JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Permasalahan keamanan kemasan pangan kerap belum mendapat perhatian dan terbilang jarang diperbincangkan di publik. Padahal, banyak bahan kimia beracun yang masih digunakan dalam pembuatan kemasan makanan terutama berbahan plastik.
Seperti zat tambahan yang digunakan dengan alasan fleksibilitas, pewarnaan, ketahanan terhadap panas atau sinar matahari. Hal itu bukan hanya berpengaruh pada pencemaran lingkungan, namun juga berbahaya bagi kesehatan.
Direktur Program Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti mengatakan dalam konteks mutu dan keamanan pangan, seharusnya kemasan makanan perlu menjadi perhatian. Sebab, banyak istilah senyawa kimia berbahaya dalam kemasan pangan yang tidak dipublikasikan.
Titik menilai produsen pangan hanya berlomba-lomba membuat kemasan pangan semenarik mungkin tanpa mengindahkan keamanan kemasan.
“Buktinya banyak istilah kimia yang ada dalam kemasan pangan tidak familiar bagi umum. Sehingga pasti tidak akan tahu, karena jarang terpublikasi khususnya kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah),” ujar Titik dalam sesi diskusi yang digelar Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bertajuk ‘Bahan Kimia Beracun dalam Kemasan Makanan, Masalah Baru?’ beberapa waktu lalu.
Oleh karenanya, Titik meminta hal itu menjadi perhatian bersama. Sejauh ini, ada dua regulasi terkait kemasan pangan. Pertama, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 82 ayat (1) tertuang bahan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan tidak melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia.
Kedua, peraturan BPOM No. 20/2019 tentang Kemasan Pangan. Pada peraturan tersebut zat kontak pangan dilarang digunakan sebagai kemasan pangan.
Sejauh ini, ada lima kategori zat kontak pangan yang dilarang dalam Peraturan BPOM tersebut. Pertama, zat kontak kemasan plastik seperti pewarna, penstabil, pemlastik, pengisi, perekat, curing agent, antioksidan, pensanitasi.
Kedua, tinta yang tercetak langsung pada kemasan seperti pewarna. penstabil, dan pelarut.
Ketiga, zat kontak pada pangan logam. Keempat, kontak pangan dalam kemasan karet. Terakhir, zat kontak pada kemasan pangan gelas.
“Meskipun sudah ada regulasi, kami menemukan fakta menarik seperti koran jadi alas gorengan, kertas minyak jadi pembungkus makanan. Ini menjadi idola di masyarakat karena bahannya mudah diakses dan murah harganya. Padahal mengandung bahan kimia beracun yang berbahaya bagi masyarakat,” jelasnya.
Titik memaparkan kemasan makanan tersebut kebanyakan mengandung Pb (timbal) yang dapat pemicu gangguan saluran pernapasan, merusak sistem pencernaan, sistem peredaran darah, ginjal, hati, otak, saraf, alat reproduksi, dan tulang. Tak hanya itu, tinta yang ada dalam koran juga menjadi pemicu kanker.
“Sebenarnya keamanan pangan tidak hanya soal pencemaran pangan fisik, kimia, biologi, tetapi di dalam kemasan sendiri banyak bahan berbahaya yang mengancam keberlangsungan dan kesehatan manusia. Seperti di dalam plastik yang mengandung logam beratnya, timbalnya cukup tinggi. Itu menjadi pemicu kanker, kemudian kerusakan otak, jaringan saraf dan juga saluran pencernaan,” tambahnya.
Sementara itu, Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania yang juga menjadi pembicara menyebutkan bahwa kemasan pangan terutama plastik sekali pakai menjadi pemicu pencemaran lingkungan, terutama di lautan.
Hal itu terbukti dari riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang menyebutkan 59 persen sampah plastik yang mengalir ke teluk Jakarta adalah styrofoam.
