Suku Afsya Serahkan Dokumen Pengakuan Adat, Suara Luhur dari Hutan Konda

Berita Lingkungan Hutan Terkini

TEMINABUAN, BERITALINGKUNGAN.COM — Dalam balutan semangat budaya dan cinta tanah leluhur, masyarakat Adat Suku Afsya dari Distrik Konda resmi menyerahkan dokumen permohonan pengakuan dan perlindungan adat kepada Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Momen sakral ini berlangsung di tengah Festival Hutan Adat Papua, yang digelar di Kampung Bariat, Rabu (22/4/2025).

Dokumen penting tersebut diterima langsung oleh Wakil Bupati Sorong Selatan, Yohan Bodory, sebagai bentuk aspirasi masyarakat yang ingin hak-hak adat mereka diakui dan dilindungi secara hukum.

“Kami ingin pemerintah mendorong perlindungan terhadap kearifan lokal yang telah kami jaga turun-temurun,” tegas Yulian Kareth (62), salah satu tokoh adat Suku Afsya.

Menurut Yulian, di tengah gempuran modernisasi dan kemajuan teknologi, perlindungan terhadap tradisi dan sumber daya alam lokal menjadi hal yang tak bisa ditawar. Ia menekankan pentingnya menjaga wilayah adat dari intervensi luar yang berpotensi mengikis budaya dan mengeksploitasi kekayaan alam yang dimiliki masyarakat adat.

Suku Afsya terdiri dari 10 marga: Kemirai Wafre, Kareth Wafre, Kondjol – Onim, Sawor, Komendi, Kareth Sarus, Kemirai Wamban, Meres Fre, Meres Keya, dan Segeit. Masing-masing marga memiliki tradisi dan kearifan lokal yang unik, yang terhubung erat dengan cara hidup selaras alam—memanfaatkan hutan secara berkelanjutan dan saling berbagi hasilnya antarkeluarga.

Sebelumnya, masyarakat Suku Afsya juga telah mengajukan pengakuan tanah adat dan eksistensi sebagai masyarakat hukum adat kepada pemerintah.

Wakil Bupati Yohan Bodory menyambut baik langkah ini dan menegaskan pentingnya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah untuk menjaga tanah adat dari ancaman eksploitasi.

“Tanah kita di Sorong Selatan sudah jadi incaran. Kita harus bersatu menjaga hutan dari para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perlindungan masyarakat adat sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang, termasuk hak atas tanah dan hutan. Menurutnya, setiap langkah pembangunan harus berjalan beriringan dengan kearifan lokal agar harmoni tetap terjaga.

“Pembangunan dan kearifan lokal harus selaras. Jika kita jaga tradisi dan hutan, kita sedang menjaga masa depan kita sendiri,” tutupnya ((Irianti)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *