JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), dimana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tergabung didalamnya menolak tegas Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Cika). Penolakan terhadap Cika terus menguat, pasca penyerahan draf resmi dari pemerintah ke DPR pada 13 Februari lalu.
Selain WALHI, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai RUU Cika telah melemahkan penegakan hukum lingkungan yang sebelumya diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“RUU Cika melemahkan beberapa ketentuan seperti pengawasan, penegakan hukum perdata dan pidana lingkungan hidup”, ujar Raynaldo Sembiring (Direktur Eksekutif ICEL).
Sementara itu, WALHI beranggapan RUU Cika hanya menguntungkan korporasi besar. Juga berpotensi mengesampingkan hak rakyat atas lingkungan.
“Omnibus Law ini dua targetnya terhadap koorporasi. Satu mengampuni kejahatan yang sudah ada, dan investasi dikedepankan proses pelayanannya,”, ungkap Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi dalam diskusi di Kantor Walhi, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).
Sementara itu, Greenpeace Indonesia menilai materi dan arah Omnibus Law turut memperparah tata kelola lingkungan di Indonesia. Itu bisa dilihat dari banyaknya penyederhanaan regulasi yang justru melemahkan perlindungan lingkungan hidup.
“Omnibus Law berpotensi menjadi jalan bebas hambatan bagi maraknya korupsi di bidang sumber daya alam, sehingga praktik perusakan lingkungan sulit dicegah dan kian tidak terkendali”, ujar Asep Komarudin Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Terinspirasi ORBA
Omnibus Law RUU Cika menuai kecaman, karena seakan mengulang sejarah yang pernah ada. Khususnya tentang era tenaga kerja murah yang berakibat pada rusaknya lingkungan hidup seiring eksploitasi terus menerus.
“Saya ingat di fase awal eksploitasi sumberdaya alam oleh World Bank dengan 3 target dalam 1 kebijakan. Pembangunan Dam, bedol desa/ transmigrasi, dan munculnya prototipe perkebunan skala besar menjadi satu paket kebijakan di masa Suharto di tahun 70-an”, ujar Zenzi.
Menurut Zenzi, target utamanya mengubah akses dan kepemilikan rakyat terhadap sumberdaya alam, dari sistem komunal berdasarkan adat menjadi privat (pribadi).
“Disanalah dikenalkan sistem sertifikasi lahan. Jadi orang mulai didoktrin, tidak ada sertifikat, bukan milik dia tanahnya. Trus, orang hanya boleh punya tanah 2-3 Ha saja”, ungkap Zenzi.
Doktrin itu meluas sering pembangunan Dam skala besar. Sementara masyarakat terdampak dipaksa ikut program transmigrasi massal. Sertifikasi lahan kemudian disosialisasikan seiring program transmigrasi.
“Transmigrasi juga menyediakan jasa tenaga kerja murah untuk membuat perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi”, ujarnya.
Dan saat ini, merupakan fase kedua bagaimana eksploitasi sumberdaya alam besar-besaran kembali dilakukan melalui RUU Cika.
“Omnibus Law ini, membuat konsep kehadiran negara untuk melindungi rakyat tidak terjadi”, papar Zenzi.
Tidak mengherankan jika perkebunan sawit marak di kawasan hutan. Sebuah kondisi yang sejak awal tidak diperbolehkan, mengingat sawit bukanlah komoditas hutan.
“Sekarang jika RUU itu disahkan, sawit jadi boleh. Artinya 2 juta Ha hutan Indonesia yang ditanami sawit yang dikelola perusahaan menjadi legal”, ujar Zenzi.
Omnibus Law Memperburuk Kebakaran Hutan Indonesia
Wacana penghapusan pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability dalam RUU Cipta Kerja justru mempersulit ruang gerak penegak hukum dalam menjerat korporasi mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Presiden Jokowi tampaknya lebih senang mencopot Kapolda atau Pangdam yang gagal mencegah karhutla, ketimbang mencabut izin perusahaan tersangkut kebakaran lahan”, papar Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Menurut Asep, pemerintah gagal menangani akar masalah karhutla dimana korporasi yang terbukti bersalah, belum semuanya patuh membayar denda putusan pengadilan.
“Jadi wajar jika masyarakat meragukan keseriusan pemerintah, terlebih jika aturannya malah dikebiri,” kata Asep.
Sementara itu, ICEL menyesalkan penghapusan strict liability, sebagaimana diatur di Pasal 88 UU 32/2009.
“Selama ini, penerapan strict liability di pengadilan sangat efektif dan berhasil memenangkan pemerintah untuk menjerat korporasi pembakar hutan”, ujar Raynaldo.
WALHI juga menilai penghapusan strict liability sebagai langkah konyol, yang seharusnya merupakan tanggung jawab mutlak perusahaan bila kedapatan membakar lahan.
“Yang dimaksud tanggung jawab mutlak itu, kalo titik apinya di wilayah perusahaan, ada tanggung jawab perusahaan disitu. Mereka tidak perlu membuktikan bagaimana lahan dibakar, siapa yang melakukannya, tetapi menjadi tanggung jawab mutlak perusahaan”, jelas Zenzi.
