New Yogya International Airport (NYIA). Foto : PT Angkasa Pura I |
Oleh : Dandhy Dwi Laksono*
Menyusul para petani di Kertajati, Jawa Barat, petani Kulonprogo akhirnya digusur paksa untuk proyek bandara baru yang bernama New Yogya International Airport (NYIA). Bandara baru ini di bawah pengelolaan PT Angkasa Pura I, di mana politisi Ali Mochtar Ngabalin baru saja diangkat menjadi komisaris, setelah sebelumnya duduk di Kantor Staf Presiden.
Proyek NYIA menggenapi wajah pembangunan yang penuh kekerasan terhadap warga di era Presiden Joko Widodo. Padahal inilah salah satu alasan Reformasi digulirkan 20 tahun lalu. Kaum reformis menolak cara-cara pembangunan yang dilakukan Soeharto yang sarat peminggiran dan pelanggaran hak-hak sipil, atas nama infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi.
Foto : kbr.id |
Tapi Jokowi yang kadung populer hanya karena pernah melawan jenderal eks Orde Baru seperti Prabowo –meski dikelilingi jenderal-jenderal Orba lainnya– selalu leluasa melanjutkan proyek-proyeknya karena merasa mengantongi dukungan publik dan media.
Apalagi para bekas aktivis ’98 berkumpul di sekelilingnya. Baik motif ideologis maupun menunggu giliran menjadi komisaris.
Di sisi lain, proyek-proyek pembangunan ini juga bukan komoditas para oposan atau haters-nya yang lebih banyak bermain dengan simbol-simbol agama atau isapan jempol bangkitnya komunisme.
Kubu lawannya hanya sesekali menggunakan isu-isu sosial dan pembangunan yang ujungnya juga tak jauh dari simbol-simbol SARA atau nasionalisme sempit, seperti menolak reklamasi Teluk Jakarta tapi dengan alasan karena proyek properti itu akan digunakan untuk permukiman warga elit Tionghoa.
Penulis : Dandhy Dwi Laksono. |
Atau ribut-ribut soal tenaga asing dari Cina yang membanjiri pusat peleburan (smelter) nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara, Alih-alih mempersoalkan dari mana datangnya nikel-nikel itu. Apakah turun begitu saja dari langit, atau hasil menjarah hutan dan meminggirkan warga dari pedalaman Kolaka hingga pesisir Morombo di Konawe Utara. Bahkan sampai Buton.
Jika semua pekerja smelter itu pribumi, apakah lantas substansi masalah penambangan massal nikel dengan 196 Izin Usaha Pertambangan di sekujur Sulawesi Tenggara itu baik-baik saja?
Saya ralat, apakah lantas jika semua pekerja smelter itu pribumi dan seagama, apakah penambangan nikel adalah solusi bagi rakyat Sulawesi Tenggara sebagai provinsi dengan ketimpangan sosial tertinggi kedua di Indonesia?
Wajah oposisi yang sama bebalnya dengan kekuasaan yang dikritiknya. Nyinyir soal 51 persen saham Freeport, tapi sama sekali bukan karena membela hak-hak warga Papua yang terjajah.
Inilah salah satu faktor mengapa proyek-proyek pembangunan yang sarat kekerasan dan peminggirian di era Jokowi, terus terjadi. Isu ini tak menarik headline media, didukung bekas aktivis, dan bukan substansi yang dikejar barisan oposisi.
Kembali ke kasus bandara Kulonprogo, dalih yang digunakan untuk menggusur pun bisa bermacam-macam. Jika “kearifan lokal” bisa membantu memuluskan proyek, tak ada salahnya digunakan. Seperti saat presiden mengutip “ramalan Ronggo Warsito” ketika membuka lahan, Januari 2017.
Ramalan Ronggo Warsito berjudul “Sabda Leluhur” itu menyebut, kelak di Kulonprogo akan ada “capung besi” (kinjeng wesi) dan orang “berjualan cincau di udara” (buy on board ala Air Asia dan City LInk?).
https://nasional.tempo.co/…/presiden-jokowi-bandara-kulon-p…
Meski belakangan sumbernya sumir, tak penting lagi. Seberapa pun ramalan tentang penjual cincau di udara itu terdengar konyol bagi nalar, tak relevan lagi karena infrastruktur adalah panglima. Dan meski Ronggo Warsito adalah pujangga keraton Surakarta yang tak ada urusan dengan ramal-meramal di kesultanan Yogyakarta, peduli setan. https://www.jakartabeat.net/…/menyimak-sabda-klandestin-dal…
Yang penting proyek bandara untuk menyokong industri pariwisata massal, jalan terus. Mungkin inilah yang disebut “hoax yang membangun” itu.
Apakah bandara itu adalah bagian dari solusi mengatasi persoalan Yogyakarta sebagai provinsi dengan ketimpangan sosial tertinggi di Indonesia atau malah memperburuknya, itu juga belakangan saja dipikirkan.
https://kumparan.com/…/ketimpangan-penduduk-miskin-dan-kaya…
Tapi jika kearifan lokal seperti yang diusung oleh para pengikut Samin di pegunungan Kendeng dianggap menghambat proyek pembangunan pabrik semen, maka yang digunakan adalah kajian-kajian ilmiah. Orang Samin yang tidak sekolah, diajak berdebat tentang Cekungan Air Tanah atau diminta membuktikan keberadaan ponor (sumber-sumber resapan pada karst) — meski akhirnya mereka bisa membuktikan itu semua di lapangan dan menang di Mahkamah Agung.
Jika kearifan lokal dikutip oleh para tetua Dayak Tomun di pedalaman Kubung, Kalimantan Tengah yang menolak perkebunan kelapa sawit, maka Guru Besar IPB akan dikirim untuk menghadapinya.
Jika tak ada ramalan Ronggo Warsito atau hasil kajian ilmiah yang bisa dikutip, cukup menggunakan intiuisi sebagai politisi, seperti yang dilakukan presiden dalam proyek 1,2 juta hektar sawah di Merauke.
“Tadi pagi sudah saya putuskan bahwa Merauke mulai tahun ini dicanangkan jadi lumbung padi nasional.”
https://www.antaranews.com/…/presiden-canangkan-merauke-jad…
Entah hasil kajian atau bisikan leluhur dari mana, tiba-tiba akan dibuka sawah (tekno) seluas itu dengan target 3-4 tahun saja. Bandingkan dengan sejak zaman Belanda (yang juga sudah menerapkan konsep sawah tekno) tapi dalam 60 tahun baru bisa mencetak 48.000 hektar sawah. Itu pun tak steril dari konflik-konflik lahan antara pemerintah, transmigran, dengan warga lokal.
Dan jika semua itu –ramalan, kajian, dan intuisi– tak ada yang bisa digunakan untuk memuluskan rencana sebuah proyek, cukup kerahkan tentara atau polisi.
Toh, 2019 tak ada lawan yang cukup kuat.
https://www.youtube.com/watch?v=VMfiyL04Zfw
*Penulis adalah jurnalis senior yang juga pendiri Watch Doc.
–>