Tak hanya itu, berdasarkan Brand Audit pada tahun 2020, produk yang paling banyak ditemukan adalah kemasan makanan, yakni sebesar 203,427 potongan. Adapun tipe plastik yang ditemukan seperti PET (Wadah minuman), PP (Wadah Makanan). Lalu pencemar terburuknya ada brand Danone, Wings Food, dan Mayora.
“Jadi sebenarnya pencemar terburuk adalah industri-industri yang bergerak pada bidang makanan dan minuman. Inilah mengapa kemasan makanan itu penting untuk dibahas, tapi sering diabaikan,” jelasnya.
Bella menegaskan bahwa terkait regulasi keamanan pangan, ada dua sektor yang mengatur, yakni Permen lingkungan hidup dan BPOM. Namun acap kali kedua peraturan di dua sektor tersebut tidak berjalan beriringan. Salah satunya, aturan terkait penggunaan styrofoam.
“Permen LHK (75/2019) sangat ketat melarang penggunaan kemasan yang tidak bisa diurai di alam seperti styrofoam. Styrofoam itu berbahaya. Menariknya di peraturan BPOM ini masih diijinkan,” lanjut Bella.
Bella juga menyoroti aturan daur ulang kemasan di Indonesia, khususnya kertas dan karton. Menurutnya masih belum ada kejelasan terkait daur ulang kedua bahan tersebut. Tak hanya itu, aturan yang dibuat, menurut Bella, belum menunjukkan adanya tindakan penegakan hukum, khususnya kepada produsen kemasan yang melanggar.
Seharusnya, kata Bella, pemerintah bisa mendorong para produsen mematuhi aturan, caranya dengan memberikan insentif. Misalnya jika produsen tidak menggunakan styrofoam, maka produsen bisa mendapatkan insentif.
“Sejauh ini peraturan terkait insentif belum ada, hanya sanksi administrasi yang ditetapkan. Sama halnya dengan sanksi pidana, saya belum melihatnya. Apakah ada produsen dipidana karena kemasan makanan diproduksi tidak sesuai aturan?,” tanya Bella.
Karena itu, Bella menyarankan agar pemerintah memberikan solusi jangka panjang. Seperti misalnya mekanisme insentif untuk mendorong inovasi. Hal ini juga diamini oleh Venture Builder ENVIU/Zero Waste Living Lab, Tauhid Pandji.
Tauhid menilai, saat ini diperlukan inovasi ramah lingkungan untuk hidup yang berkelanjutan. Kelompok usaha bisa mengambil inisiatif untuk mencari solusi dari masalah seperti bahan kimia beracun dalam kemasan.
“Seperti yang dilakukan ENVIU/Zero Waste Living Lab yakni scaling impact, replicating, dan ideating. Tiga hal itu mencakup bagaimana bekerja sama dengan entrepreneur dan startup yang visinya menuju produk ramah lingkungan,” jelasnya di kesempatan yang sama.
Sejauh ini, ENVIU/Zero Waste Living Lab sudah membangun kerjasama ke beberapa pihak, termasuk menciptakan 7 usaha guna ulang. Ketujuh usaha itu mengganti kemasan sachet, disposable cups, liquid containers, plastics bags, plastic bottle, termasuk food container.
“Kami juga mulai inovasi dalam order makanan online. Seperti menciptakan konsep borrow, use, return. Pelanggan bisa memesan dengan opsi kemasan alas yang circular, bisa dipakai ulang dan nanti bisa dikembalikan lagi,” tambahnya.
Tauhid berharap inovasi yang mereka ciptakan akan terus berkembang. Sehingga kedepannya akan berguna untuk masyarakat. Dia juga berharap solusi tersebut bisa didukung oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah dan para produsen kemasan.
“Mimpi kedepan, ini bukan lagi solusi alternatif, justru jadi hal yang mainstream, jadi kebiasaan. Bisa bebas plastik dan juga mengurangi resiko terpapar bahan kimia berbahaya,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)