Pada tahun 2015, WALHI mencatat sebanyak 349 perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah bahkan berhasil menyeret perusahaan pelaku pembakar lahan ke pengadilan.
“Besok itu, pemerintah tidak bisa mendorong sanksi administratif kepada perusahaan. Proses pembuktiannya kini dibebankan ke pemerintah”, kata Zenzi.
Omnibus Law Lemahkan Penegakan Hukum Lingkungan
Sementara itu, peluang melakukan gugatan hukum seperti diatur di Pasal 93 UU 32/2009 PPLH, kini terancam dihapus di RUU Cika. WALHI menilainya sebagai kemunduran demokrasi, ketika penegakan hukum baru dapat dilakukan pasca tidak dijalankannya sanksi administratif.
“Padahal polisi dan PPNS dapat melakukan penyidikan dan memproses tanpa harus didahului sanksi administratif (kecuali untuk Pasal 100). Akibatnya, semakin banyak kejahatan korporasi yang tidak bisa dijerat”, ungkap Zenzi.
Dalam catatan ICEL, ketentuan penegakan hukum di UU 32/2009 jauh lebih baik dibandingkan UU sebelumnya (1997). Kehadiran RUU CIka ibarat kembali ke UU Lingkungan Hidup tahun 1997.
“Seharusnya revisi ketentuan penegakan hukum dalam UU 32/2009 dilakukan dengan evaluasi yang komprehensif, bukan asal-asalan”, pinta Raynaldo.
Karena itu, ICEL menilai alasan perubahan di RUU Cika tidak didukung dengan kajian teoretis dan praktik empiris yang kuat. Pun, jika dipelajari, naskah akademik dengan RUU Cika banyak yang tidak sinkron.
Selain itu, jika sebelumnya, setiap warga negara boleh mengajukan gugatan ke pengadilan, karena setiap orang berhak menyelamatkan lingkungan. Kini, gugatan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terdampak langsung.
Omnibus Law Hapuskan Pengawasan dan Partisipasi publik
Walhi menilai RUU Cika pantas disebut ‘Cilaka’, karena isinya hanya mengakomodir kepentingan bisnis, tanpa memperhatikan partisipasi publik. Buktinya, ruang partisipasi publik melalui pengadilan seperti bunyi Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi, menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTUN) telah dihapus.
“Pasal 93 dihapuskan. Jadi, rakyat atau organisasi lingkungan seperti WALHI yang memiliki legal standing mewakili lingkungan, sebelumnya berhak mengajukan pembatalan izin yang dianggap merusak lingkungan”, ungkap Zanzi.
Jika izin perusahaan yang dicurigai merusak lingkungan tidak dibatalkan, hal itu berdampak buruk di kemudian hari. Walhi menilai risiko terbesar tetap ditanggung masyarakat.
“Terkait izin-izin yang diterbitkan pemerintah, seharusnya bisa menjadi objek TUN (Tata Usaha Negara). Setiap orang berhak mengujinya di pengadilan, jika merasa ada potensi kerusakan lingkungan”, tegas Zanzi.
Ketika RUU Cika hanya mengakomodasi kepentingan pemodal, maka perlindungan terhadap warga negara atas lingkungan hidup yang baik, sebagaimana janji Presiden Jokowi hanya jargon.
“Karhutla dan kerusakan lingkungan hidup akan memperparah kondisi krisis apabila RUU ini akhirnya disahkan. Dibahas saja tidak pantas,” papar Zenzi.
Lalu ketika pasal 111 UU PPLH yang bisa menjerat pidana penerbit izin selama 3 tahun dengan denda Rp.3 miliar dihapus, maka tidak ada risiko yang harus ditanggungnya.
“Peluang pemerintah kedepannya untuk sekonyong-konyong menerbitkan izin, sangat besar, karena tidak ada risiko yang terikat padanya”, ujar Zenzi.
Selain itu, penghapusan pasal 98, 99 dan 109 UU PPLH juga berpotensi melanggengkan imunitas bagi perusak lingkungan. Karenanya, efek jera dan fungsi pengawasan negara tidak terjadi.
Khusus terkait pengawasan pemerintah, ICEL menilai RUU Cika meniadakan hal itu. Ketentuan pengawasan yang dimiliki Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya diatur pada Pasal 73 UU 32/2009, tidak ada lagi.
“Padahal dalam banyak kasus di daerah, Menteri LHK sering menggunakan kewenangan ini untuk menindak korporasi nakal”, ujar Raynaldo.
Omnibus Law Hapuskan AMDAL
WALHI juga mengkritik tajam terkait izin Amdal sebagaimana diatur di Pasal 24-29 UU 32 Tahun 2009. Kini, dalam beleid RUU Cika, izin Amdal hanya menjadi faktor pertimbangan.
“Jika sebelumnya Amdal menjadi syarat mendapatkan Izin Lingkungan, dan Izin Lingkungan menjadi syarat untuk mendapatkan Izin Usaha, maka sekarang, Izin Lingkungan menjadi bagian dari Izin Usaha”, papar Zenzi.
