“KAMI sudah berkirim surat ke gubernur tahun lalu untuk meminta peraturan daerah tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat,” ungkap Asri Imran, Ketua Jaringan Masyarakat Desa (Jamasda), Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. ”Katanya mereka sudah membentuk tim penyusun rancangan peraturan. Tapi, hasilnya belum ada. Kami sudah bosan menunggu janji.”
Sulawesi Tenggara.
Pada diskusi yang dihadiri berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah daerah hingga kelompok tani itu membahas masalah Taman Hutan Raya Murhum. Hutan yang berada di jantung kota Kendari itu kini makin gawat kondisinya.
Kondisi tersebut berlangsung sejak berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah yang menyerahkan berbagai kewenangan pemerintah pusat ke daerah. Taman Hutan Raya Murhum yang dulunya dikelola oleh Departemen
Kehutanan, kini bak tanpa tuan.
Sulitnya memperoleh pekerjaan yang dialami sebagain warga Kendari, membuat sebagian lahan hutan tersebut dimanfaatkan warga. Mereka bercocok tanam dan mengandalkan hutan itu untuk menjalani kehidupan.
Ketika makin banyak warga yang mengelola lahan, bahkan kini telah berdiri pula villa-villa di kawasan itu, pemerintah daerah mulai kebakaran jenggot. Namun, langkah pemerintah yang akan mengusir ratusan petani dari kawasan tersebut tak berjalan mulus. Berbagai masalah, mulai dari status kawasan, pengelolaan, serta nasib petani merupakan sebagain masalah yang muncul.
Green Press memandang hal tersebut sebagai masalah yang sangata penting untuk dibahas dan perlu kajian mendalam. Yos Hasrul, Ketua Green Press, mengatakan ada banyak sekali masalah yang muncul dalam kasus itu. “Pada dasarnya, dengan mengajak berbagai pihak duduk bersama, kami ingin masalah tersebut diselesaikan dengan baik dan melibatkan semua pihak yang terkait,” ujar Yos.
Dia juga mengatakan, dari beberapa kali diskusi yang diselenggarakan telah teridentifikasi beberapa masalah. “Salah satunya tentang pembentukan Peraturan Daerah tentang Taman Hutan Raya tersebut yang menguntungkan semua pihak dan kami mendorong proses ke arah itu,” katanya.
Kini tim perumus Rancangan Peraturan Daerah mengenani hutan tersebut telah terbentuk. Dan yang menggembirakan, selain kalangan lembaga swadaya masyarakat, perwakilan dari petani juga ikut terlibat.
Diskusi seperti itu bukan hanya satu-satunya aktivitas Green Press. Berbagai pelatihan bagi para wartawan mengenai isu-isu lingkungan mereka gelar. Sehingga para jurnalis di Kendari memiliki wawasan dan perspektif lingkungan yang baik.
Dalam berbagai aktivitasnya, Green Press kerap melibatkan berbagai pihak. Baik kalangan pemerintah, pegiat lembaga swadaya masyarakat, serta kalangan perguruan tinggi. “Dengan seringnya duduk bersama, kami menjadi akrab dan dapat mengatasi berbagai masalah yang menguntungkan semua pihak,” kata Marwan Azis, Sekretaris Jendral Green Press.
Kepedulian kalangan jurnalis terhadap lingkungan bukan hanya terjadi di Kendari. Di Makassar, beberapa orang jurnalis dan pegiat lembaga masyarakat berhimpun dalam sebuah wadah bernama Jurnal Celebes.
Mustam Arif, salahsatu pegiat Jurnal Celebes, mengatakan lembaganya terbentuk karena kalangan jurnalis perlu mendapatkan sosialisasi dan pendidikan yang cukup di bidang pelestarian lingkungan hidup. “Karena fungsi dan perannya sebagai penyebar informasi yang sangat strategis, jurnalis diperlukan untuk mendorong kampanye pengelolaan sumber daya alam,” ucapnya.
Lembaga yang dibentuk 5 Juli 2000 ini beranggotakan jurnalis pegiat lembaga swadaya masyarakat. Dengan anggota dari dua kalangan tersebut membuat mereka saling berbagai kemampuan dan wawasan dalam bidang lingkungan. Dari kolaborasi tersebut, hasil investigasi kasus-kasus lingkungan yang dilakukannya diapresiasi berbagai pihak.
Baik Green Press maupun Jurnal Celebes merupakan mitra Program Kehutanan Multipihak (Multistakeholders Forestry Programme – MFP), sebuah program kerjasama antara lembaga Inggris Department for International Development (DFID) dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kedua lembaga informasi dan komunikasi itu berperan baik dalam menyebarluaskan kepedulian semua pihak terhadap pelestarian lingkungan maupun dalam menjembatani dialog antar berbagai komponen masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda dengan tujuan mencari solusi yang bersama.
Dalam satu kesempatan, Jurnal Celebes mempresentasikan hasil investigasi penebangan dan perdagangan kayu ilegal di Sulawesi Selatan. Presentasi disampaikan kepada anggota komisi yang relevan di Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan.
Melalui paparan data dan didukung film dokumenter, mereka menunjukkan aktivitas penebangan liar di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Mamuju yang kini masuk wilayah Sulawesi Barat.
Melihat hasil investigasi dan wawasannya mengenai pengelolaan sumber daya alam, DPRD Sulawesi Selatan diminta untuk berpartisipasi dalam penyusunan draft Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan di Sulawesi Selatan. Basri Andang, pegiat Jurnal Celebes, mengatakan dengan paparan dan bukti-bukti itu telah memicu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menggelar Rapat Kerja Khusus yang melibatkan berbagai pihak.
Dari pengalamannya bertahun-tahun mengkampanyekan pengelolaan sumber daya alam, Jurnal Celebes merasa bahwa kemasan menjadi sangat penting. Pola kampanye yang biasa dilakukan lembaga swadaya masyarakat dengan menampilkan data-data merupakan hal yang tidak menarik. “Kolaborasi dengan jurnalis yang mampu mengemas tulisan dengan menarik merupakan cara yang baik dalam kampanye,” jelas Basri.
Mardiana Rusli, kontributor ANTV di Makassar, merasa apa yang dilakukan Jurnal Celebes memberi manfaat yang besar baginya. “Diskusi dan perjalanan ke lapangan bersama mereka memberikan pengalaman dan perspektif yang baik bagi liputan saya mengenai lingkungan,” katanya.
Kesungguhan dan konsistensi Jurnal Celebes mengkampanyekan pengelolaan sumber daya alam yang baik membuat para jurnalis senang. Apalagi data-data yang dipaparkan oleh Jurnal Celebes dikemas dengan menarik. “Konsistensi dan data-data yang mudah dipahami sangat memudahkan kami mengemasnya menjadi berita yang pantas disodorkan kepada pembaca,” kata Ina Rahlina, Redaktur Tribun Timur, sebuah koran milik Grup Kompas yang terbit di Makassar.
Pengemasan data-data dan penulisan yang menarik dilakukan Jurnal Celebes muncul tidak seketika. “Hal itu terbentuk karena seringnya kami berdiskusi dengan berbagai kalangan. Dan yang terpenting, kami ingin kampanye mengenai lingkungan dapat diterima berbagai pihak,” kata Basri.
Dialog dan bekerja dengan melibatkan berbagai pihak merupakan kunci dari semuanya. Kolaborasi jurnalis dan aktivis lingkungan dalam Jurnal Celebes telah membuktikan manfaatnya. (Asep Saefullah)