JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Menjelang sidang putusan gugatan warga atas pencemaran udara Jakarta pada 20 Mei mendatang, guru besar FH Universitas Indonesia Andri G.Wibisana berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan tuntutan yang diajukan 32 warga ibu kota terhadap tujuh lembaga negara.
Andri menilai, gugatan warga atas pencemaran udara Jakarta itu bukan hanya mengenai pelanggaran kewajiban oleh pemerintah, namun mencakup satu hal penting di dalamnya.
“Bukan hanya kewajiban berdasarkan peraturan PP No.41/1999 beserta turunannya, tetapi lebih penting lagi yakni dalil yang diajukan tentang pelanggaran hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia,” ujar Andri saat Media Briefing Koalisi Ibukota, di Jakarta, 6 Mei 2021.
Dia menambahkan, majelis hakim seharusnya mempertimbangkan pendapat ahli yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum penggugat. Terlebih, dalam perjalanannya, tim advokasi telah menghadirkan sejumlah ahli seperti pakar neurologi dari AS, ahli kesehatan publik, ahli pengendalian pencemaran udara, ahli hukum administrasi negara, komisioner Komnas HAM, hingga menyampaikan Amicus Curiae dari Pelapor Khusus PBB, David R.Boyd.
“Semoga hakim melihat substantifnya. Karena sudah ada David Boyd dan ahli-ahli lain. Kalau hakim hanya fokus pada syarat prosedural gugatan CLS, tentu saya kecewa. Semoga tidak,” imbuh Andri.
Lebih lanjut, Andri menilai, pemerintah sebenarnya sudah mengetahui kewajiban dalam penanganan masalah lingkungan, khususnya pencemaran udara. Dia menyebut, hal itu sudah tertulis jelas di sejumlah peraturan, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri hingga Peraturan Gubernur.
“Dalam memutuskan gugatan ini, menurut saya cukup simpel. Ada kewajiban yang ditulis dalam undang-undang. Mulai dari PP, Permen LH sampai Pergub. Nah itu semua sudah dilaksanakan dengan benar atau tidak?” tukas Andri.
Salah satu penggugat, Inaya Wahid, mengaku berharap gugatan ini akan dikabulkan oleh majelis hakim. Dia menginginkan, ada langkah nyata yang jelas, terukur, dan berbasiskan sains, yang dilakukan oleh pemerintah untuk segera mengatasi polusi udara Jakarta.
“Yang pasti jangka pendeknya, saya ingin para hakim mengabulkan gugatan kami untuk seluruhnya. Karena saya yakin bukan hanya kami yang menghirup langsung udara di sini dan merasakan betapa nggak enaknya udara Jakarta. Tapi, saya yakin para Hakim juga merasakan hal yang sama,” ungkap Inaya.
Lebih dari itu, menurut Inaya, perubahan kebijakan harus segera dibuat oleh pemerintah dalam mengendalikan pencemaran udara, bukan hanya sebagai kebijakan politis yang berlaku di periode saat ini saja.
“Ketika pemerintahan saat ini berganti, jangan sampai kemudian berubah lagi kebijakannya,” pintanya.
Selain itu, Inaya juga berharap pemerintah akan melibatkan masyarakat secara luas saat menyusun kebijakan. Seperti pemerintah China yang menggandeng masyarakat untuk mengampanyekan bahaya yang muncul dari PM2.5.
“Jadi, publik juga sadar bahwa hak mereka dipenuhi oleh pemerintah,” kata Inaya.
Mewakili tim advokasi, Ayu Eza Tiara dari LBH Jakarta optimistis majelis hakim akan memenangkan gugatan. Alasannya, dalam proses persidangan yang sudah berlangsung hampir 2 tahun ini, para kuasa hukum tergugat beberapa kali menghadirkan saksi-saksi yang tidak kompeten.
Bahkan, salah satu ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum tergugat (tujuh lembaga negara) sempat menyampaikan bahwa pemerintah lalai dalam melakukan pemenuhan hak warga atas udara bersih.
“Ahli dari tergugat justru secara jelas menyampaikan bahwa pemerintah lalai memenuhi hak atas udara bersih dan sehat. Ini jadi poin penting bahwa ahli dari tergugat saja pro dengan kami,” terang Ayu.
Karena itu, menurut Ayu, tidak ada alasan lagi dari tim hukum tergugat untuk mengaku bahwa pemerintah sudah melakukan hal yang terbaik. “Bahkan, yang diklaim sudah baik, malah disebut ahli masih tidak efektif dan tidak maksimal,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)