JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat, hukum dan regulasi terkait lingkungan hidup berada pada kondisi yang dinamis sepanjang 2021. Walaupun terdapat perkembangan dalam berbagai aspek, regulasi yang merelaksasi instrumen lingkungan hidup dan mereduksi hak-hak masyarakat tetap ditemukan.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G. Sembiring pada acara “Indonesia Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia” yang bertujuan untuk merefleksikan kondisi hukum lingkungan di Indonesia selama 2021 dan memproyeksikan arah perkembangan hukum lingkungan di tahun 2022.
Menurut Raynaldo, ada beberapa hal penting terkait hukum lingkungan di Indonesia sepanjang tahun 2021, diantaranya terkait peraturan turunan dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, baik di level peraturan pemerintah maupun peraturan menteri berdampak pada relaksasi instrumen lingkungan hidup.
“Hal ini terlihat dari berkurangnya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal,” katanya. Meskipun dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja definisi masyarakat terdampak langsung diperluas, namun ICEL melihat derajat partisipasi masyarakat tetap kecil apabila dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tidak hanya itu, fleksibilitas dalam instrumen tata ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) utamanya dalam mengakomodir proyek strategis nasional juga menjadi catatan,” tegasnya.
Lebih lanjut, di sektor kehutanan, peraturan perundang-undangan turunan UU Cipta Kerja masih menyisakan ruang bagi kebijakan yang tidak ramah hutan dan justru membuka peluang eksploitasi lebih besar di kemudian hari.
Hal lain, kebijakan perubahan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius dan masih memberikan ruang penerapan solusi yang keliru (false solution), seperti rencana penerapan carbon capture and storage yang dikhawatirkan justru akan memperpanjang umur energi fosil.
Di sisi lain, pemerintah juga berusaha untuk mengupayakan instrumen ekonomi dalam penurunan emisi gas rumah kaca melalui Perpres 98/2021 terkait Nilai Ekonomi Karbon. Sekalipun begitu, norma dalam peraturan itu masih terlampau umum dan terbatas, sehingga diperlukan sistem operasionalisasi yang jelas serta metode verifikasi dan pencatatan yang kuat dan transparan untuk memastikan mekanismenya tidak menyebabkan kebocoran emisi dan melanggar hak-hak masyarakat.
Lalu, angin segar pembaruan hukum lingkungan datang dari ruang pengadilan. Di tahun 2021, kemenangan perdana kasus Anti-SLAPP di ranah pidana hadir dari perkara Robandi, dkk yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Bangka Belitung.
Pengadilan menginterpretasikan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 dengan mengakui dan mengidentifikasi perbuatan warga Kelurahan Kenanga sebagai bentuk partisipasi publik yang dijamin oleh hukum.
“Putusan itu menjadi preseden penting dalam upaya penguatan jaminan hak atas partisipasi masyarakat,” ungkap Raynaldo.
Selain itu, kemenangan lainnya datang dari perkara gugatan warga negara tentang pencemaran udara Jakarta yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, ICEL mendorong para tergugat untuk segera menjalankan putusan agar hak atas udara bersih bagi warga dapat segera dipenuhi.
“Lebih lanjut, tren kemenangan KLHK dalam berbagai gugatan kebakaran hutan dan lahan berlanjut di tahun 2021,” ungkapnya.
Kendati demikian, eksekusi terhadap putusan masih menjadi tantangan tersendiri. Hingga tahun 2021 setidaknya KLHK telah memenangkan gugatan senilai Rp4,67 triliun dari 14 litigasi perdata karhutla, namun hanya Rp131,1 miliar yang sudah dibayarkan.
“Memastikan eksekusi putusan yang berjalan dengan baik dan pelaksanaan pemulihan perlu menjadi prioritas,” jelasnya.
Dari ranah Mahkamah Konstitusi, perkembangan penting berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi soal Tindak Pidana Pencucian Uang yang memberikan kewenangan kepada PPNS KLHK untuk menangani TPPU di bidang kehutanan dan lingkungan hidup.
“Hal ini membuka peluang penguatan penegakan hukum LHK, karena membuka ruang untuk menelusuri TPPU dari tindak pidana asalnya,” kata Raynaldo. Putusan ini berpotensi memaksimalkan penerapan penegakan hukum terpadu.
Terakhir, dari sisi pemenuhan hak atas akses partisipasi, ICEL mencatat sepanjang 2021 terdapat beberapa regulasi yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
“Tendensi itu terlihat bagipengambilan keputusan untuk proyek strategis nasional,” ujarnya.
Di sisi lain, sebagian besar regulasi di sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang membuka ruang partisipasi publik dalam pengambilan keputusan tidak cukup memberikan jaminan bahwa partisipasi masyarakat akan dilakukan secara bermakna (meaningful participation).
Sebagian besar pengaturan dalam regulasi hanya berhenti pada apakah terdapat forum konsultasi publik atau tidak, dan tidak membuka ruang negosiasi serta umpan balik yang memadai.
Di sisi lain, pemenuhan hak akses atas informasi juga masih terkendala dengan masih sulitnya masyarakat mengakses informasi-informasi dasar lingkungan hidup, seperti perizinan, dokumen lingkungan hidup, maupun informasi emisi.
“Berdasarkan refleksi tersebut, upaya penguatan pada tahun 2022 perlu fokus pada penguatan kelembagaan lingkungan hidup dan perlindungan bagi hak masyarakat untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan satu kesatuan,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)