JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Perwakilan Manila Observatory Philippines Tony La Viña mengatakan ada banyak persoalan terkait perubahan iklim, khususnya di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
“Karena itu apa yang bisa dikerjakan, harus dikerjakan segera mungkin,” katanya.
Dalam diskusi daring bertajuk “Menuju COP-26 di Glasgow: Pembelajaran Peningkatan Aksi Iklim yang Lebih Ambisius”, Tony memaparkan sejumlah hal terkait konferensi perubahan iklim PBB 2021, juga dikenal sebagai COP 26 yang diadakan di kota Glasgow, Inggris dari tanggal 31 Oktober hingga 12 November 2021.
Menurut Tony, COP 26 harus dimaknai sebagai pembaruan dari isu-isu terkini. Juga memahami atmosfer konferensi, serta kontroversi yang mungkin muncul di dalamnya. “Serta termasuk bagaimana cara media meliputnya,” katanya.
Bagi yang akan meliput COP 26, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah ‘persiapan’. Persiapan meliputi penguasaan isu, update informasi terbaru, juga kaitannya dengan kebijakan yang akan diambil oleh sebuah negara, seperti Indonesia contohnya.
“Bahkan sebelum Glasgow, mulai bulan depan akan ada report terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim yang membahas sejumlah hal terkait perubahan iklim,” kata Tony.
Pertemuan yang merupakan panel ilmiah yang juga dihadiri oleh para ilmuwan dari seluruh dunia itu akan digelar pada Agustus mendatang. Pertemuan akan membahas opsi kemungkinan menurunkan emisi 1.5ºC yang sebenarnya sulit, sementara menurunkan emisi 2ºC secara global juga tidak berjalan baik.
“Bagi negara seperti Filipina dan Indonesia itu adalah target besar dan juga menjadi target dari negara-negara maju. Namun itu belum cukup,” ujar Tony yang juga berprofesi sebagai advokat lingkungan di Filipina.
Upaya menurunkan emisi global sebesar 2ºC tidak mudah, karena dibutuhkan kesungguhan yang luar biasa. Namun agar tidak terjebak disitu, Tony mengajak media di Indonesia lebih berfokus pada pertemuan IPCC dan mencoba memaknai seperti apa dampaknya bagi Indonesia.
Menurut Tony, Jika bisa pergi ke Glasgow itu sebuah keberuntungan, namun kita tetap bisa memantau pertemuan tersebut secara virtual. Laporan yang dirilis disana merupakan bagian penting dari riset ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
“Kemudian mereka akan membuat kesimpulan, bahkan ketika dunia ini ternyata gagal mencapai sesuatu yang mengakibatkan kondisi iklim yang darurat,” terang Tony.
Karena itu, Tony mengingatkan bahwa update ilmu pengatahuan terbaru sangat penting untuk diketahui publik, tidak hanya pada COP 26 di Glasgow, namun juga paska pertemuan tersebut.
Salah satu contohnya adalah hasil IPPC 5th Assessment Report (AR5) yang menyatakan pengaruh manusia terhadap sistem iklim sangat jelas dan emisi gas rumah kaca antropogenik baru-baru ini adalah yang tertinggi dalam sejarah.
“Perubahan iklim baru-baru ini memiliki dampak luas pada sistem manusia dan alam,” katanya.
Perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan. Meskipun demikian, ada banyak peluang disana, diantaranya bagaimana menghubungkan mitigasi, adaptasi, dan pencapaian tujuan sosial lainnya melalui tanggapan terpadu.
“Implementasi yang berhasil bergantung pada alat ukur yang relevan, struktur tata kelola yang sesuai, dan peningkatan kapasitas untuk merespons hal itu,” ungkap Tony.
Narasi Geo-Politik
Tony kemudian menjelaskan bahwa COP 26 harus dimaknai secara geo-politik, dimana ada peran sejumlah negara, utamanya negara maju. Oleh karena itu, media perlu mengetahui siapa saja yang terlibat dan seperti apa perannya.
“Negoisasi di COP adalah terkait dengan geo-politik. Media perlu mengetahui tentang perkembangan masing-masing grup,” tegas Tony.
Sejauh ini, pembagian didasarkan atas kategori negara maju, negara berkembang dan negara-negara rentan akibat perubahan iklim. Negara yang termasuk dalam kategori maju dibagi dua, yakni Developed countries (1) terdiri dari sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa (Eropa bagian barat), Jepang, Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, dan Swiss.
