah Jakarta mampu diselesaikan 100% di wilayah indoor, tidak lagi perlu bergantung pada wilayah tetangga.
Rakyat daerah tetangga, seperti rakyat Bantargebang sudah dua puluh tahun lebih menghirup bau busuk gunung gunung kotoran itu. Maka renungkan bila wilayahmu dijadikan tempat pembuatan sampah dan kamu tinggal di pinggirnya?!
Selama ini pengesahan master plan kekuatannya sebatas setingkat Peraturan Gubernur (Pergub) saja, itupun sangat alot dan jarang terjadi. Artinya hanya gubernur yang memiliki kepentingan untuk itu. Boleh jadi, setiap gebernur ganti maka berganti pulalah master plan-nya.
Oleh karena itu bagi masyarakat DKI Jakarta perlu memikirkan berlakunya master plan pengelolaan sampah menjadi lebih permanen, kuat dan berjangka panjang, setidaknya bisa berlaku 20-25 tahun atau 25-30 tahun.
Maka master plan sebaiknya dijadikan Peraturan Daerah (Perda), yaitu Perda Master Plan Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Tahun 2012-2032. Dalam konteks ini Gubernur dan DPRD DKI sama-sama memiliki kepentingan dan kewajiban menyukseskan pengelolaan sampah di wilayahnya. Mereka harus bekerjasama secara sinergis. ***
Penulis adalah : Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
dan Dewan Pembina Koalisi KAWALI Indonesia Lestari