
Ilustrasi – Anggota kelompok tani memperlihatkan dua burung hantu (Tyto alba) jenis Serak Jawa untuk mengamankan tanaman padi dari serangan hama tikus. Foto : Antara.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Tak semua bantuan negara datang dalam bentuk uang, pupuk, atau alat berat. Di tengah gegap gempita modernisasi pertanian, Presiden RI Prabowo Subianto justru mengirimkan 1.000 ekor burung hantu ke petani di Majalengka. Langkah yang terdengar nyeleneh ini sontak mengundang tawa kecil hingga kerutan dahi.
Namun siapa sangka, burung malam bersayap lebar itu menyimpan harapan besar bagi sawah yang selama ini dikepung tikus.
Di dunia pertanian, tikus bukan cuma hama—ia adalah mimpi buruk. Dalam semalam, kawanan tikus bisa meluluhlantakkan puluhan hektare lahan. Dan ketika racun tak lagi mempan dan jebakan tak cukup sigap, solusi alami ternyata hadir dalam sosok Tyto alba—burung hantu berwajah jantung, sang predator senyap yang ahli memburu tikus.
Burung Hantu: Solusi Lama yang Terbukti Ampuh
Di balik skeptisisme, keputusan Presiden Prabowo membawa angin segar. Pendekatan hayati ini bukan hal baru, melainkan strategi ekologi yang telah diuji di berbagai daerah.
Garut, misalnya. Pada 2024, Dinas Pertanian setempat telah membangun 280 rumah burung hantu (rubuhas) di 42 kecamatan. Satu rumah burung hantu diyakini bisa melindungi 4–5 hektare sawah dari serbuan tikus. Kuningan, Karawang, dan bahkan Rejang Lebong di Bengkulu turut mengadopsi pendekatan serupa—menjadikan burung hantu sebagai “penjaga malam” sawah petani.
Bukan hanya makan, burung hantu juga menjaga wilayahnya. Seekor Tyto alba dewasa bisa membunuh lebih dari 20 tikus dalam satu malam. Ini bukan dongeng petani, tapi fakta lapangan yang didukung sains.
Keseimbangan Ekologi, Bukan Sekadar Simbol
Menurut Yudhistira Nugraha, peneliti dari BRIN pendekatan burung hantu adalah bagian dari sistem pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan. “Tapi burung hantu bukan solusi tunggal. Populasi tikus tetap harus ditekan dengan cara lain—mulai dari grobyokan, pengemposan sarang, hingga perangkap mekanis,”kata Yudhistira seperti dikutip Beritalingkungan.com dari Antara (14/04/2025).
Namun kunci keberhasilan tetap pada satu hal: keterlibatan petani dan ketersediaan rumah burung hantu. Karena Tyto alba tidak membangun sarangnya sendiri, rubuha menjadi syarat mutlak. Di Garut, banyak rubuha dibangun secara swadaya karena petani telah melihat sendiri manfaatnya.
Tantangan Konservasi dan Harapan ke Depan
Sayangnya, di balik kisah sukses itu, tantangan masih mengintai. Kesadaran petani belum merata, perburuan burung hantu masih terjadi, dan dukungan regulasi belum sepenuhnya kuat. Tapi dengan dorongan dari pemimpin tertinggi negeri, harapan membubung tinggi.
Presiden Prabowo sendiri menegaskan bahwa solusi pertanian tak harus mahal dan canggih. “Yang paling bagus sekarang katanya adalah burung hantu,” ujarnya.
Pernyataan sederhana itu menyimpan pesan besar: bahwa teknologi terbaik sering kali justru datang dari harmoni dengan alam.
Ketika Hantu Menjadi Pahlawan
Apa yang semula dianggap lelucon, kini menjelma jadi kebijakan inspiratif. Burung hantu Tyto alba bukan hanya pemangsa tikus, tapi simbol keberpihakan pada alam, pada petani, dan pada masa depan pertanian Indonesia yang lebih berkelanjutan.
Mungkin sudah saatnya kita percaya, bahwa di balik keheningan malam, seekor burung hantu sedang menjaga panen masa depan bangsa (Ant/BL).