JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengecam tindakan represif aparat kepolisian terhadap aksi damai yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Masyarakat Pelajar Papua (IMMAPA) Bali pada hari Selasa, 8 Juni 2024.
Aksi ini bertujuan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi dalam mempertahankan tanah dan hutan adat mereka dari ancaman perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, menyatakan, tindakan represif aparat kepolisian terhadap aksi damai mahasiswa Papua adalah pelanggaran terhadap hak demokratis untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. “Mahasiswa Papua yang memperjuangkan hak hidup dan tanah adat mereka seharusnya mendapat perlindungan, bukan kekerasan.”ujarnya melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (12/06/2024).
“WALHI Papua mengecam keras tindakan brutal ini dan meminta pertanggungjawaban dari pihak kepolisian atas perlakuan terhadap para demonstran. Kami juga menyerukan kepada masyarakat luas untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi dalam mempertahankan hutan adat mereka dari eksploitasi yang tidak berkelanjutan.”ujarnya.
Kronologi Kejadian
Pada pukul 09.30 WITA, sekitar 200 mahasiswa Papua berkumpul di parkiran timur lapangan Renon, Denpasar. Mereka kemudian berbaris rapi dan membentangkan spanduk serta poster-poster kampanye “Selamatkan Hutan Papua”.
Namun, sebelum mencapai titik aksi di bundaran Renon, di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat, polisi sudah bersiaga dengan memarkir dua mobil Dalmas dan satu mobil komando untuk mengadang massa aksi.
Aparat kepolisian, berjumlah sekitar 200 personel, mengadang massa dengan alasan adanya aksi tandingan oleh ormas PGN di depan Konsulat Jenderal AS.
Selama empat jam, mahasiswa Papua bertahan di tempat sambil berorasi, membaca puisi, dan menyampaikan pesan-pesan damai.
Namun ketika massa mencoba mendobrak barikade untuk mencapai titik aksi, polisi merespons dengan menembakkan gas air mata, mendorong, menendang, dan memukul beberapa mahasiswa.
Dalam insiden yang terjadi di Bali, beberapa mahasiswa mengalami luka-luka akibat tindakan represif polisi terhadap aksi damai “Selamatkan Hutan Papua”. Lima orang, termasuk empat mahasiswa Papua dan seorang aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, ditangkap dan dibawa ke Polsek Renon.
Setelah sekitar empat puluh menit, massa aksi mendatangi Polsek Renon untuk menuntut pembebasan rekan-rekan mereka, yang akhirnya dibebaskan oleh polisi.
Perjuangan Suku Awyu dan Suku Moi
Di sisi lain, Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, tengah berjuang melawan investor yang merambah hutan adat mereka. Mereka terlibat dalam gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit untuk mempertahankan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Hendrikus Woro, mewakili Suku Awyu, menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin lingkungan untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang memiliki izin seluas 36.094 hektare. Meski gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua, mereka berharap Mahkamah Agung akan mengabulkan kasasi mereka.
Selain PT IAL, masyarakat adat Awyu juga menghadapi gugatan dari PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang berekspansi di Boven Digoel. Sementara itu, Suku Moi melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit.
Seruan untuk Aksi Global
WALHI Papua mengajak seluruh elemen masyarakat, baik di dalam negeri maupun komunitas internasional, untuk turut serta dalam kampanye “Selamatkan Hutan Papua”. Penting bagi kita semua untuk memperjuangkan kelestarian hutan Papua, yang bukan hanya merupakan rumah bagi spesies langka dan masyarakat adat, tetapi juga aset ekologis yang vital bagi keseimbangan lingkungan global.
WALHI Papua ingin menegaskan bahwa perjuangan untuk melindungi hutan Papua adalah perjuangan untuk kehidupan dan keberlanjutan.
Menurut Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, dukungan dan solidaritas dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi, serta hutan Papua tetap lestari untuk generasi mendatang (Marwan Aziz)