PBB mendeklarasikan 2010 sebagai Tahun Keanekaragaman Hayati. Tapi 17 tahun setelah Konvensi Keanekaragaman Hayati disetujui pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, isu biopiracy masih mempertemukan Utara lawan Selatan.
Para peneliti dan aktivis menciptakan istilah biopiracy, “pencurian sumberdaya genetik”, untuk menggambarkan praktik perusahaan-perusahaan mengamankan “monopoli swasta yang menguntungkan dengan mengajukan klaim paten atas gen, tanaman, dan pengetahuan tradisional yang terkait dari Afrika”, menurut African Centre for Biosafety (ACB), yang berkantor di Afrika Selatan.
Rezim baru internasional atas akses terhadap sumberdaya genetik dan pembagian keuntungan, yang kali pertama diusulkan pada 2002, akan menjadi agenda pada pertemuan Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-10 di Nagoya, Jepang, 18-29 Oktober 2010.
Kontroversi itu bukanlah hal baru. Raksasa farmasi Jerman, Bayer, mengajukan paten pada 1995 atas pembuatan Glucobay, obat untuk diabetes tipe II yang didasarkan pada keturunan bakteri yang berasal dari Danau Ruiru di Kenya.
Merck, pesaingnya, mematenkan sebuah antijamur yang diidentifikasi dari kotoran jerapah Namibia pada 1996. Pada 1999, Biotech asal Kanada mematenkan bibit dari keluarga jahe yang sudah digunakan secara tradisional oleh dukun di Kongo untuk mengobati impotensi. Daftarnya masih panjang.
Menurut Krystyna Swiderska, peneliti biopiracy Institut Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan (IIED), “masalahnya adalah tak ada sistem untuk memantau biopiracy.” IIED adalah lembaga nonprofit yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
“Sejumlah LSM melakukan kampanye tentang contoh fakta adanya biopiracy, tapi sulit mengetahui seberapa sering ia terjadi atau bagaimana hal itu mempengaruhi industri seperti farmasi, obat-obatan herbal, pembibitan, makanan, atau industri pengolahan,” ujarnya seperti dilansir IPS.
Masalahnya tak terbatas untuk Afrika, tapi “komunitas adat seperti di Afrika yang memiliki pengetahuan tradisional tentang obat-obatan maupun varietas tanaman,” kata Swiderska.
Dalam kasus biopiracy atas obat-obatan, yang sudah lama dikenal dan dikembangkan oleh dukun tradisional, perusahaan-perusahaan di Utara mengklaim hak eksklusif penggunaan mereka melalui ramuan atau proses hak cipta.
Masyarakat adat di Afrika punya sedikit lembaga dan jalan hukum untuk melindungi pengetahuan mereka dalam kasus ini.
Secara keseluruhan, saat ini 192 negara dan Uni Eropa menandatangani Konvensi Keanekaragaman Hayati, yang bertujuan antara lain memastikan pembagian keuntungan secara adil dan fair yang diperoleh dari sumberdaya genetik. Banyak negara bagian juga meratifikasinya.
“Tapi, masalahnya, kebanyakan sumberdaya ini telah diambil dan sekarang berada di bank gen atau kebun raya di Utara. Hingga paten komersial dikeluarkan, sulit mengetahui apa yang sedang terjadi,” ujar Swiderska.
Dalam laporan tahun 2009 berjudul “Membajak Pusaka Afrika”, tujuh kasus baru yang didokumentasikan ACB diduga biopiracy, termasuk di negara-negara Afrika seperti Ethiopia dan Madagaskar.
Sumberdaya yang terkena bahkan termasuk virus yang sudah diidentifikasi dalam darah orang-orang Baka di Kamerun dan yang sekarang “diklaim sebagai kekayaan intelektual eksklusif perusahaan”.
Kerusakannya sulit diukur, ujar Swiderska, tapi “perkiraan keuangan biasanya didasarkan atas ukuran pasar untuk produk alam, yang masif.”
Sangat jarang kesepakatan pembagian keuntungan dicapai antara masyarakat tradisional dan perusahaan. Sebagian besar masyarakat adat, yang menciptakan atau menggunakan sumberdaya genetik itu selama berabad-abad, tak pernah mendapat keuntungan.
“Negara-negara Afrika punya potensi kehilangan keuntungan yang besar,” ujar Swiderska.
Kasus kaktus Hoodia, yang oleh orang-orang San digunakan sebagai penekan nafsu makan di gurun Kalahari di Afrika Selatan selama beberapa generasi, sangat terkenal.
Hak pemasaran atas tanaman itu dijual kepada pembuat obat Pfizer untuk mengembangkan produk penurun berat badan. Setelah bertahun-tahun berjuang, kesepakatan dicapai bahwa orang-orang San akan menerima royalti hanya sekira 0,003 persen atas penjualan eceran, menurut ACB.
Kisah sukses terbaru adalah pembatalan paten atas tipe geranium Afrika Selatan, Pelargonium, yang oleh sebuah perusahaan Jerman diklaim hak cipta eksklusifnya untuk mengembangkan obat batuk. “Bagian kedua kisah itu seharusnya berupa pengakuan atas pengetahuan masyarakat tradisional, membuat mereka diterima sebagai stakeholder,” ujar Mariam Mayet, direktur ACB.
“Kami ingin negara-negara memaksa perusahaan untuk menandatangani kesepakatan berbagi keuntungan agar masyarakat memperoleh penghasilan,” ujarnya.
Tapi Swiderska menekankan bahwa, “masalahnya adalah Konvensi (Keanekaragaman Hayati) hanya mewajibkan pembagian keuntungan atas koleksi sumberdaya genetik baru setelah ia diberlakukan. Ia tak berlaku untuk apapun sebelumnya, dan sebagian besar koleksi itu telah diambil dalam 200 tahun terakhir.
“Sistem itu bertujuan melindungi inovasi industrial, melalui perjanjian dan konvensi, tapi tak ada yang mengikat pengetahuan tradisional,” ujarnya.
Dalam pertemuan Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-10 mendatang, Swiderska berpendapat rezim internasional atas akses sumberdaya genetik dan pembagian keuntungan seharusnya memasukkan pengetahuan tradisional.
Tapi negara-negara industri “sangat menentang” upaya memasukkan pengetahuan tradisional dalam rezim itu, yang menandakan perjuangan berat Selatan pada tataran global. *