“Amdal bukan lagi menjadi prasyarat. Sekarang, Amdal hanya menjadi faktor yang dipertimbangkan”.
Lalu di pasal 30 UU PPLH disebutkan Amdal diajukan oleh pelaku usaha, kemudian diuji oleh Komisi Penilai Amdal, maka di RUU Cika, komisi tersebut dihapuskan.
“Selama ini ada ruang untuk menghentikan rencana yang berisiko terhadap lingkungan, karena disana ada Komisi Penilai Amdal dan Komisi Independen. Mereka perwakilan dari organisasi lingkungan, ahli lingkungan hidup, pelaku usaha, hingga akademisi”, papar Zenzi.
Jika Komisi Penilai Amdal dan Komisi Independen yang menguji kesesuaian Amdal dihapus, maka menghentikan perusakan lingkungan sulit dilakukan. Padahal Komisi Penilai Amdal dan pihak independen perlu didengar rekomendasinya.
Greenpeace Indonesia juga menyesalkan RUU Cika mengkerdilkan peran Amdal serta penghapusan Izin Lingkungan. Hal ini beresiko mengabaikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang tidak bisa diprediksi, dipantau dan ditanggulangi.
“Masyarakat harus tetap terlibat dalam pengambilan keputusan, sebab jika terjadi kerusakan lingkungan, mereka yang pertama terkena dampaknya. Selain itu hilangnya Izin lingkungan akan menghilangkan hak masyarakat dalam mengajukan keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi alat kontrol keputusan-keputusan yang berkaitan dengan lingkungan,” pungkas Asep.
Omnibus Law Permudah Dumping Limbah
Selain soal izin Amdal, WALHI juga menyoroti kebijakan ‘dumping’ limbah. Dalam Pasal 61 UU 32/2009 disebutkan dumping limbah hanya dapat dilakukan dengan izin dari menteri, gubernur, dan atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Dumping hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan
“Sekarang di RUU Cipta Kerja, limbah B3 boleh dibuang ke laut, sungai atau ke dalam tanah, selama ada izin dari pemerintah,” ungkap Zenzi.
Apa jadinya, jika limbah berbahaya ternyata dibuang ke hulu sungai sementara di hilirnya, masyarakat menggunakan air untuk bercocok tanam hingga kebutuhan sehari-hari.
“Di Omnibus Law, rakyat tidak bisa menolak, jika pemerintah telah menerbitkan izin kepada orang per orang atau pelaku usaha untuk membuang limbah B3”, kata Zenzi.
Omnibus Law Ubah Korporasi Menjadi VOC
Lebih jauh, WALHI menilai RUU Cika yang kini dibahas di DPR berpotensi mengembalikan Indonesia seperti zaman penjajahan, di mana persekutuan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai banyak hal.
“Negara saat ini sedang menjadi operator. Ini sebenarnya bisa dibandingkan seperti masa pemerintahan Hindia Belanda yang menjadi pelayan VOC pada abad ke-14”, ungkap Zenzi.
Walhi melihat ada potensi negara melayani korporasi dan mengesampingkan masyarakat. Pemerintah lalu menyerahkan kewenangan dan kekuasaannya terhadap koorporasi.
“Dimana kewenangan negara dihilangkan, khususnya di unsur-unsur pidana, padahal seharusnya negara mengontrol perusahaan, maka ia sedang menundukkan dirinya kepada koorporasi”, papar Zenzi.
Perusahaan nantinya akan memiliki kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara bebas karena negara memfasilitasinya melalui Omnibus Law.
“Selanjutnya upaya pemerintah, saya menyebutnya harakiri (bunuh diri) dihadapan koorporasi. Sesungguhnya bukan hanya reformasi yang dikorupsi, dan banyak hasil-hasil reformasi dihilangkan, namun saat ini kedaulatan rakyat ikut dibajak”, ungkap Zenzi.
Jika perusahaan bertindak sesuka hati layaknya VOC karena Omnibus Law, maka yang terkena dampak langsung akibat ulah korporasi adalah masyarakat adat atau pedesaan.
“Bagaimana peran masyarakat sipil terhadap negara, saya pikir, satu, ketika negara membuat suatu regulasi diluar akal sehat, kewajiban kita untuk tidak menghormatinya”, pinta Zenzi.
Tak hanya itu, WALHI menilai Omnibus Law membuat pemerintah semakin terpusat (sentralistik). Semangat reformasi untuk membagi kekuasaan ke daerah tidak akan pernah terjadi.
“Di Omnibus Law kewenangan pemda mau ditarik lagi semua ke Presiden, sentralistik,” ujar Zenzi.
Karena itu, baik WALHI maupun ICEL meminta pemerintah dan DPR untuk tidak mengubah, mengaburkan atau bahkan memperlemah ketentuan penegakan hukum lingkungan yang telah diatur dalam UU 32/2009.
“Selaku masyarakat sipil kami akan melawan RUU ini, di ruang publik dan jika dipaksakan untuk disahkan, maka kita akan uji ke Mahkamah Konstitusi”, pungkas Zenzi. (Jekson Simanjuntak)