JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Departemen Survei Nepal dan otoritas China pada 8 Desember 2020 mencatat temuan terbaru, yakni tinggi Gunung Everest mencapai 8848, 86m. Artinya, dalam pengukuran terakhir itu, Gunung Everest telah bertambah tinggi 86 cm.
Hal yang sama juga terjadi dengan Karakoram (K2) yang mencapai 8611m, Kangchenjuga 8586m, Lhotse 8516m, Makalu 8485m, Cho Oyu 8188m dan Dhaulagiri I 8167m.
Lalu ada Manaslu dengan ketinggian 8163m, Nanga Parbat 8126m, Annapurna I 8091m, Gasherbrum I 8080, Faichan Kangri 8051m, Gasherbrum II 8035m dan Shishapangma di 8027m.
Koordinator pemetaan pusat survei geologi Badan Geologi Kementerian ESDM Sinung Baskoro menyebut hal itu sebagai dampak dari terangkatnya batuan dasar laut ke permukaan, akibat proses geologi yang disebut subduksi atau tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng benua.
“Khusus Himalaya, tumbukannya terjadi antara Indoasutralia yang membawa anak benua India dengan lempeng Eurasia,” ujar Sinung yang juga alumnus dari UPN Veteran Yogyakarta.
Semua itu bermula pada 250 juta tahun lalu, saat daratan masih merupakan bagian dari benua Pangea yang dikelilingi oleh laut Panthalassa.
Kemudian, 200 juta tahun yang lalu, laut Tethys mulai membelah Pangea menjadi 2 benua besar, yaitu Laurasia di Utara dan Gondwana di selatan.
110 juta tahun lalu, anak benua India mulai terpisah dari Gondwana dan bergerak menuju utara dengan kecepatan antara 15-16 cm/ tahun.
“50-60 juta tahun yang lalu, anak benua India mulai menabrak dinding Eurasia dan terus mendesak sehingga terbentuklah pengunungan Himalaya,” papar Sinung.
Berdasarkan literartur, pergerakan lempeng tektonik, ada yang saling menjauh dan ada yang mendekat. Untuk pergerakan lempeng yang konvergen (saling tumbukan), terjadi antara lempeng samudra dengan lempeng benua.
“Contohnya di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Indonesia,” kata Sinung
Sementara tumbukan antara lempeng samudera dengan lempeng samudera, terjadi di kepulauan Aleut, Alaska.
“Adapun tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua, contohnya ada di pegunungan Himalaya,” papar Sinung yang menamatkan S2nya dari Teknik Geologi, Unpad.
Himalaya sendiri berasal dari Bahasa Sanskerta, dimana Hima artinya salju dan Alaya artinya tempat tinggal. Karena itu, secara sederhana, Himalaya diartikan “tempat tinggal salju” atau dalam bahasa Inggris disebut “above of snow”.
Himalaya sendiri memanjang dari Afghanistan, Pakistan, India, Nepal, China, Butan dan Myanmar dengan panjang total 2.400 km dan lebar 250-300 km.
Himalaya juga merupakan kawasan pegunungan tertinggi di dunia dengan 14 puncak yang tingginya lebih dari 8000 meter di atas permukaan laut, atau kerap disebut Eight Thousander.
Sebagai geologis, Sinung meyakini, proses terbentuknya pegunungan Himalaya ada empat tahap. Tahap pertama terjadi, sekitar 50-60 juta tahun yang lalu, ketika anak benua India dengan benua Eurasia belum bertemu.
Lalu, sekitar 40 juta tahun lalu, mulai terjadi tabrakan atau benturan antara lembeng benua India dan Eurasia. “Disini mulai terjadi penggabungan dari 2 benua,” terang Sinung yang juga anggota organisasi profesi IAGI dan MAGI.
Ketika 2 benua bertabrakan, maka akan muncul dorongan keatas, dimana sedimen dan bagian dari oceanic crust akan dilipat oleh continental coalision.
Fase berikutnya terjadi pada 20 juta tahun yang lalu, seiring tumbukan dua benua. “Akibatnya, sedimen dan sebagian kerak samudera terlipat dan terangkat,” papar Sinung.
Pada tahap keempat, seperti sekarang ini, diketahui rangkaian pegunungan tersebut memiliki panjangnya 2400km dengan puncak tertinggi Mount Everest, sebagai dampak dari terangkatnya sedimen dan bagian dari kerak samudera yang membentuk pola lipatan.
“Lipatan yang terangkat itu membentuk Himalaya. Efek tabrakan juga membentuk gunung dan dataran tinggi Tibet,” ungkap Sinung.
United States Geological Survey (USGS) mencatat Gunung Everest terus tumbuh dengan kecepatan lebih dari 1 cm/tahun. USGS yang merupakan agensi ilmiah pemerintah Amerika Serikat itu menemukan pergerakan awal anak benua India hanya sekitar 5cm/ tahun.
Namun, antara 80-67 juta tahun yang lalu, pergerakannya menjadi 8-9cm/ tahun. Kemudian, antara 67-55 juta tahun lalu menjadi sangat cepat, 15-16 cm/ tahun.
“Saat India menabrak Eurasia 50-40 juta tahun lalu, kecepatannya kembali melambat sekitar 4-6cm/tahun,” kata Sinung yang juga menjabat Sekjen MAGI sejak 2020 hingga sekarang.
Sejak saat itu, pegunungan Himalaya seperti yang kita saksikan sekarang ini. Dan di tahun-tahun mendatang, peneliti memperkirakan Gunung Everest akan terus tumbuh, ntah sampai kapan. (Jekson Simanjuntak)