Untung Widyanto. |
Oleh : Untung Widyanto*
Catatan dari Rapat Umum Anggota Society of Indonesian Environmental Journalists, 1 Desember 2019
Pesimisme terhadap masa depan organisasi Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) meruak selama berpekan-pekan. Puncaknya beberapa hari menjelang Rapat Umum Anggota (RUA) yang diadakan di Hotel Amaris, Tebet, Jakarta Selatan pada Ahad, 1 Desember 2019. “Revolusi atau bubarkan SIEJ sajalah pilihannya,” tulis seorang kawan dari simpul di Sumatera pada WhatsApp grup SIEJ. Beberapa kawan yang emosional meng-amininya.
Kekecewaan itu tak hanya diledakkan oleh kawan yang baru beberapa tahun menjadi anggota. Namun juga oleh sejumlah deklarator atau pendiri SIEJ. Oh ya, organisasi ini dideklarasikan sebagai asosiasi pertama jurnalis lingkungan Indonesia pada 2006, di Taman Nasional Leuser, Sumatera Utara. Pada saat itu, 45 wartawan terlibat sebagai anggota dan deklarator pertama. Bang Aristides Katoppo ikut dalam barisan ini. Almarhum Bang Tides memang menjadi patron dan tipe ideal jurnalis lingkungan Indonesia.
“Kalau memang gak ada yg bisa menjaga marwah SIEJ yg lebih baik bubarkan saja. Ini RUA terakhir, untuk membubarkan organisasi. Sudah belasan tahun umurnya persoalannya masih soal transparansi keuangan, elitism dan organisasi yang tidak bisa berjalan sehat,” kata salah seorang deklarator dan tetua di SIEJ.
Beberapa kawan di Jakarta dan daerah (simpul) menelpon saya. Mereka bercerita kondisi di atas dan meminta saya bersedia menjadi Direktur Eksekutif SIEJ periode 2019-2022. “Kak Untung kan sudah pensiun dari Tempo jadi punya waktu luang. Tolong maju, demi penyelamatan organisasi,” bujuk seorang deklarator.
Saya minta maaf dan menolak permintaan tersebut dengan beberapa alasan. [Oh ya, waktu RUA/Pertemuan Nasional SIEJ tahun 2013 dan 2016 saya juga menolak dicalonkan sebagai orang nomor satu di SIEJ]. Alasan pertama, saya merasa sudah tua, pernah dua periode menjadi Ketua Dewan Pengawas SIEJ. Kedua, masih ada anggota muda yang saya yakin bisa menjadi leader. Saat itu Ochie (Rochimawati) dan Jecko (Jekson Simanjuntak), dua pengurus lama, siap maju dalam kontestasi di RUA. Ketiga, perbaikan AD/ART harus dilakukan agar tata kelola organisasi ke depannya berjalan baik sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Alasan ketiga tersebut menurut saya jauh lebih penting, daripada kita disibukkan mencari “komandan”. Panitia RUA 2019 (yang dikomandani Kakak Ochie) telah memulainya dengan baik yaitu pendataan dan verifikasi anggota. Selama dua bulan Kakak Jecko, Ika Ningtyas dan lainnya mengontak simpul dan anggota yang pernah mendaftar. Urusan keanggotan sudah beres dan menjadi basis organisasi yang sangat penting.
Beberapa hari menjelang RUA 2019, Ketua Dewan Pengawas Budi Nurgianto, Ika Ningtyas dan Nonie datang ke Jakarta. Bersama Ochie, Jecko dan lainnya mereka menyiapkan rancangan Tata Tertib Sidang, Agenda Sidang, AD dan ART organisasi. Draft tersebut dibagikan ke peserta RUA SIEJ yang kali unik dan baru pertama kali dilakukan. Yaitu anggota di Jabodetabek hadir langsung di Hotel Amaris Tebet. Sedangkan 25 perwakilan simpul mengikuti proses RUA secara online melalui aplikasi rapat daring.
Saya memutuskan hadir langsung di Hotel Amaris. Saya menyiapkan usulan pasal-pasal dalam AD/ART tentang bentuk organisasi yang kolektif dan kolegial, serta mekanisme organisasi. Saya adopsi dari organisasi Gerakan Pramuka dimana saya menjadi anggotanya sejak 1977 sampai saat ini. Alhamdulillah, usulan tersebut disetujui peserta RUA SIEJ. Jadi, pada setiap awal tahun, harus dilakukan rapat kerja (bisa offline atau online) yang diikuti pengurus pusat, Koordinator Simpul dan Dewan Pengawas untuk mengevaluasi dan menyusun program. Kewenangan Dewan Pengawas juga diperkuat.
Laporan Pertanggungjawaban Direktur Eksekutif SIEJ Aditya Heru Wardhana menjadi sesi paling panas di dalam RUA. Dari 25 Simpul, ada tiga yang menerima dengan catatan dan hampir setengahnya menolak LPJ tersebut. Mereka menilai: pengurus pusat tidak memberdayakan simpul, banyak kegiatan Jakarta/Jawa sentris, LPJ itu hanya kumpulan kegiatan dan laporan keuangan tidak diaudit auditor independen, dan manajemen yang one man show. Ada juga pertanyaan soal kepemilikan dan pengelolaan website ekuatorial.com.
Kakak Aditya memberi jawaban dengan sabar dan tenang. Dia meminta maaf terlambat memberikan laporan keuangan karena menunggu data terbaru. Organisasi, katanya, tidak memiliki dana untuk membayar auditor independen. “Lagi pula setiap donor yang bekerjasama dengan SIEJ sudah melakukan audit keuangannya,” katanya. Dia mengakui dirinya tidak digaji dan menjelaskan tiga model pendanaan SIEJ.