Sementara kategori Developed Countries (2) meliputi: Rusia, negara-negara Eropa di bagian timur, Korea Selatan dan Meksiko. Kemudian ada kategoru Big Developing Countries meliputi China, India, Brasil, Afrika Selatan dan Indonesia.
Kategori selanjutnya, Middle income Developing Countries meliputi negara Asean, negara-negara Asia, Negara Amerika Latin (GRULAC), dan negara Afrika (African Group)
Juga tak ketinggalan ketegori yang dikenal sebagai Most vulnarable countries atau negara dengan kondisi sangat rentan. Mereka seperti negara-negara kecil di Pasifik (OASIS) dan juga negara-negara miskin atau Less developed countries (LD). “Yang masuk kategori ini bergabung dalam Climate vulnarable forum. Salah satunya Bangladesh.” kata Tony.
Ketika negara maju dikelompokkan ke dalam dua grup besar, Tony menyebutnya sebagai upaya yang tidak mudah. Hal itu terjadi akibat adanya perbedaan mencolok diantara mereka.
Contohnya ada negara-negara Uni Eropa yang dikelompokkan berdasarkan proposal tentang bagaimana mereka melakukan aksi akselerasi perubahan iklim. Disisi lain, hal itu ternyata berdampak terhadap Indonesia.
Ketika negara Uni Eropa menerapkan impose pajak lintas batas untuk produk yang menurut mereka dihasilkan dari emisi yang sangat sedikit. Ternyata hal itu bertentangan atau melanggar ketentuan dari Perjanjian Paris.
“Jadi sangat kontroversial terkait proposal yang diajukan negara uni Eropa,” katanya.
Sementara itu, negara berkembang juga berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya yang masuk kategori big developing countries. Contohnya China dan India. Sementara Fiilipina berada di dalam negara middle income developing countries.
“Indonesia juga termasuk kategori Big developing countries yang berpengaruh terhadap perubahan iklim karena menghasilkan emisi besar dibandingkan negara lain di ASEAN, terutama emisi dari sektor kehutanan,” ujar Tony.
Ketika Indonesia dilihat sebagai Big developing countries sehubungan dengan perannya dari sisi pemanasan global dan perubahan iklim, maka setiap keputusan yang dibuat, termasuk pembatasan dan juga target NDC dipastikan berdampak besar secara global.
Namun agar tidak bingung mengenai klasifikasi tersebut, Tony mengusulkan agar media lebih cermat dalam membedakan antara negara maju dan berkembang, karena seringkali ada bias disana.
“Contohya, negara berkembang di ASEAN harus mampu membedakan peran Indonesia dalam negoisasi perubahan iklim, karena emisi yang dihasilkan Indonesia sangat besar,” katanya.
Di COP 26, Tony mengingatkan bahwa apapun yang diumumkan oleh delegasi Indonesia di Glasgow sebaiknya dijadikan sebagai headline pemberitaan, karena itu akan berdampak secara luas, tidak hanya di kawasan ASEAN namun juga secara global.
Keadilan Vaksin
Selain perubahan iklim, Tony mengatakan bahwa isu raksasa di masa pandemi sekarang ini adalah isu ‘keadilan vaksin’. “Sangat berhubungan antara keadilan iklim dan keadilan vaksin,” terangnya.
Negara maju yang kuat diharapkan secara tulus mampu membantu negara-negara lain sesuai kemampuan mereka. Juga mengambil tanggungjawab besar bagi negara-negara lain, seperti Indonesia yang sedang berjuang menghadapi pandemi.
Bahkan di Glasgow nanti, menurut Tony, dunia akan melihat bahwa negara berkembang tidak akan mengirimkan delegasinya dalam jumlah besar. “Sangat mustahil melakukan itu dan berbahaya karena pandemi,” katanya.
Menurut Tony, Indonesia mungkin akan mengirimkan 100 delegasi pada COP 26 jika keadaannya normal. “Akan mengejutkan, ternyata jumlah delegasi hanya 20-30 orang saja yang berangkat,” ujarnya.
Semua diakibatkan oleh serangan virus SarsCov-2 yang merata di seluruh dunia. Karena itu, isu terkait keadilan vaksin bakal menggema di ruang-ruang COP 26. Ketika negara maju mulai beralih terkait kemungkinan perlunya booster vaksin, ternyata negara berkembang tidak memiliki kemewahan itu. “Kondisi ini menimbulkan kesenjangan,” katanya.
