JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM-Sejumlah isu krusial terkait komitmen untuk menekan perubahan iklim global terus disuarakan.
Termasuk dalam Diskusi Publik bertajuk “Menuju COP26 di Glasgow: Pembelajaran Peningkatan Aksi Iklim yang Lebih Ambisius”, yang digelar The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia, pada Jumat, 16 Juli 2021.
Sejumlah pembicara mengungkap isu krusial tersebut dalam diskusi daring. Tony La Viña dari Manila Observatory, Philippines menyatakan bahwa perhelatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) yang akan digelar di Glasgow, Skotlandia, November mendatang itu tak bisa lepas dari isu pandemi Covid-19 yang melanda global.
Tony menekankan update sains dalam pembahasan maupun pengambilan keputusan di COP26. Isu tentang climate justice dan vaccine justice juga sangat penting dibahas karena keduanya saling terkait.
“Isu keadilan distribusi vaksin Covid-19 khususnya di negara-negara berkembang saat ini juga berkait dengan isu keadilan iklim. Sebab saat ini banyak negara berkembang yang notabene terdampak perubahan iklim masih kesulitan mendapatkan vaksin Covid-19 dibanding negara maju,” papar Tony.
Terkait dengan komitmen negara-negara maju dalam kesepakatan Paris Agreement, Mahawan Karuniasa, Founder environment Institute mengingatkan pentingnya para delegasi termasuk Indonesia di COP26 untuk menagih komitmen negara maju.
“Isu krusial lainnya adalah menagih komitmen negara maju untuk menyalurkan dana 100 miliar USD ke negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim. Sebab sampai saat ini, janji tersebut belum terealisasi sepenuhnya,” tuturnya.
Dalam Konferensi perubahan iklim (conference of parties/COP) ke-26 yang sempat tertunda karena pandemi, para delegasi diharapkan mengusulkan sejumlah hal. Diantaranya, komitmen baru untuk membawa emisi ke nol bersih dan usulan dana tambahan untuk negara-negara berkembang yang selama ini belum ditepati negara maju.
Moekti H. Soejachmoen – Co-Founder & Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menambahkan, agenda COP26 akan dilaksanakan paralel secara negosiasi dan non-negosiasi.
“Dalam KTT nanti kelompok perundingan tetap di UNFCCC dan kelompok perundingan baru dan berdasarkan isu atau kepentingan sesaat dari sekitar 200 negara akan melakukan negosiasi. Sedangkan non-negosiasi berasal dari Cartagena Dialogue (forum dialog dan berbagi informasi sekitar 30-40 negara) dimana Indonesia menjadi salah satu penggagas.”
Agenda menciptakan kesepakatan bersama dalam penanganan perubahan iklim ini nantinya akan sangat membutuhkan kepemimpinan global dan dorongan diplomatik yang kuat, mengingat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau UNFCCC COP25 di Madrid, Spanyol tahun 2019, berakhir dengan kesepakatan kompromi dan tanpa komitmen besar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menyesalkan hasil pertemuan tersebut karena negara pencemar yang mempunyai kekuatan finansial besar dan kekuatan berpengaruh tidak sepakat dengan negara yang rentan perubahan iklim.
Negosiator dari sekitar 200 negara yang datang ke Madrid untuk menyelesaikan buku aturan perjanjian Paris 2015 (khususnya artikel 6 Perjanjian Paris) yang memerintahkan negara-negara membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah dua derajat celcius berakhir buntu karena sebagian besar negara penghasil emisi terbesar di dunia tidak beraksi dan menolak seruan menurunkan suhu global.
Di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri telah meluncurkan dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon (PPRK) atau Low Carbon Development Initiative (LCDI).
Kebijakan yang mendorong implementasi penurunan karbon ini fokus pada lima hal penting, yakni, transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi energi batubara, moratorium dan penggunaan kehutanan dan pertambangan berkelanjutan. Juga, meningkatkan produktivitas lahan, kebijakan efisiensi energi, menetapkan target pada sektor kelautan dan perikanan serta biodiversitas.
Ketua Umum SIEJ Rochimawati menyatakan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dan isu perubahan iklim harus dikawal. Peran media dan jurnalis sebagai fungsi watch doc dangat penting sehingga pemerintah mempunyai komitmen sesuai dengan peta yang telah dibuat.
“Momentum COP26 menjadi penting untuk mendorong isu ini diangkat ke publik, terlebih di tengah dominasi isu pandemi Covid-19, masifnya bencana dan persolan energi kotor di Indonesia,” katanya.
SIEJ selama ini berkomitmen memasifkan narasi tentang lingkungan dan perubahan iklim melalui pemberitaan dan transfer pengetahuan ke kalangan jurnalis di Indonesia.
Karena itu SIEJ berupaya untuk menjembatani hal ini dengan menggelar berbagai program peningkatan kapasitas jurnalis untuk peliput isu perubahan iklim.
Salah satunya, bekerja sama dengan WRI Indonesia membuka beasiswa peliputan isu perubahan iklim dan penurunan emisi untuk jurnalis di Indonesia agar isu penting ini tak ditinggalkan.
Cynthia Maharani, Climate Research Analyst WRI Indonesia menyatakan, untuk mendukung peningkatan kapasitas jurnalis memahami isu perubahan iklim di Indonesia, pihaknya berupaya menghadirkan sejumlah pakar iklim dan negosiator untuk mengupdate isu ini.
“Harapannya bisa mendorong lebih banyak lagi pemberitaan terkait upaya penurunan emisi baik oleh pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga non-pemerintah,” ujar Chintya (Wan)