JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan World Animal Protection (WAP) mengingatkan kembali tentang laporan Pengujian Daging Kontaminasi Resistensi Antimikroba di Jabodetabek yang diluncurkan pada Juni 2021. Hal itu penting agar produsen mematuhi standar kesejahteraan yang tinggi untuk menghindari kontaminasi Antimycobacterial Resistance (AMR) ke dalam produk mereka.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyesalkan tidak adanya respons dari para pelaku usaha dan rantai pasok atas komitmen mereka terkait hal itu. Padahal mereka menjadi bagian dari studi tersebut.
“Sampai hari ini tidak ada respons dan tindak lanjut. Kami prihatin dengan sikap diam dan ketidakpedulian perusahaan terhadap hasil studi kami yang telah membunyikan alarm peringatan bahaya bagi konsumen,” terangnya.
Pada momentum World Food Safety Day 2022 yang jatuh setiap 7 Juni, YLKI mengimbau semua pelaku usaha, industri peternakan dan supermarket, termasuk restoran layanan cepat untuk menerapkan kesejahteraan peternakan hewan demi memastikan keamanan pangan.
“Dan tentunya hal tersebut dapat melindungi konsumen,” katanya.
Sebelumnya, laporan tersebut mengungkapkan bahwa sampel dari Rumah Potong Hewan (RPH) serta ritel mengandung bakteri E. Coli yang resisten terhadap kelima antibiotik yang diuji; meropenem, sulfametoksazol, colistin, ciprofloxacin dan kloramfenikol.
“Antibiotik tersebut telah diklasifikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pilihan terakhir ketika mengobati penyakit manusia,” terang Tulus.
Antibiotik kerap digunakan untuk mengobati berbagai infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan, lapisan perut, saluran kemih, saluran pencernaan, mata, atau infeksi kulit yang parah.
Ketika bakteri resisten ditularkan dari hewan ke manusia, hal itu bisa mengurangi kemampuan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri, memperpanjang pengobatan, dan meningkatkan risiko kematian.
Sementara itu, FAO (Food and Agricultural Organization of the United Nations) mencatat, Indonesia merupakan salah satu dari lima negara dengan persentase peningkatan konsumsi antimikroba terbesar yang diproyeksikan pada tahun 2030.
Kelimanya, yang dipilih dari 50 negara dengan jumlah antimikroba terbesar yang digunakan pada ternak pada tahun 2010, termasuk Myanmar (205%), Indonesia (202%), Nigeria (163%), Peru (160%), dan Vietnam (157%).
Adapun survei yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 81,4% petani menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan penyakit, 30,2% peternak menggunakan antibiotik untuk pengobatan dan 0,3% menggunakannya untuk promosi pertumbuhan.
Survei tersebut juga menemukan fakta bahwa colistin berkontribusi sebanyak 34% dari semua antibiotik yang digunakan oleh petani sebagai profilaksis atau sebagai pengobatan bagi unggas mereka. Hal itu mengarah pada resistensi antibiotik dan masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan untuk melarang colistin melalui Peraturan Menteri no 09160/PK.350/F/12/2019.
Senada dengan itu, Manajer Kampanye World Animal Protection Rully Prayoga menyatakan kekecewaannya terhadap para pelaku usaha yang memilih diam dan tidak memberikan respons perbaikan, namun tetap mencari profit.
“Kami merasa kecewa setelah satu tahun tidak ada respons dari mereka. Padahal hal itu sekaligus membahayakan kesehatan masyarakat, dan membuat ratusan ribu ayam broiler tersiksa,” terangnya.
Rully berharap para pelaku usaha segera mengambil tindakan perbaikan serta berkomitmen untuk kesejahteraan ayam pedaging. “Kami siap bekerjasama menuju pemenuhan komitmen dan menghasilkan produk yang sesuai dengan standard kesejahteraan tinggi,” ujarnya.
Standar tersebut termasuk lingkungan dengan lebih banyak ruang, cahaya alami, dan pengayaan seperti bahan untuk bertengger/ mematuk untuk memberikan stimulasi dan mempromosikan perilaku alami, serta mendukung bibit ayam yang tumbuh lebih lambat. Termasuk juga mengurangi stres dan meningkatkan kekebalan dan kesehatan pada ayam.
“Ini pada gilirannya menurunkan penggunaan antibiotik dan menurunkan risiko terhadap kesehatan manusia,” tegasnya.
Atas dasar itu, World Animal Protection menyerukan kepada semua pihak terkait, termasuk pelaku usaha dan pemerintah untuk mewujudkan produk pangan dengan kesejahteraan yang tinggi.
“Bekerja sama dengan YLKI, kami akan meningkatkan pengetahuan konsumen dan mendorong komitmen dari pelaku usaha terhadap pentingnya kesejahteraan hewan ternak bagi kesehatan masyarakat, demi menghindari pandemi berikutnya yang disebabkan oleh bakteri kebal antibiotik,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)