Tony juga menyadari bahwa, “Indonesia sangat lambat melakukan vaksinasi. Ada banyak alasan untuk itu, dan salah satunya terkait tidak tersedianya cukup vaksin”.
“Saya pikir ini penting sebagai bagian dari daftar pembahasan saat konvensi perubahan iklim di Glasgow,” ucap Tony.
Mengapa keadilan vaksin menjadi penting? Menurut Tony, hal itu berdampak secara nyata terhadap keadilan iklim, dimana negara yang tidak mampu mewujudkan keadilan vaksin akan semakin tertinggal. Termasuk tidak akan mampu mewujudkan keadilan iklim.
Ini merupakan esensi dari negara maju yang punya sumberdaya agar membantu negara lain menyelesaikan persoalan pandemi. Menurut Tony, prinsip yang sama harus diaplikasikan sebagai bentuk tanggungjawab bersama.
“Yang artinya secara prinsip bahwa sumberdaya tentang keadilan vaksin sangat dibutuhkan semua negara,” terangnya.
Karena itu, Toni menjelaskan, sangat salah jika meninggalkan negara berkembang terkait kebutuhan vaksinnya. Teknologi dan material yang dimiliki negara maju seharusnya dibagikan merata ke semua negara yang membutuhkan. Bahkan saat ini, telah ada pembahasan di organisasi pedagangan dunia (WTO) khusus membahas tentang teknologi vaksinasi.
“Tidak peduli tentang teknologi karena yang terpenting adalah keberadaan vaksin itu sendiri secara faktual bisa dimanfaatkan oleh semua negara,” kata Tony.
Sementara kaitannya dengan perubahan iklim, Tony menjelaskan tentang adanya janji negara maju kepada negara berkembang untuk memberikan pendampingan finansial dan pendampingan teknologi. “Tetapi janji itu sampai sekarang belum terealisasi,” tukasnya.
Non-state actor
Pada pertemuan COP 26 nanti, Tony menjelaskan tentang pentingnya mencermati dinamika yang terjadi pada pertemuan non-state actor (pertemuan non pemerintah). Pertemuan itu akan dihadiri oleh sejumlah aktivis lingkungan, grup bisnis, pemerintah lokal, organisasi yang sedang berkembang, masyarakat adat, gereja dan grup kepercayaan, perempuan, termasuk juga pemuda.
“Saya yakin akan ada perwakilan dari Indonesia disana, jika tidak ada di Glasgow, mungkin di pertemuan virtual tentang itu,” kata Tony.
Salah satu topik yang mencuat menurut Tony adalah isu masyarakat adat. Dikabarkan, perwakilan masyarakat adat dari Indonesia akan terlibat disana, sebagai bagian dari kelompok rentan akibat perubahan iklim.
“Saya tidak tahu apakah secara fisik mereka akan ada disana. Namun menurut saya peliputan kepada mereka yang terdampak perubahan iklim harus dilakukan,” kata Tony.
Bahkan, pertemuan yang mewakili grup bisnis, pemerintah lokal, termasuk gereja dan aliran kepercayaan juga menarik untuk disimak.
Menurut Tony, ada hal unik yang akan terjadi di COP 26 Glasgow, yakni hadirnya Paus Fransiskus. Meski tidak bisa memastikannya, Tony mengatakan, “Ini tidak 100% confirm namun hal itu telah diumumkan”.
Paus Fransiskus akan hadir, bukan sebagai pemimpin umat Katolik atau sebagai perwakilan Kristen namun sebagai perwakilan agama di dunia. “Karena kita tahu semua agama di dunia, Islam, Kristen, Budha akan bersatu sehingga menjadi lebih kuat dalam aksi iklim,” katanya.
Berkaca Dari Amazon
Ketika negara maju tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, kaitannya dalam penurunan emisi demi mengurangi pemanasan global. Hal itu dianggap Tony sebagai kesaahan besar.
Karena itu, Tony menyarankan agar media tetap memberi ruang pada pola-pola adaptasi yang dilakukan oleh negara berkembang. Juga terkait mitigasi yang dilakukan oleh semua negara.
“Pengurangan emisi merupakan isu besar yang secara tidak langsung berhubungan dengan Indonesia. Isu besar bagi Glasgow, akan seperti Amazon yang sekarang ini telah berkembang sebagai gross emitter penyumbang energi kotor,” terang Tony.
