JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Pemerintah Indonesia serius menjalankan komitmennya dalam aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Upaya tersebut untuk mencapai target NDC di tahun 2030 dengan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Hal itu, sejalan dengan upaya-upaya mencegah kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi mengatakan, target itu merupakan upaya kolektif yang akan dicapai bersama oleh kementerian, lembaga dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim.
Dari 29% penurunan GRK, dari sektor kehutanan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ditargetkan 17,2%, disektor energi di bawah Kementerian ESDM, KemenHub, dan Kemenperin sebesar 11%, di sektor limbah di bawah KLHK, PUPR, dan Kemenperin sebesar 0,38%, di sektor Pertanian di bawah Kementan sebesar 0,1 %, dan trace sektor IPPU di bawah Kemenperin.
“Setiap sektor sudah diberikan target dan sudah diturunkan ke dalam subsektor dan berbagai kegiatan,” kata Laksmi pada Refleksi Akhir Tahun 2021 KLHK, di Jakarta, pada (23/12).
Dengan adanya peta jalan mitigasi dan adaptasi yang rinci dan jelas, diharapkan dapat memenuhi target bahkan melampaui target tersebut.
Pada rangkaian forum COP-26 yang baru saja diselenggarakan pada bulan November di Glasgow, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai target NDC di tahun 2030 dengan melakukan skenario Low-Carbon Compatible with Paris Agrement (LCCP) di 2060. Adapun komitmen utama adalah FOLU Net Sink 2030, penurunan laju deforestasi, penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan, dan aksi nyata iklim lainnya.
Laksmi menjelaskan, dokumen LTS-LCCR 2050 adalah dokumen visi dan formulasi kebijakan. Di dalam dokumen LTS-LCCR ada 3 (tiga) skenario yang dikembangkan yaitu: skenario Low Carbon Compatible with Paris Agrement (LCCP), skenario with current policy, dan skenario transisi.
Dokumen LTS-LCCR berfokus pada kegiatan yang mendukung skenario LCCP pada rencana emisi GRK pembangunan di tahun 2030, pada tahun yang bersamaan sektor kehutanan akan mencapai kondisi FOLU Net sink.
“Diharapkan dengan kondisi itu, Indonesia dapat mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tegasnya.
Tahun 2021 merupakan tahun yang signifikan bagi Indonesia untuk meletakan dasar kepresidensian Indonesia di G20. Bersamaan dengan itu, KLHK diberi mandat untuk melaksakan Climate Sustainable Working Group bersama Kementerian ESDM, dimana mengampu energi Transition and Climate Suistainability Working Group.
G20 terutama deklarasi Roma telah menetapkan bahwa anggota G20 harus menjadi pemimpin untuk mendorong agenda-agenda perubahan iklim diantaranya menghimbau NZE by or around 2050, penerapan CBDR-RC dan NC, submisi LTS sebelum COP26, dan pendanaan USD 100 M dari negara maju.
Hal lainnya dilakukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK adalah Pengendalian Bahan Perusak Ozon. Kegiatan itu tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya untuk menekan emisi GRK.
Laksmi menegaskan bahwa Ditjen PPI diberikan amanah dalam Pengendalian Bahan Perusak Ozon, sesuai dengan amanat Ratifikasi Amandemen Kigali yang berkomitmen menurunkan konsumsi BPO sebesar 70.000 ODP ton dengan dengan melakukan alokasi konsumsi HCFC, melakukan ahli teknologi, dan mendorong sektor jasa untuk menggunakan dan menguasai bahan-bahan pengganti yang lebih ramah lapisan ozon.
“Kita akan terus mendorong agenda ini di tahun mendatang, karena bahan perusak ozon sifatnya sangat dinamis, dimana teknologi dan pengetahuan akan bahan-bahan yang ramah lingkungan terus berkembang,” paparnya.
Indonesia juga melibatkan masyarakat untuk mengendalikan perubahan iklim melalui Program Kampung Iklim. Hingga tahun 2021, capaian dan target lokasi Proklim dari total 83.932 desa/kelurahan di Indonesia telah teregister sebanyak 3.270 desa.
Selanjutnya akan terus memaksimalkan target ± 5.000 desa pada tahun 2022, target ± 6.000 desa pada tahun 2023 dan di tahun 2024 akan mencakup 20.000 desa.
Disampaikan Laksmi, mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Presiden Jokowi pada 22 Februari 2021 menyampaikan arahan untuk memprioritaskan upaya pencegahan, membangun Infrastruktur monitoring dan pengawasan harus sampai ke bawah, mencari solusi permanen, penataan ekosistem gambut, serta penegakan hukum.
“Berkat upaya bersama, luas areal terbakar 2021 jika dibandingkan pada tahun 2014 terjadi penurunan signifikan sebesar 87,06% atau turun seluas 1.547.598 Ha, serta tidak terjadi asap lintas batas negara pada tahun 2020 dan 2021,” ujarnya.
Pengendalian perubahan iklim tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata, namun butuh dukungan seluruh lapisan masyarakat, dunia usaha, bahkan dunia internasional. “Untuk itu, kita perlu memperkokoh komitmen, memperkuat langkah, menyeiramakan semua aksi di lapangan, sehingga pengendalian perubahan iklim dan karhutla bisa dillaksanakan lebih baik dan lebih baik lagi,” kata Laksmi.
***
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Sarwono Kusumaatmaja yang turut hadir, memaparkan tinjauannya mengenai situasi global yang ditandai oleh akselerasi perubahan iklim. Dikatakan Sarwono, arahan Presiden Jokowi telah menyatakan leading by example. Indonesia akan menciptakan kepemimpinan dengan contoh, tidak banyak bicara tetapi semuanya konkrit dan bisa terukur.
“Hal ini terbukti, dengan menurunnya laju deforestasi yang membuktikan bahwa konsep REDD+ ini berhasil kita praktikan dan ada proses-proses selanjutnya yang seharusnya terjadi yang sangat mengangkat martabat Indonesia di dunia Internasional,” ungkapnya.
Selain itu, karhutla menjadi terkendali dengan sistem informasi yang baik dan responsif. Didukung oleh kerja lapangan yang terintegrasi antara berbagai komponen aparat maupun pemerintah,” imbuh Sarwono.
Sarwono mengatakan, inventarisasi karhutla di lahan kering, gambut, dan savana sudah ada. Sasaran karhutla adalah untuk mencegah emisi gas rumah kaca dan untuk mencegah polusi polusi udara.
Kendati demikian, hal itu tidaklah cukup. “Sekarang yang menjadi sasaran upaya pengendalian karhutla di beberapa wilayah tertentu adalah agar dilakukan pengkayaan tanah atau pemulihan kesehatan tanah, akibat telah berkali-kali dilanda oleh kebakaran, sehingga kondisi tanah kembali pulih,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)