JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kualitas udara di area hijau yang banyak pepohonan ternyata tidak selalu bersih atau bebas dari polusi udara, utamanya yang disebabkan oleh polutan berukuran sangat kecil (PM2.5). Kesimpulan itu terungkap dalam hasil riset Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara, sepanjang Januari-Desember 2021.
Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski menjelaskan bahwa pihaknya memasang tiga sensor pengukur kualitas udara di tiga lokasi, yakni Bumi Serpong Damai (BSD), Cibinong dan Sentul City. Ketiga daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) tersebut merupakan area yang dikelilingi oleh kawasan hijau.
Namun data Nafas menunjukkan, indeks kualitas udara (AQI) di ketiga wilayah tersebut cukup tinggi di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu.
“Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” kata Jakubowski dalam Media Briefing bertajuk Nafas Air Quality Report 2021 yang diselenggarakan Nafas, Bicara Udara dan Katadata Insight Center, (Rabu, 2/03/22).
Menurut Jakubowski, banyaknya pepohonan sebenarnya kurang berdampak membuat udara menjadi bersih dan segar. Pasalnya, dedaunan tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu PM2,5 yang ada di udara. “Jadi, pepohonan tidak bisa memfilter polusi PM 2.5,” ungkapnya.
Jakubowski merujuk studi David J. Nowak et.al (2013). Hasil studi Nowak, kata dia, menunjukkan, penanaman pohon di 10 kota Amerika Serikat dengan tingkat PM 2.5 yang tinggi tidak signifikan mengurangi polusi PM2.5, yakni hanya sebesar 0,05%-0,24% setahun.
Berdasarkan data tersebut, Jakubowski menegaskan, adalah keliru apabila kebijakan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pepohonan. “Bisa dibilang penanaman pohon hampir tidak ada dampaknya mengurangi PM 2.5,” ujarnya.
Jakubowski menambahkan, ”Dengan kata lain tidak berdampak signifikan untuk menyegarkan kualitas udara.”
Di masyarakat Jabodebek terjadi mispersepsi bahwa udara pagi lebih baik dibanding waktu-waktu lainnya. Mungkin karena dianggap udara terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara. Tak mengherankan bila animo masyarakat berolah raga besar pada pagi hari (sekitar jam 05.00-09.0), termasuk saat pandemi Covid-19.
Padahal hasil riset Nafas sepanjang 2021 menunjukkan, AQI Jabotabek pada pagi hari antara jam 04.00-09.00 masih cukup tinggi sekitar 100-160. Itu artinya kualitas udara tidak baik. Oleh karena itu, pagi hari bukan waktu terbaik untuk berolahraga. Justru saat itu, masyarakat di Jabotabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah.
Data Scientist Nafas Prabu Setyaji menjelaskan, bagi seseorang yang berumur antara 35-45 tahun yang berolahraga pada pagi hari saat kadar PM2.5 > 26 µ/m3 justru berbahaya karena berisiko menimbulkan penyakit jantung. Sebagai catatan, ambang batas aman menurut WHO (2021) adalah PM2.5 = 5 µ/m3.
“Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33%,” ujarnya seraya menyebutkan bahwa kualitas udara paling baik di Jabotabek terjadi pada jam 14.00. Kualitas udara semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrim.
Sementara itu, Community Manager Bicara Udara Novita Natalia mengatakan, hasil riset Nafas yang menunjukkan bahwa masih banyak salah kaprah dari masyarakat terkait kualitas udara beserta mitos-mitos yang selama ini sering didengar, menunjukkan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai isu ini.
“Kami sebagai komunitas yang fokus pada edukasi mengenai pentingnya peningkatan kualitas udara sangat senang dengan adanya riset yang dilakukan Nafas,” katanya.
Novita mengatakan, riset ini sekaligus menjadi indikasi betapa pentingnya meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk mewujudkan kualitas udara yang lebih baik. (Jekson Simanjuntak)