GLASGOW, BERITALINGKUNGAN.COM – Inggris, Jerman, AS, dan beberapa negara lainnya dalam gelaran KTT COP26 mengumumkan kerjasamanya dengan 17 kontributor yang berkomitmen menginvestasikan USD 1.7 Miliar untuk membantu masyarakat adat dan komunitas lokal dalam melindungi hutan tropis yang tersisa, sekaligus melindungi Bumi dari perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan risiko pandemi.
Saat menghadiri KTT COP26, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim yang menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Dengan potensi alam yang besar, Indonesia terus berkontribusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim, melalui rehabilitasi hutan mangrove dan lahan kritis yang ditargetkan pada 2030 mampu menyerap emisi karbon sebesar 29%.
Sementara itu, Direktur Regional Ford Foundation Indonesia Alexander Irwan menekankan tentang peran penting masyarakat adat sebagai pelindung hutan tropis terbesar yang tersisa di dunia. Ini juga diperlukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
“Kita perlu mendorong agar masyarakat adat dan komunitas lokal bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan membangun kemitraan dengan pemerintah untuk melindungi hutan tropis Indonesia, “ kata Alexander.
Selanjutnya, Ford Foundation siap bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara partisipatif bagi kelompok masyarakat rentan dan komunitas lokal demi terwujudnya keadilan sosial dan mengurangi ketimpangan di Indonesia.
“Dukungan akan diberikan oleh Ford Foundation sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku,” tegasnya.
Selama ini, masyarakat adat dan komunitas lokal telah mengelola setengah dari lahan yang ada di dunia, serta merawat 80% dari keanekaragaman hayati dunia. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa mereka menerima dana perubahan iklim kurang dari 1% yang diperuntukkan untuk mencegah deforestasi.
“Hal ini sejalan dengan program pemerintah dengan terus mempercepat pengakuan hutan adat serta tata kelolanya,” terangnya.
Para kontributor di KTT COP26 juga menyatakan bahwa mereka menunjukkan komitmen kuat dengan mengumumkan pembiayaan awal bersama sebesar USD 1.7 miliar untuk tahun 2021-2025. Pembiayaan itu diperuntukkan dalam membantu memantapkan posisi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pelindung hutan dan alam.
Menteri lingkungan hidup Inggris Zac Goldsmith mengatakan, bukti yang ada menunjukkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan pelindung hutan yang paling efektif. “Oleh karena itu mereka seharusnya menjadi jantung dari solusi darurat iklim yang berdasar pada alam,” tegasnya.
Dengan berinvestasi pada komunitas di hutan tropis dan mengembangkan hak-hak komunitas, ini sekaligus melakukan penanganan kemiskinan, polusi, dan pandemi. Pasalnya, selama bertahun-tahun hanya sekitar USD 270 juta dari pembiayaan perubahan iklim yang ditujukan untuk perlindungan hutan.
“Bahkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang secara langsung melindungi hutan hanya menerima USD 46 juta,” katanya.
Para kontributor dan negara yang berpartisipasi berharap langkah ini sebagai awal yang baik untuk mendorong keikutsertaan komunitas lokal dan masyarakat adat yang memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk mengelola hutan.
Berdasarkan penelitian, hutan berkontribusi sebesar 37% dalam target mitigasi iklim yang telah mendapat komitmen dari berbagai negara sesuai Perjanjian Paris di tahun 2015. Melindungi hutan yang merupakan rumah keanekaragaman hayati, dapat mencegah pertemuan antara manusia dan satwa liar, termasuk mengurangi masuknya patogen berbahaya ke populasi.
Saat ini, semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa masyarakat adat adalah pelindung yang paling efektif untuk hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya. Sebuah studi yang dipublikasikan Oktober lalu memperkuat argumen bahwa ada urgensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan solusi melawan kerusakan hutan tropis.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Ford Foundation Darren Walker menjelaskan bahwa sebuah analisa komprehensif mengenai komitmen global diperlukan untuk melindungi hutan. Ini juga sejalan dengan temuan para peneliti yang mendorong agar hak masyarakat adat dan komunitas lokal diakui dan dijamin, serta meletakkan komunitas tersebut sebagai prioritas.
“Tidak akan ada solusi yang masuk akal terhadap krisis iklim tanpa pengelolaan hutan dan tanah oleh masyarakat adat. Mereka telah terbukti sebagai pelindung terbaik bagi hutan-hutan dunia,” ujarnya.
Walker menambahkan, “Janji USD 1.7 Milyar yang historis ini merupakan tantangan terhadap semua pendonor untuk mendukung dan bermitra dengan masyarakat adat dan komunitas lokal dari seluruh dunia yang merupakan kunci solusi perubahan Iklim.”
Dalam sebuah pernyataan, pada 2 November lalu, yang ditandatangani oleh para filantropis dan pemerintah, mereka berjanji untuk mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dengan bermitra bersama pemerintah dan pemangku kepentingan lain, untuk penguatan sistem kepemilikan tanah dan melindungi hak kepemilikan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Pernyataan itu, sekaligus menguatkan komitmen partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan, serta implementasi program yang relevan, termasuk instrumen finansial, sehingga mengakui kepentingan kelompok yang termarginalisasi dan rentan, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, serta kaum muda. (Jekson Simanjuntak)