JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Menteri LHK Siti Nurbaya melapor ke Presiden Jokowi tentang perlunya aturan Nilai Ekonomi Karbon (NEK)/ Carbon Pricing melalui kebijakan resmi. Kebijakan NEK akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.
Kebijakan Instrumen NEK juga menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia, serta mendukung pembangunan rendah karbon.
“Saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerjasama Indonesia – Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon,” ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya, di Jakarta, (6/7).
Menurut Menteri Siti, potensi karbon Indonesia sangat besar yang jika dibarengi landasan legal menetapkan NEK, maka dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kebijakan NEK diusulkan Menteri Siti berbentuk Perpres yang mencakup pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).
“Jika Perpres ini telah disetujui, maka KLHK akan menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang”, ujar Menteri Siti.
Sebagai gambaran, Menteri Siti menjelaskan jika luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha.
Selain itu, kawasan hidrologis gambut Indonesia juga sangat besar, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha.
Kemudian untuk mangrove, Indonesia punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8 ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha.
Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (dari aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan, akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar.
“Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya,” tuturnya.
Sebagai perbandingan, Menteri Siti menyebut keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di tahun 2016/2017, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia.
Atas keberhasilan itu, pemerintah untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/ RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen kerjasama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.
“Setelah pembayaran RBP pertama dilaksanakan, pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya, akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)” pungkas Menteri Siti. (Jekson Simanjuntak)