Seorang aktivis lingkungan mengambil sampel air yang tercemar di Sungai Citarum. Foto : dok Greenpeace. |
JAKARTA, BL- Sungai Citarum, Jawa Barat kini tak lagi bening, bahkan beberapa kanal diidentifikasi mengandung bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan.
Menurut laporan yang diluncurkan Greenpeace dan Walhi Jawa Barat kemarin, bahan-bahan kimia tersebut bersifat toksik bagi sistem reproduksi dan bahkan dapat menyebabkan kanker.
Investigasi Greenpeace menemukan bahan-bahan kimia berbahaya di muara kanal, kanal dan badan air yang menjadi saluran pembuangan industri di delapan area industri di Sungai Citarum, yaitu di Majalaya, Rancaekek, Cisirung – Dayeuhkolot, Margaasih – Leuwigajah, Batujajar, Padalarang, Jatiluhur dan Karawang. Dari investigasi tersebut terindikasi kuat bahwa bahan-bahan kimia berbahaya tersebut utamanya berasal dari industri tekstil.
Laporan Greenpeace “Bahan Beracun Lepas Kendali” menyoroti bahan kimia berbahaya yang dilepaskan industri ke sungai Citarum pada 10 (sepuluh) lokasi yang tersebar dari hulu hingga hilir sungai.
“Temuan ini menegaskan bahwa kita kehilangan kendali atas keberadaan bahan beracun di alam. Kami mendekati titik-titik buangan industri untuk mengetahui materi apa yang terkandung di dalamnya; dan mengkontraskannya dengan kondisi sebuah mata air di daerah hulu,” kata Ahmad Ashov Birry, Jurukampanye Air Bebas Racun Greenpeace Indonesia melalui keterangan tertulisnya.
Ashov menambahkan, investigasi tersebut dilakukan selama bulan Juni hingga Oktober 2012. Sampel diujikan ke laboratorium Institute of Ecology Universitas Padjadjaran di Bandung dan Lab Afiliasi Kimia UI (Universitas Indonesia) di Depok.
Beberapa temuan penting adalah bahwa pada beberapa lokasi kandungan Krom heksavalen (Cr6+) dan beberapa logam berat lainnya berada pada level yang mengkhawatirkan. Karena sifatnya yang tidak dapat diurai (persisten), maka logam berat dapat terus terakumulasi di jaringan tubuh mahluk hidup melalui rantai makanan (bioakumulasi) dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Contohnya logam Krom heksavalen (Cr6+) sebuah logam yang sangat beracun bahkan dalam konsentrasi rendah. Logam yang bersifat karsinogenik ini masih banyak digunakan oleh industri tekstil dan penyamakan kulit. Cr6+ terdeteksi di titik penyampelan Majalaya, Rancaekek, Margaasih, Batujajar, Cihaur, Jatiluhur.
Selain logam berat, juga teridentifikasi beberapa senyawa kimia organik beracun di beberapa titik sampel, diantaranya Diethyl phthalate (DEP) yang dapat mengganggu kerja endokrin dan bersifat toksik bagi biota akuatik. Bis(2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), Di-isobutyl phthalate (DiBP), Dibutyl phthalate (DBP) yang digolongkan sebagai ‘toksik terhadap sistem reproduksi’ juga ditemukan pada beberapa titik sampel.
Beberapa turunan phthalate tersebut ditemukan di Margaasih, Padalarang, Majalaya dan Jatiluhur. Senyawa kimia organik berbahaya lainnya yang diidentifikasi yaitu 2,6-bis (dimethyl ethyl-4 methyl) phenol atau dikenal dengan nama BHT & 4-chloro-3methyl-phenol (p-chlorocresol) yang merupakan kelompok alkylphenol, kedua materi tersebut diklasifikasikan sebagai toksik bagi kehidupan akuatik. Bahan kimia tersebut ditemukan di Padalarang, Majalaya, Cisirung, Jatiluhur dan Karawang.
Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat mengungkapkan, industri, khususnya tekstil di daerah aliran Sungai Citarum, memperlakukan sungai, yang menjadi sumber air bagi masyarakat, seperti selokan pembuangan pribadi mereka dan pemerintah dengan pendekatan reaktif “atur dan awasi” yang mengandalkan sistem end-of-pipe (IPAL) nya, terbukti gagal melindungi sumber air masyarakat dari pencemaran bahan kimia berbahaya.
“Satu-satunya jalan untuk memastikan nol buangan bahan berbahaya beracun di seluruh proses produksi adalah dengan memastikan bahwa tidak ada toksik persisten yang digunakan dari awal hingga akhir produksi,” tambah Ahmad Ashov.
Hasil penelitian Greenpeace dan Walhi mengindikasikan kualitas air sungai Citarum yang selama ini sumber penghasil 80 persen sumber air baku warga Jakarta telah tercemar berat, melebihi ambang batas aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Penurunan kualitas air Sungai Citarum ditandai dengan air yang berwarna hitam pekat, tampak seperti comberan dan menimbulkan bau tak sedap. Proses penurunan kualitas air Citarum menurut sejumlah sumber, mulai terjadi sejak tahun 1980-an, ketika industrialisasi berkembang pesat di Jawa Barat. Dimana sebagian besar pabrik berdiri di sekitar daerah aliran sungai. Perilaku masyarakat sekitar sungai yang suka membuang sampah ke bantaran sungai juga kian memperburuk kualitas air Sungai Citarum.
Baik Greenpeace maupun Walhi Jawa Barat meminta pemerintah untuk segera membuat sebuah komitmen politik untuk menuju ‘Nol Pembuangan’ semua Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dalam satu generasi, berdasarkan prinsip kehati-hatian dan pendekatan pencegahan dalam manajemen bahan kimia.
Komitmen tersebut ditekankan pada prinsip subtitusi, dan meliputi pertanggung jawaban produsen agar dapat mendorong inovasi dan eliminasi penggunaan materi toksik dan berkomitmen menghentikan pembuangan bahan kimia berbahaya dan beracun melalui produksi bersih. (Marwan Azis).