Ketika Amazon muncul pertama kali banyak yang mengelu-elukan sebagai penghasil oksigen terbesar bagi Bumi. Namun yang terjadi belakangan sangat berbeda, ketika Amazon dihancurkan oleh pemerintahnya sendiri.
“Karena itu masyarakat akan bertanya, bagaimana dengan Indonesia. Apa bedanya Amazon di Brasil dengan Indonesia?” tanya Tony.
Ini sangat masuk akal, karena Indonesia dikenal dengan deforestasinya. Meskipun berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu Ha, menurut Tony angka tersebut masih besar.
“Ketika masih membakar hutan, hal itu akan dipertanyakan pada pertemuan nanti. Saya tidak tahu menjawab ini dan itu jadi pertanyaan besar bagi kami,” ujar Tony.
Indonesia menurut Tony tidak akan sekontroversial Amazon, namun hal itu tetap tidak bisa dipisahkan dari perannya sebagai negara emerging market yang belum mampu memperbaiki target emisi di dalam NDCnya.
Pertemuan Bali
Pertemuan COP-13 tahun 2007 di Bali, menghasilkan Bali Action Plan, yang diantaranya menyepakati pembentukan The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG- LCA). Selanjutnya AWG-LCA bertujuan mengefektifkan kerangka kerjasama jangka panjang. Menurut Tony, peran Indonesia sangat besar dalam pertemuan tersebut.
“Saya selalu mengajak semua orang untuk mengingat Bali tahun 2007 sebagai bagian dari negoisasi perubahan iklum dari mitigasi ke adaptasi,” katanya.
Sebelum pertemuan di Bali, Tony mengatakan bahwa mereka telah putus asa, karena tidak tahu apa yang bisa dilakukan secara global. Tetapi Bali Action Plan telah mendorong pada perjanjian baru yang lebih progresif.
“Namun sayangnya kita gagal mencapai kesepakatan di Copenhagen (2009),” katanya.
Kemudian secara bertahap pertemuan lanjutan digelar, mulai dari Cancun (2010), Durban (2011), Doha (2012), Warsaw (2014), Lima (2014) hingga berlanjut pada pada COP-17 di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2011.
Dalam konferensi itu dibentuk The Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action(ADP), yang bertujuan untuk mengembangkan protokol, instrument legal lainnya dibawah Konvensi yang berlaku untuk seluruh negara pihak (applicable to all Parties), yang harus diselesaikan paling lambat tahun 2015 pada pertemuan COP-21.
Pertemuan COP21/ CMP11 UNFCCC yang berlangsung di Paris pada tanggal 30 November – 12 Desember 2015 sepakat untuk mengadopsi serangkaian keputusan (decisions) di antaranya menahan peningkatan temperatur rata- rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi.
“Perjanjian Paris merupakan produk dari pertemuan di Bali yang sudah 13 tahun itu sebagai terobosan terbesar,” kata Tony yang sempat bekerjasama dengan delegasi Indonesia di Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris menurut Tony sebagai cerminaan kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan sesuai kapabilitas Negara Pihak, dengan mempertimbangkan kondisi nasional masing-masing.
Perjanjian Paris meskipun bukan yang terbaik, tetapi masih lebih baik dan tetap tidak pernah cukup untuk menuntut komitmen setiap negara mengurangi jumlah emisinya. Karena itu, Perjanjian Paris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan.
“Termasuk juga menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim sebagai upaya mencapai yang terbaik,” terang Tony yang terlibat pertemuan Bali di tahun 2007.
Perjanjian Paris juga mewajibkan setiap negara pihak (Parties) menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama paling lambat bersamaan dengan penyampaian dokumen ratifikasi. “Ini nantinya akan dimuat dalam Public Registry yang dikelola oleh Sekretariat UNFCCC sebelum COP Glasgow dimulai,” katanya.
Itu sebabnya, Tony mengingatkan bahwa meningkatkan ambisi terkait perubahan iklim harus tetap diutamakan. Jangan sampai di COP 26 Glasgow malah menghasilkan kemunduran.
“Jadi pertanyaan kita tentang Glasgow dan setelah Glasgow adalah dunia yang lebih baik. Meskipun kita telah melakukan improve dari Perjanjian Paris, kita harus meningkatkan ambisi juga mengurangi kehilangan dan kerusakan, termasuk terciptanya keadilan iklim di Glasgow,” pungkas Tony. (Jekson Simanjuntak)