Adit mengklaim, soal Simpul tidak dibahas dalam AD/ART (hasil Pernas/RUA 2016 yang ternyata raib dokumennya). Walhasil, tafsirnya, Simpul tak memiliki kewenangan apapun. Dia membantah melakukan manajemen one man show dan menyebut soal kesibukan pengurus lainnya sebagai jurnalis. “SIEJ itu berbasis kesukarelawanan,” ujar jurnalis di CNN TV ini.
Momen yang paling ditunggu adalah pemilihan Ketua Umum dan Sekjen SIEJ (sesuai AD/ART 2019 yang baru disahkan, tidak menggunakan nama direktur eksekutif). Ada dua pasang calon yang maju: Rochimawati Ochie (jurnalis vivanews.co.id) – Joni Aswira (jurnalis CNN TV) dan Jekson Simanjuntak (jurnalis lepas) –Agung (jurnalis lepas). Visi dan rencana kerja kedua paslon ini keren dan berjanji memberdayakan simpul-simpul.
Dari total 269 jurnalis anggota SIEJ di seluruh Nusantara yang terdaftar, sebanyak 105 jurnalis yang menyalurkan hak suaranya secara daring. Pasangan Ochie-Joni akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekjen SIEJ periode 2019-2022. Untuk Dewan Pengawas terpilih Ika Ningtyas (Jawa Timur), Bambang S (Yogyakarta) dan Winahyu Utami (Riau). Saya menolak dicalonkan, karena pernah menjabat Ketua Dewan Pengawas.
Akhirnya, sebagai anggota, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Aditya Heru Wardhana yang telah mengemudikan SIEJ pada kurun waktu 2016-2019. Aditya telah berhasil menjaga eksistensi SIEJ di komunitas lingkungan hidup nasional dan internasional, serta mitra-mitra SIEJ. Banyak waktunya bersama keluarga hilang karena mengurus organisasi. Ucapan terima kasih juga saya berikan kepada pengurus lainnya, yaitu Jacko, Ochie dan Sepsha. Serta kepada Dewan Pengawas yang dipimpin Budi N.
Terima kasih yang tak terhingga harus disampaikan kepada panitia RUA: Ochie, Jacko, Ika Ningtyas, Sepsha, Onnee dan lainnya. Kalian keren dan top habis. Dua jempol mesti diberikan kepada Ika dan Nonee yang sukses memimpin sidang, dari pagi sampai malam hari. Keduanya sabar mendengarkan dan mengelola emosi para peserta.
Ucapan selamat dan dukungan harus diberikan untuk Ochie-Joni yang akan mengemudikan SIEJ pada kurun waktu 2019-2023. Ochi berjanji akan membangun SIEJ dari simpul. Memperkuat soliditas dan kapasitas jurnalisme lingkungan yang lebih membumi. “Kekuatan oligarki semakin menggila dalam mengeksploitasi alam. Terjadi kerusakan lingkungan,” kata jurnalis vivanews.co.id ini.
Kedua sosok ini akan berjalan dengan AD/ART baru yang menekankan kepemimpinan kolektif dan kolegial. Yang bermitra dengan Dewan Pengawas dan Koordinator Simpul melalui mekanisme rapat kerja tahunan dan lainnya. Rencana kerja yang mereka sampaikan harus dipertanggungjawabkan pada Rapat Umum Anggota tahun 2023, mendatang.
Alhamdulillah, pesimisme yang meruak telah padam, digantikan optimisme. Dua Srikandi kini memimpin SIEJ: Ochie dan Ika.
Bagi saya, SIEJ adalah organisasi profesi, jurnalis lingkungan. Bukan lembaga swadaya masyarakat, NGO atau komunitas kekerabatan. Wadah ini berada di tengah-tengah triangulasi: pemerintah, dunia usaha dan kelompok-kelompok masyarakat. Kekuatan SIEJ adalah pada karya-karya jurnalisme anggotanya. Keberpihakan SIEJ adalah pada kepentingan publik dan keberlanjutan Bumi.
Pada Pertemuan Nasional (RUA) 2016, Bang Aristides Katoppo ikut hadir dan memberi sambutan. Beliau menyebut dirinya sebagai penggembira. Menurutnya, tantangan dan goyangan sebagai wartawan yang berkecimpung di lingkungan hidup sangat luar biasa sehingga antar jurnalis mesti memberi dukungan.
Bang Tides menjelaskan bahwa Tanah Air harus dipelihara dan tantangan dunia saat ini adalah keberlanjutan (sustainability). Pada sisi lain, jurnalisme menghadapi disrupsi dari teknologi informasi dan media sosial. Terjadi extreme unpredictability, extreme volatility yang tidak bisa ditentukan.
Salah satu yang penting sebagai wartawan, kata Bang Tides, bukan infotainner. Bad money drives bad journalism. “Masa depan dirawat untuk anak cucu kita,” ujarnya. Beliau menegaskan bahwa jurnalistik harus melakukan regenerasi dan gembira dengan semakin banyaknya jurnalis lingkungan yang junior. Amanat dari Bang Tides sudah saya tunaikan dengan hadir pada RUA 2019, mendorong jurnalis muda maju ke depan dan bersama-sama merawat organisasi SIEJ demi keberlanjutan Bumi.
Depok, 3 Desember 2019
*Penulis adalah Dewan Pengawas SIEJ 2010-2013 dan 2013-2016.