JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Team Lead 350 Indonesia Firdaus Cahyadi menjelaskan bahwa penawaran Green Bond BNI seharusnya didahului dengan munculnya komitmen bank tersebut untuk menghentikan pendanaan ke proyek energi kotor batu bara.
“Tanpa adanya komitmen untuk menghentikan pendanaan ke proyek batu bara, green bond itu hanya sekedar gimmick marketing,” ujarnya
Gimmick menurut Firdaus Cahyadi, sebagaimana merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sesuatu hal berupa alat atau trik yang berguna untuk menarik perhatian dengan mengelabui lawan. Hal yang sama terjadi ketika BNI tetap mendanai proyek batu bara yang menurutnya sangat berbahaya, baik secara ekologis maupun sosial.
Data International Energy Agency (IEA) menguatkan hal itu. IEA memperkirakan tambang batu bara Indonesia menghasilkan 1,18 juta ton metana, yang setara dengan 101 juta ton CO2. Jumlah ini hampir dua kali lipat emisi CO2 Jakarta.
“Metana merupakan salah satu jenis GRK penyebab krisis iklim,” tegas Firdaus Cahyadi.
Selama ini, seringkali terjadi perbedaan yang tajam antara klaim green dan praktik pendanaan di sektor perbankan. “BNI misalnya, mengklaim mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi emisi GRK,” ujarnya, “Namun, dari sisi pendanaan, BNI justru mendanai batu bara, penyebab krisis iklim.”
Sebelumnya, Moody’s Investor Service pada tanggal 23 November 2021 menyebut perusahaan tambang batu bara ABM Investama mendapatkan pinjaman sebesar 100 juta USD dari dua bank BUMN. Salah satunya adalah bank BNI.
Pada April 2021, Bank BNI juga terlibat dalam pemberian kredit sindikasi pada Adaro. Adaro sendiri merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki cadangan batubara sebesar 1,1 miliar ton.
Sementara itu, nasabah BNI, utamanya kaum muda, sudah mulai meningkat kesadarannya terhadap lingkungan hidup. Mereka tidak ingin bank pemerintah terlibat pembiayaan energi kotor.
“Nasabah BNI tidak butuh gimmick marketing. Mereka ingin BNI segera berkomitmen menghentikan pendanaan ke proyek energi kotor batu bara,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)