JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Masyarakat kawasan Indonesia Timur yang hadir dalam Sidang Rakyat menggugat pembatalan UU Minerba 2020, secara bulat menolak implementasi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba yang disahkan 12 Mei lalu.
Dalam sidang hari kedua tersebut masyarakat menilai UU Minerba 2020 memberikan dampak buruk, tidak hanya bagi lingkungan hidup tetapi juga ruang produksi dan kehidupan sosial masyarakat.
Suara masyarakat Indonesia Timur itu mewakili warga yang hidup di wilayah pertambangan dan area PLTU batu bara, mulai dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, hingga Papua.
Ketika pemerintah gencar mempromosikan kawasan timur Indonesia kepada investor (baik asing maupun lokal), dengan harapan menciptakan lapangan kerja baru, yang terjadi justru sebaliknya. Kepentingan masyarakat diabaikan dan kerusakan lingkungan terus terjadi.
Pendapatan daerah yang lahannya dikeruk oleh para investor juga tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Hal itu diperparah dengan disahkannya UU Minerba 2020, dimana para pengusaha lebih leluasa melakukan ekspansi bisnisnya.
Pastor Alsis Goa, yang mewakili masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) menyesalkan pencaplokan lahan pertanian demi kepentingan investasi pertambangan. Menurut Alsis, keseimbangan ekosistem tanah, hutan, dan air rusak akibat penanaman modal tersebut.
“Ironis, masyarakat NTT adalah masyarakat agraris, butuh lahan pertanian, sekarang dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan.” ungkap Pastor Alsis Goa, Direktur JPIC-OFM.
Kondisi ini diperparah, menurut Alsis oleh tindakan intimidasi dari para pengusaha kepada warga, agar masyarakat menyerahkan lahan mereka untuk dikonversi menjadi area penambangan.
“Warga didesak untuk setuju (memberikan izin pengembangan lahan), (mereka) diancam, diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu termasuk pihak keamanan” kata Pastor Alsis Goa.
Saat ini, NTT juga dikembangkan sebagai bagian dari kawasan pariwisata premium. Dengan kebijakan itu, pembangunan pembangkit listrik, menurut Alsis menjadi lebih masif dibandingkan sebelumnya.
Lalu, pegembangan pembangkit listrik berbahan batu bara menjadi pilihan utama. Padahal, sepengetahuan Alsis, “penggunaan bahan bakar energi fosil tersebut jelas-jelas lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat bagi masyarakat di area tersebut.”
Sementara itu, Di Sulawesi Tengah, pembangunan PLTU yang dikelola oleh PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) mengakibatkan warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Arzad Hasan, warga Mpanau Kecamatan Palu Utara yang mengutip data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat, mengatakan sekitar 60% penduduk di area PLTU terjangkit ISPA, pada saat PJPP mengoperasikan PLTU unit 3 dan 4 pada 2015.
Warga Bali, khususnya yang tinggal di Desa Celukan Bawang juga mengeluhkan beroperasinya PLTU yang telah merusak ekosistem darat dan laut. Akibat limbah, lahan-lahan perkebunan tidak bisa panen secara maksimal dan tangkapan hasil laut pun menurun.
Jaringan Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Celukan Bawang menilai, “PLTU Celukan Bawang berdampak buruk bagi masyarakat dari hulu sampai hilir. Hasil kebun menurun drastis. Ekonomi hancur, ekosistem rusak. Limbah batubara telah mengganggu upaya pencarian nafkah nelayan dari segi hasil tangkap. Terumbu karang rusak, ekosistem di laut hancur”.
Sementara di tanah Papua, limbah dari perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, telah membabat habis ekosistem di wilayah pesisir. Bahkan lima sungai lenyap akibat pembuangan limbah perusahaan tambang emas dan perak tersebut.
Atas kondisi itu, Moh Taufik, Pegiat JATAM Sulteng menilai aturan yang ada telah mempercepat laju kerusakan lingkungan dan masyarakat yang menjadi korban.
“Pengesahan UU Minerba akan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup, mempercepat pengusiran rakyat dari ruang produksi,” ujar Taufik. (Jekson Simanjuntak)