JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Sekretaris Jenderal Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH) Husin Shahab melaporkan aktivis Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik ke Polda Metro Jaya pada Selasa (9/11/2021). Keduanya dilaporkan atas dugaan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian atas nama antar golongan.
Pelaporan merujuk pada kritik Greenpeace atas pidato Presiden Joko Widodo di Konferensi COP 26, Glasgow, Skotlandia. Dalam keterangannya, Husin merasa dirugikan atas informasi di website Greenpeace.org yang dianggapnya menyesatkan publik.
Menurut Husin, data yang disampaikan soal deforestasi tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Ia menilai pemerintahan Jokowi telah berupaya untuk menekan laju deforestasi.
“Justru selama pemerintahan Jokowi yang berusaha menekan peningkatan deforestasi dari tahun ke tahun agar tidak terjadi kebakaran hutan”, kata Husin dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/11/).
Selain itu, Husin menilai laju deforestasi di masa pemerintahan Jokowi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.
“Greenpeace dalam hal ini malah memutar balikkan fakta dengan menyebut deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Disitu letak kebohongan dari Greenpeace,” katanya.
Menurut Husin, Greenpeace membeberkan secara grafis dari tahun ke tahun kebijakan pemerintahan. Namun, kata dia, 2,45 juta hektar (2003-2011) adalah kebijakan SBY.
Atas keberatan itu, ia mengadu ke Polda Metro Jaya dan laporannya diberi nomor LP/B/5623/XI/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 9 November 2021 dengan terlapor Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik.
Tak hanya membuat laporan polisi, Husin dalam cuitannya di twitter mengajak warganet untuk melakukan boikot terhadap Greenpeace Indonesia dengan hashtag #BoikotGreenpeaceID. Menurutnya, informasi menyesatkan itu telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Deforestasi Era Jokowi 3 Kali Pulau Bali
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menilai klaim penurunan angka deforestasi merupakan sesuatu yang debatable dan terbuka untuk didiskusikan bahkan dipertanyakan.
“Angka deforestasi turun merupakan suatu prestasi? Patut dibanggakan? Jawabannya bisa ya atau tidak,” katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (10/11).
Menurut Arie, ketika Presiden Joko Widodo menyebut laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir, maka kebenarannya perlu ditelisik lebih jauh.
Berdasarkan data pemerintah sejak Presiden Joko Widodo menjabat, Greenpeace Indonesia menunjukkan jika angka deforestasi pada 2015-2016 seluas 629,2 ribu hektar. “Namun perlu diingat, beberapa izin prinsip sudah keluar di masa pemerintahan sebelumnya,” kata Arie.
Lalu di tahun 2016-2017, deforestasi mencapai 480 ribu hektar, berlanjut di 2017-2018 dengan luas 439.4 ribu hektar. Kemudian deforestasi mencapai 462.5 ribu hektar pada 2018-2019, dan turun drastis menjadi 115.5 ribu hektar pada 2019-2020.
“Bila dijumlahkan deforestasi sejak 2015-2020 (periode Presiden Jokowi) angkanya 2.13 juta hektar atau setara dengan luas 3.5 kali pulau Bali,” ujarnya
Sementara laju deforestasi rentang tahun 2003-2014 (12 tahun) mencapai 4.19 juta hektar. “Apa artinya? Hanya butuh 5 tahun angka deforestasi Indonesia di era Presiden Jokowi telah mencapai separuh angka deforestasi selama 12 tahun. Apakah ini layak disebut penurunan signifikan?” ujar Arie.
Lalu, bagaimana jika kalimat pidato pada bagian “laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir” diubah berdasarkan data pemerintah menjadi “deforestasi dalam 5 tahun mencapai 2.13 juta hektar atau setara 3.5 kali pulau Bali.”
“Tentu terdengar buruk bagi siapa pun yang mendengar ini dan tidak mungkin bisa dibanggakan di KTT Perubahan Iklim, tetapi faktanya deforestasi di Indonesia masih tinggi,” ungkap Arie.
Oleh sebab itu, kalimat pidato pada bagian tersebut terkesan menyamarkan fakta. “Ini jelas sangat serampangan sekali,” katanya.
Selain itu, laju deforestasi 2 juta hektar saja, menurut Arie merupakan angka yang besar. Pemerintah perlu memandangnya secara keseluruhan, dimana hal itu membutuhkan biaya rehabilitasi yang juga besar, kerusakan flora dan fauna, munculnya bencana alam, meningkatnya emisi karbon hingga ongkos kesehatan masyarakat terdampak.
“Semua itu negara yang menanggung. Sekali lagi, sangat naif bila ini dianggap sebagai prestasi,” tegasnya.
Arie juga mengatakan, tidak elok apabila pemerintah sekarang menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Pasalnya, setiap presiden merupakan kepala pemerintahan yang mengemban tugas untuk memenuhi hak atas lingkungan yang sehat sesuai mandat konstitusi.
“Pemerintah harus ikut bertanggung jawab atas setiap kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan. Memastikan tidak ada kerusakan hutan adalah salah satu tugasnya,” katanya.
Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan Moratorium Hutan, kemudian Presiden Jokowi melahirkan Moratorium Sawit. “Artinya, pemerintah terdahulu dan sekarang mengakui bahwa ada yang salah dari tata kelola hutan kita,” terang Arie.
Itu sebabnya, sikap menyalahkan terkesan lepas tanggung jawab, padahal pemerintah saat ini berwewenang untuk mengevaluasi seluruh izin yang telah dikeluarkan, apabila kedapatan merusak hutan.
“Jelas bahwa semua pihak harus menyampaikan kondisi apa adanya kepada Presiden Jokowi, bahwa upaya yang dilakukan saat ini belum optimal,” kata Arie.
Oleh karena itu, Arie berharap pemerintah bersikap transparan, karena realitas dan persoalan di lapangan dengan mudah diakses publik seiring perkembangan teknologi. “Termasuk mengajak agar diskursus ini melibatkan akademisi dan elemen masyarakat sipil yang konsisten mengawasi pemerintahan,” pungkasnya. (Jekson SImanjuntak)