Ilustrasi: hutan hujan tropis yang kaya akan keanageragaman hayati. Foto: Shades3d/Freepik).
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang merancang model pembagian keuntungan yang berkeadilan untuk pemanfaatan sumber daya alam hayati (SDAH) sebagai sumber pendanaan berkelanjutan.
Hal ini menjadi upaya untuk mengubah pandangan pengelolaan keanekaragaman hayati yang selama ini dianggap sebagai “cost centre” menjadi “profit centre”. Pemanfaatan SDAH Indonesia berpotensi menjadi sumber ekonomi besar di tengah berkembangnya minat internasional pada produk alami.
Konsep ini juga didukung oleh agenda internasional, termasuk dalam Konferensi Para Pihak dari Konvensi Keanekaragaman Hayati di Cali, Kolombia, yang membahas pentingnya pembagian keuntungan dari data genetika digital (Digitally Sequenced Genetic Information – DSI).
Sebagai bentuk implementasi dari UU No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemerintah berupaya merumuskan regulasi pendanaan yang menyatukan kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Prof. Satyawan Pudyatmoko, menekankan perlunya skema pendanaan berkelanjutan yang mencakup pemanfaatan SDAH, wisata alam, serta pemulihan ekosistem. “Potensi pendanaan ini sangat besar, dan diperlukan regulasi yang komprehensif agar pembiayaan pengelolaan SDAH dapat dilakukan secara berkeadilan,” ujar Satyawan dalam diskusi media di Jakarta (5/11).
KLHK saat ini menyusun Naskah Akademik sebagai dasar Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU No. 32 Tahun 2024, dengan mengacu pada model pendanaan berkelanjutan dari negara lain. Fokus Group Discussion (FGD) pun dilakukan melibatkan badan nasional dan internasional, seperti UNEP, UNDP, dan GIZ, guna membangun strategi model bagi hasil berkeadilan.
Indra Exploitasia, Staf Ahli Menteri Bidang Pangan, menyebutkan bahwa uji coba pendanaan berkelanjutan ini telah berjalan di Landscape-Seascape Flores Barat dan Utara, serta Aceh. “Model ini memastikan bahwa anggaran untuk konservasi dialokasikan secara tepat melalui ‘budget tagging’, mendukung pelaksanaan program konservasi jangka panjang,” ungkapnya.
Wakil Menteri KLHK, Alue Dohong, juga menekankan mandat Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang mendorong mobilisasi pendanaan global senilai USD 200 juta per tahun dari negara maju untuk mendukung upaya konservasi. “Ini momen tepat bagi Indonesia untuk menyusun regulasi pendanaan berkelanjutan, sesuai strategi dan aksi konservasi keanekaragaman hayati nasional,” ujarnya.
Dengan adanya naskah akademik ini, diharapkan regulasi yang akan hadir mampu mendorong kolaborasi ekonomi yang seimbang sekaligus menjaga kelestarian SDAH untuk generasi mendatang (Marwan Aziz)