JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Ketua Harian DPP KNTI, Dani Setiawan mengatakan, Konfrensi Tingkat Tinggi COP UNFCCC ke-26 yang diselenggarakan di Glasgow, Britania Raya harus menghasilkan langkah segera untuk mengatasi dampak perubahan iklim, khususnya bagi sektor kelautan dan perikanan serta memberi perlindungan terhadap nelayan.
Komitmen kuat harus diambil oleh para pemimpin dunia untuk menurunkan emisi karbon secara radikal untuk menyelamatkan laut dan daerah pesisir sebagai sumber kehidupan dan penghasil asupan protein bagi 3,3 miliar warga dunia merujuk pada data FAO (2020).
“Perubahan iklim global telah mengancam perikanan dunia, mulai dari migrasi ikan, perubahan fishing ground, terputusnya rantai makanan di perairan akibat keasaman laut hingga pemutihan karang (bleaching) yang jadi habitat ikan,” katanya.
FAO pada 2018 telah memproyeksikan penurunan potensi tangkapan maksimum di zona ekonomi eksklusif global antara 2,8 – 5,3 persen pada tahun 2050. Dalam konteks itu, perlindungan terhadap nelayan kecil yang menempati share terbesar dalam produksi perikanan dunia merupakan bagian penting dalam mewujudkan keberlanjutan pangan dunia, khususnya protein.
Akibat perubahan iklim, nelayan kecil dan tradisional dihadapkan pada sejumlah permasalahan, seperti: tidak dapat memperkirakan waktu dan lokasi penangkapan ikan hingga tingginya risiko melaut akibat cuaca ekstrem.
“Hal itu menyebabkan nelayan harus menangkap ikan lebih jauh dengan ketidakpastian dan risiko akibat badai ataupun gelombang besar akibat cuaca ekstrem yang bisa terjadi kapanpun. Alih-alih mendapat keuntungkan, bahkan sering tidak menutup biaya produksi yang dikeluarkan,” ungkapnya.
Kenaikan muka air laut dan cuaca ektrem akibat perubahan iklim juga berdampak secara langsung terhadap terjadinya abrasi yang merusak ekosistem pantai, serta hancurnya infrastruktur perkampungan pesisir akibat hantaman gelombang maupun banjir rob.
“Sebanyak 5,9 juta orang Indonesia setiap tahun diperkirakan terkena banjir rob pada tahun 2100,” ujarnya.
Pembudidaya pun mengalami kerugian akibat banjir menyapu lahan tambak dan kolam ikan mereka. Sekitar 42 juta orang yang tinggal di dataran rendah kurang dari 10 meter di atas permukaan laut Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut.
Karena itu, Dani menilai, perubahan iklim menyebabkan perekonomian nelayan dan perempuan nelayan semakin terpuruk. Nelayan banyak beralih profesi ke sektor lain seperti buruh nelayan, buruh tani/kebun, dan pekerjaan sektor informal. “Hal ini terlihat dari penurunan jumlah nelayan dari 3,44 juta pada 2004 menjadi hanya 1,69 juta pada 2018,” katanya.
Hal serupa terjadi dalam perubahan sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk desa tepi laut di Indonesia. Tahun 2014 penghasilan utama 90,42 persen desa tepi laut adalah subsektor pertanian termasuk perikanan, namun pada 2018 berkurang menjadi 89,38 persen desa (BPS, 2020).
Oleh sebab itu, KNTI mendesak pemerintah Indonesia mengambil posisi yang tegas dalam perundingan COP26 untuk memperkuat perlindungan nelayan akibat perubahan iklim.
“Program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di kawasan pesisir harus menjadi prioritas yang ditunjukan dengan perencanaan dan alokasi anggaran yang memadai, di tingkat nasional dan daerah,” terangnya.
Dani juga ingin memastikan keselamatan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan, penyediaan infrastruktur di pesisir yang partisipatif, ramah lingkungan dan mengadopsi pengetahuan lokal untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
“Juga meningkatkan ketersediaan akses pembiayaan, pendidikan, dan pasar bagi nelayan dan perempuan nelayan dalam menerapkan strategi adaptasi,” ungkapnya.
Terakhir, Dani mengingatkan pemerintah agar menyediakan akses informasi iklim bagi nelayan, khususnya terkait kecepatan angin, tinggi gelombang, suhu, dan intensitas hujan. (Jekson Simanjuntak).