JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Warga Kalimantan menuntut agar pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibatalkan demi keselamatan rakyat. Penambangan yang dilakukan sejumlah korporasi raksasa di Bumi Borneo telah merusak tatanan sosial ekonomi, lingkungan, bahkan merenggut korban jiwa.
Kalimantan menjadi salah satu wilayah tambang terluas di Indonesia yang dikelola oleh sejumlah perusahaan besar. Sebut saja, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia milik Aburizal Bakrie, PT Indominco Mandiri milik PT Indo Tambangraya Megah yang sahamnya dikuasai Banpu Minerals Singapore Private Limited, dan PT Adaro Indonesia milik PT Adaro Energy yang digawangi Garibaldi Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Sayangnya, perusahaan-perusahaan yang mengklaim memiliki tata kelola perusahaan yang baik tersebut, diduga menjadi pelaku kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan di Kalimantan.
Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang hadir di Sidang Rakyat menyebut kerusakan lingkungan terjadi akibat penambangan PT Indominco Mandiri.
“Limbah yang dibuang ke Sungai Santan menyebabkan polusi air yang sangat parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis“, ungkap Taufik.
Taufik dan masyarakat lainnya bahkan harus merogoh Rp.200.000 – Rp.400.000/ bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Tidak hanya itu, sungai yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan mereka dari menangkap ikan, kini jauh berkurang.
“Dulu dari hasil tangkapan udang dan ikan, kami bisa mengantongi Rp.300.000-Rp.400.000, tapi sekarang tidak. lagi”, kata Taufik.
Lubang-lubang bekas tambang yang jaraknya sangat dekat permukiman juga dikeluhkan warga. Seperti yang terjadi di Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Warga harus rela rumahnya didera banjir lumpur jika hujan lebat. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga itu sempat memakan korban jiwa.
Zainuri, Warga Kecamatan Sanga-Sanga, Kalimantan Timur menyebut kerusakan alam di Kecamatan Sanga-Sanga melebihi kerusakan perang dunia II. Lubang tambang ditemukan di banyak tempat, bahkan hanya berjarak puluhan meter dari rumah penduduk.
“Lahan pertanian, sekolah, tempat ibadah, fasilitas sosial rusak akibat banjir sebagai dampak rusaknya alam,” ujar Zainuri
Sementara itu, Rahma Wati, warga Kelurahan Sempaja, Kota Samarinda menjadi orang tua yang harus merelakan anaknya menjadi korban lubang tambang. Anaknya merupakan satu dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang.
Ia juga menyesalkan keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang meloloskan UU Minerba karena produk hukum ini memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada para perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa memperdulikan keselamatan warga sekitar.
Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, perusahaan daerah air minum (PDAM) telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan ini tidak bisa disaring.
Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan. Sehingga, tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, tetapi juga penduduk pesisir.
Oleh karena itu, Ria Anjani, dari Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Utara meminta Pemerintah segera membatalkan UU Minerba, karena produk hukum ini tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, dan mengenyampingkan kebutuhan masyarakat.
“Saya juga menolak adanya penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi“, pinta Ria.
Menurut Ria, sedikitnya empat kabupaten telah dikuasai oleh perusahaan tambang dan rakyat menanggung risiko dari praktik pertambangan tersebut.
“Di kabupaten Malinau, misalnya, PDAM menghentikan distribusi air karena air tidak bisa disaring. Di Kabupaten Tana Tidung, perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin,” ujar Ria.
Lalu di Kabupaten Nunukan, menurut Ria telah dikapling oleh 6 perusahaan tambang, akibatnya laju deforestasi dan pencemaran di laut yang merugikan nelayan tidak bisa terhindarkan. “Serta izin di Kabupaten Nunukan sangat carut marut,” pungkasnya.
Akibat maraknya konflik yang melibatkan masyarakat pasca praktik pertambangan di Kalimantan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah mengusulkan untuk segera dilakukan Judicial Review terhadap UU Minerba yang baru.
“Judicial Review UU Minerba harus dilakukan, terlebih konflik yang terjadi di masyarakat untuk melanggengkan investasi cukup banyak” ungkap Janang Firman Palanungkai, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah. (Jekson Simanjuntak)
–>