JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengirim surat keberatan atas izin lingkungan PLTU Jawa 9 & 10 kepada Gubernur Banten, Wahidin Halim. Dasar dari pengiriman surat itu yaitu Pasal 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dalam suratnya, WALHI menyertakan beberapa alasan keberatan antara lain: AMDAL PLTU Jawa 9 dan 10 mengandung kecacatan hukum dan kekeliruan informasi, izin Lingkungan Jawa 9 & 10 tidak dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan Izin Lingkungan lemah .
“Dengan surat keberatan itu, kami menuntut Gubernur Banten menunda dan mencabut izin lingkungan PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek itu hanya akan mendatangkan mudarat dan akan merugikan lingkungan hidup,” ungkap Ronald Siahaan dari WALHI Nasional.
Menurut Ronald, PLTU Jawa 9 & 10 akan menambah daftar panjang PLTU batubara yang mengelilingi ibukota Jakarta. Tahun lalu, Jakarta mendapat predikat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia karena banyaknya PLTU batubara yang yang beroperasi di sekitar Jakarta, termasuk Banten.
Selain itu, data Kemenkes 2018 menunjukkan Provinsi Banten merupakan 5 teratas provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi, sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Cilegon pada tahun 2019, mencatat bahwa penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk Cilegon adalah ISPA dengan 39.455 kasus.
Analisis model dampak kesehatan rencana pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 oleh Greenpeace Indonesia juga menemukan, PLTU dapat mengakibatkan 4.700 kematian dini selama masa operasinya.
Ini menggambarkan bahwa proyek Jawa 9-10 akan semakin menambah beban ekologis Banten. Terlebih, menurut Ronald, saat ini pesisir Banten memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Jika tetap dilaksanakan, kerentanan ekosistem pesisir semakin bertambah.
“Keberadaan PLTU juga akan menambah kerentanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana ekologis yang disebabkan dari akumulasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup,” kata Ronald.
Oleh karena itu, Ronald menilai, perencanaan proyek atau pembangunan yang membebani lingkungan hidup sama halnya dengan merencanakan bencana. Sementara memberikan izin lingkungan sama halnya mempersilahkan Banten dikepung bencana.
Di samping itu, studi pra-kelayakan dari lembaga pengembangan Korea Selatan menilai proyek PLTU Jawa 9 & 10 tidak menguntungkan dari segi bisnis. Selain Korea Electric Power Corporation (KEPCO), lembaga keuangan publik Korea Selatan seperti Korea Development Bank (KDB), Korea Expor Impor Bank (KEXIM), Korea Trade Insurance Corporation (K-Sure) diketahui memiliki andil besar dalam mendanai pembangunan PLTU batubara Jawa 9 & 10.
SEA Energy Finance Campaigner dari Market Forces Binbin Mariana, menyebut beberapa bank di Asia juga terlibat dalam kredit sindikasi untuk pembiayaan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. Manajer sindikasi kredit untuk PLTU Jawa 9 dan 10 diantaranya; DBS Singapura, CIMB dan Maybank, juga Bank of China.
“Sedangkan dari Indonesia, bank yang terlibat adalah Bank Mandiri, BNI dan Indonesia Eximbank. Selain itu, Bank Hana dari Korea Selatan juga terlibat dalam kredit sindikasi ini,” kata Mariana.
Bersama mitranya di Indonesia, PLN, para investor tersebut hanya akan menderita kerugian apabila PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi aset terlantar.
Lebih lanjut Mariana menilai, investasi pada proyek yang memiliki cacat hukum dan berpotensi atas pembatalan izin lingkungan merupakan keputusan yang tidak rasional. Masalah ini akan berdampak pada proses pembangunan PLTU Jawa 9 & 10, sehingga proyek itu berpeluang menjadi aset terlantar yang dapat merugikan investor.
“Tidak ada satupun hal positif dari proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek ini hanya akan menambah panjang sejarah degradasi kualitas udara dan penurunan mata pencaharian bagi komunitas terdampak di Indonesia, selain memperkeruh dampak fatal perubahan iklim,” tegas Binbin Mariana.
Sementara itu, Pengampanye Energi dan Urban WALHI Eksekutif Nasional Dwi Sawung menilai laporan kuartal I 2020, PLN rugi Rp 38,8 triliun dan terjerat utang mencapai Rp 500 triliun sehingga sangat memerlukan suntikan dana dari pemerintah.
Buruknya kondisi keuangan PLN ini, menurut Sawung terjadi karena praktik bisnis buruk di PLN sejak puluhan tahun silam, perjanjian jual-beli listrik dengan klausul take or pay, berarti PLN akan terus membeli listrik dari pihak swasta meski tidak dibutuhkan. Klausul ini masih dipakai dalam program listrik 35.000 MW.
“Sebagai proyek yang masuk dalam program 35.000 MW, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 tentu saja akan menambah beban keuangan PLN, papar Dwi Sawung.
Sementara, kondisi pertumbuhan konsumsi listrik jauh di bawah perkiraan, sehinggapembangkit ini tidak diperlukan dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali.
“PLN tetap akan membayar listriknya atau pilihan lain mematikan pembangkit milik PLN untuk mengurangi kerugian. Kerugian ini seolah-olah ditanggung PLN, padahal negara-dengan menggunakan uang pajak masyarakat, yang akan menanggung kerugian tersebut seperti yang terjadi dua dekade lalu,” pungkas Sawung. (Jekson Simanjuntak)