JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Indonesia telah memutakhirkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)nya. Meskipun demikian, target Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dinilai sangat tidak memadai.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, kebijakan dan aksi iklim Indonesia justru mengarah pada peningkatan emisi.
Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan yang lebih ambisius terutama pada sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan mendorong aliran pendanaan internasional terkait iklim.
Sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar (45.7% selain sektor FOLU atau hutan dan penggunaan lahan). “Sub sektor pembangkitan listrik bertanggung jawab terhadap 35% emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing 27%,” ujarnya.
Climate Transparency Report 2021 (Laporan Transparansi Iklim) menyatakan bahwa meskipun Indonesia mengusulkan adanya peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri, namun belum ada strategi penghentian batubara secara bertahap serta kebijakan yang mendorong persaingan energi terbarukan dengan batubara.
Menurut Fabby, Climate Transparency Report 2021 bahkan memproyeksikan emisi GRK Indonesia pasca pandemi akan melonjak melebihi tingkat emisinya pada 2019 seiring dengan bangkitnya aktivitas ekonomi.
“Berdasarkan kajian IESR, paling tidak, agar selaras dengan Persetujuan Paris, penurunan emisi karbon kita di sektor energi seharusnya di atas 500 juta ton,” tegasnya.
Fabby mengusulkan tiga strategi yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk menekan emisi GRK dari sektor emisi.
“Pertama, peningkatan bauran energi terbarukan. Kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% di 2030,” katanya.
Kedua, mendorong efisiensi energi, khususnya dari sektor transportasi. Konsumsi energi per kapita untuk listrik masih relatif rendah, sementara permintaan bahan bakar transportasi sangat tinggi dan menjadi penyumbang emisi tertinggi.
Ketiga, menurut Fabby, Indonesia harus mempensiunkan dini paling sedikit 10 GW PLTU. “Atau tidak memperpanjang kontrak PLTU, itu akan efektif menurunkan emisi,” tegasnya.
Sektor Ketenagalistrikan
Hingga tahun 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia tetap didominasi oleh bahan bakar fosil (82%), dengan batubara menyumbang pangsa tertinggi (62%) dalam pembangkitan listrik di tahun 2020.
Akibatnya intensitas emisi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun dari 2015-2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun sebesar 1%. “Sementara, rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat,” kata Fabby.
Pemerintah Indonesia pun belum sepenuhnya menerapkan komitmennya untuk menekan emisi dari batubara. Demi memenuhi tujuan netral karbon pada 2060, pemerintah telah mengumumkan bahwa tidak akan membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2023.
“Namun, di saat bersamaan, sekitar 2 GW kapasitas batubara sudah mulai beroperasi,” katanya.
Tidak hanya itu, dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara menurut analisis Climate Transparency Report 2021, pembangkitan listrik dari batubara bahkan harus mencapai puncaknya pada tahun 2020.
“Ini penting untuk menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037 sekaligus menyelaraskan dengan jalur pembatasan kenaikan suhu pada 1,5°C,” terangnya.
Investasi Energi hijau
Manager Program Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani menjelaskan, untuk mengurangi emisi GRK diperlukan pendanaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pendanaan publik harus diarahkan kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius.
“Selain itu, subsidi di sektor energi fosil harus sudah mulai dihentikan dan mempercepat transisi energi melalui pendanaan energi terbarukan,” kata Lisa.
Menurutnya, investasi pada energi hijau dan infrastrukturnya perlu lebih besar daripada investasi bahan bakar fosil pada tahun 2025. “Selama ini, Indonesia menghabiskan 8,6 miliar USD untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik,” terangnya.
Lebih jauh, Lisa menambahkan bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik untuk mendorong pengurangan emisi GRK yang utamanya dikontribusikan dari sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri. “Karena ketiga sektor itu sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia,” ucapnya.
Lisa menambahkan, “Perlu mekanisme yang lebih feasible (layak) agar penerapan pajak karbon mampu mengurangi emisi secara signifikan dan memajukan ekonomi yang berketahanan iklim melalui upaya yang lebih besar lagi, misalnya melalui carbon trading (perdagangan karbon).” (Jekson Simanjuntak)