JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menuding Greenpeace turut ambil bagian dalam kerjasama yang dilakukannya dengan perusahaan sawit dan perusahaan pulp pada periode 2011 – 2018.
Pada tahun 2011, Greenpeace diketahui berkolaborasi dengan perusahaan sawit yang cukup besar, yang ditengarai melakukan deforestasi, pengeringan gambut serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Karhutla kerap terjadi pada konsesi grup sawit itu maupun rantai pasoknya yang ketika itu, justru Greenpeace melakukan kerjasama dengan perusahaan tersebut,” katanya.
Pada 2013, Greenpeace juga berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas di Sumatera. Selama berkolaborasi, perusahaan tersebut kerap dituding terkait deforestasi, melakukan pengeringan gambut, pembukaan kanal-kanal baru sehingga mengakibatkan karhutla.
“Menteri LHK telah memberikan sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar serta perusahaan lainnya dari kejadian Karhutla 2015, termasuk pembukaan kanal-kanal baru serta kegiatan penanaman Akasia di atas areal terbakar. ” ujar Bambang.
Sanksi-sanksi itu diberikan pemerintah justru pada saat Greenpeace masih terlibat kerja sama. Greenpeace dianggap memiliki pemahaman tentang deforestasi, pengeringan gambut dan karhutla.
“Karena dia pernah secara dekat berkolaborasi dengan grup besar perusahaan sektor sawit dan pulp/kertas bertahun-tahun lamanya,” terangnya.
Sementara terkait permintaan Greenpeace untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut, Sekjen KLHK justru mempertanyakan mengapa Greenpeace tidak memberikan syarat dalam kolaborasinya dengan grup perusahaan tersebut agar menyerahkan izin yang wilayahnya berada di lahan gambut.
Bambang menambahkan, “Saya saksi sejarah, bagaimana kolaborasi Greenpeace itu dideklarasikan pada tahun 2013. Greenpeace tidak memberikan syarat kepada perusahaan dimaksud untuk tidak boleh beroperasi pada areal di lahan gambut.”
“Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut,” imbuhnya.
Itu artinya, menurut Bambang, selama bertahun-tahun berkolaborasi, Greenpeace turut membiarkan grup sawit serta perusahaan pulp/kertas tetap beroperasi di areal izin usahanya, meskipun di lahan gambut.
Bahkan, kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh grup sawit dan perusahaan pulp/kertas tersebut, diketahui pembuatan kebijakan perusahaannya disusun, disetujui dan dideklarasikan bersama Greenpeace.
Menurut Bambang, saat itu, tidak adanya klausul yang mengharuskan grup sawit dan perusahaan pulp/paper untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut. “Mengapa sekarang Greenpeace mendesak pemerintah mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan Greenpeace tidak konsisten,” ujar Sekjen KLHK tersebut.
Mengenai sebaran konsesi HTI dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut, Bambang menegaskan jika Greenpeace telah memahami bahwa seluruh izin usaha di lahan tersebut tidak diberikan pada periode pemerintahan Presiden Jokowi.
“Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi itu berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat Presiden,” jelasnya.
Sementara terkait adanya perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, Sekjen KLHK menggaris-bawahi bahwa hampir seluruh izin tersebut tidak terjadi pada periode pemerintahan Jokowi.
“Mengapa Greenpeace tetap melanjutkan kolaborasi dengan perusahaan itu hingga bertahun-tahun, yang konsesinya berada di kawasan hutan? Ini juga contoh nyata tidak konsistennya Greenpeace,” tegas Bambang.
Jika sekarang Greenpeace mempersoalkan adanya kebun sawit di kawasan hutan, menurut Bambang, hal itu seharusnya ditanyakan sejak lama. “Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin menjelaskan bahwa pihaknya sedang menyiapkan tanggapan atas tudingan KLHK tersebut.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia mengkritik pidato Jokowi di COP26 terkait angka deforestasi yang dinilai turun. Menurut Greenpeace, pernyataan itu tidak menyesatkan, karena faktanya deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). (Jekson Simanjuntak)