GLASGOW, BERITALINGKUNGAN.COM – Pemerintah Indonesia menggandeng Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) terkait studi kelayakan dan rancangan penerapan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM).
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati dalam acara peluncuran kerja sama untuk membangun infrastruktur energi yang berkelanjutan.
“ETM adalah program yang ambisius yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil (just) dan terjangkau (affordable)”, kata Sri Mulyani bertepatan COP26 di Glasgow, Inggris.
Menurut Sri Mulyani, terjangkau atau tidaknya transisi energi dapat dilihat dari kemampuan membayar masyarakat dan industri, serta perluasan akses energi. Selain itu, perlu dipertimbangkan kemampuan APBN untuk mendukung transisi tersebut, baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayaan modal untuk energi baru dan terbarukan, transmisi, distribusi, serta penerimaan negara.
“Ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan permintaan untuk energi juga akan tumbuh,” tegasnya
Permintaan energi yang terus tumbuh harus dipenuhi dengan efisien dan emisi karbon yang lebih rendah atau bahkan dengan emisi nol. Itu sebabnya, pemerintah menyadari bahwa transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan harus dilakukan tanpa membebani keuangan negara.
“Oleh sebab itu, berbagai kebijakan dirumuskan dengan memastikan pertumbuhan yang tentunya membutuhkan energi tetap ada tetapi dilakukan secara ‘hijau’,” katanya.
Untuk melakukannya, diperlukan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan di waktu bersamaan, membangun energi alternatif yang lebih hijau.
“Apabila negara berkembang ingin lebih ambisius, kita harus melaksanakan ETM yang sudah kita mulai dengan ADB ini”, tegas Menteri Keuangan.
Wujudkan ETM
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% di tahun 2030 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Energi merupakan sektor yang akan berkontribusi besar terhadap target ini.
Saat ini, Indonesia telah masuk ke dalam transisi menuju emisi nol bersih (Net Zero Emission) paling lambat di tahun 2060. Pengurangan ketergantungan pembangkit listrik bertenaga batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon. “Dan ETM akan mengantarkan Indonesia lebih dekat kepada pencapaian target tersebut,” katanya.
ETM sendiri merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi untuk energi bersih.
Saat ini, ADB sedang melakukan analisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa PLTU di Indonesia, setelah sebelumnya melalui tahapan studi pra-kelayakan.
Agar ETM bisa berlangsung secara efektif, pertama, dibutuhkan pembiayaan untuk mengurangi aktivitas yang membutuhkan sumber daya batu bara. ETM harus membantu mobilisasi dana dengan biaya yang lebih murah untuk penghentian pembangkit listrik batu bara atau membuatnya menjadi lebih murah.
“Kita sedang dalam proses berbicara dengan para pekerja dan produsen dan diskusinya berlangsung cukup produktif”, lanjut Menkeu.
Kedua, dibutuhkan pembiayaan yang rendah biaya untuk membangun energi terbarukan sebagai respons dari permintaan yang terus bertumbuh. Oleh sebab itu, ini merupakan investasi dua sisi yang dibutuhkan untuk menghilangkan polluter serta membangun energi yang baru dan lebih bersih.
“Indonesia juga sudah memiliki regulasi pengaktif atau enabling environment agar segala pembiayaan untuk membiayai dengan berbagai skema, termasuk kerangka regulasi yang diperlukan,” terangnya.
Hanya saja, tantangan masih ada, yakni bagaimana meletakkan regulasi pengaktif ini dalam konsep platform ETM, seperti peranan dari Special Mission Vehicle (SMV) atau Investment National Authority (INA).
“Diperlukan mobilisasi dana dengan ongkos yang murah dan periode yang lebih panjang untuk mengembangkan energi baru terbarukan, transmisi, dan distribusi,” ujarnya.
Ketiga, Indonesia perlu membangun bauran kebijakan dari perspektif ekonomi politik untuk mendukung ETM. Oleh karena itu, Indonesia membentuk mekanisme pasar untuk karbon dan memperkenalkan mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon.
“Mekanisme ini diperlukan untuk menjadikan ETM lebih efisien dan kredibel (termasuk Measurement, Reporting and Verification/MRV),” kata Sri Mulyani.
Pajak Karbon
DPR RI baru-baru ini telah menyetujui pengenalan harga karbon dan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap mengikuti kerangka yang akan disiapkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebijakan terkait seperti pembangunan pasar karbon.
Indonesia akan memulai dengan harga karbon yang sangat rendah yaitu sekitar USD 2 (Rp30 ribu) per ton emisi CO2 di tahun 2022-2024. Selanjutnya, di tahun 2025 ke atas dengan perluasan secara bertahap ke sektor yang merupakan subjek pajak karbon setelah sektor tersebut telah siap dan sudah mengimplementasikan pasar karbon.
“Hal ini memberikan Indonesia suatu tujuan kebijakan yang sangat jelas dan memperoleh dukungan politik yang kuat”, sambung Menteri Keuangan.
Dengan ETM, Indonesia kembali melakukan langkah baru yang signifikan. Oleh sebab itu Indonesia ingin melaksanakannya dengan baik, dengan skenario yang kredibel serta mengomunikasikannya secara jelas pada pemangku kepentingan domestik terutama sektor usaha.
ETM bisa menjadi salah satu agenda unggulan Indonesia yang dapat ditampilkan pada saat Presidensi G20 2022 Indonesia. “Indonesia akan terus menjadi contoh dalam kaitannya dengan upaya mitigasi perubahan iklim dan berharap komitmen yang serupa akan dilakukan oleh negara berkembang dan lembaga pembangunan lainnya baik di kawasan regional maupun global,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)