Hutan konservasi. Foto : WRI Indonesia.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat terobosan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Kawasan konservasi yang selama ini cenderung tidak melibatkan masyarakat, kalau ada, penuh dengan syarat membuat akses masyarakat lokal makin terbatas. Kondisi tersebut memicu konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi yang berlarut-larut. Kini KLHK membuat skema baru pengelolaan kawasan hutan konservasi melalui kemitraan konservasi yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.
Skema Kemitraan Konservasi itu diatur melalui Peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) nomor 6 tahun 2018.
Kebijakan tersebut disambut positif pegiat hutan kemasyarakatan. “Kemitraan konservasi membawa prospek baru dalam pengelolaan hutan Indonesia. Masyarakat dapat terlibat mengelola kawasan konservasi, sekaligus memperoleh keuntungan dari sisi ekologi, ekonomi dan budaya,” kata Direktur Program Konservasi Lembaga Alam Tropika (LATIN), Arif Aliadi dalam acara Lokarkarya Penyampaian Pesan Kunci Hasil Kajian Tentang Kemitraan Konservasi di Ruang Rimbawan III, Gedung Manggala Wanabakti, KLHK, Jakarta (9/2019).
Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com. |
Acara tersebut juga dihadiri Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan jajarannya, serta masyarakat sipil yang aktif mendorong Kemitraan Konservasi di lapangan, akademisi serta unsur media.
Menurut Arief, kawasan konservasi memberikan manfaat ekologi bagi pengendalian iklim dan keanekargamanhayati. Selain membawa dampak ekologis, kawasan konservasi tentunya juga membawa manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
“Manfaatnya bisa dalam bentuk pendapatan dari kunjungan wisata ataupun jasa lingkungan,” ungkapnya.
Bagi Arief, pelibatan masyarakat adat sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi, karena
pola penghidupan masyarakat sekitar kawasan konservasi yang sudah menyatu dengan alam sekitarnya. Ini terlihat dari berbagai kegiatan seni, budaya, pola penghidupan dan pelestarian yang secara turun temurun sudah diterapkan masyarakat.
Selain itu, kemitraan konservasi juga memberikan jaminan bahwa pengelolaan kawasan konservasi melibatkan masyarakat sekitar kawasan konservasi untuk perlindungan dan pengamanan kawasan.
Alumnus Institute Pertanian Bogor (IPB) ini mengungkapkan, lembaganya (LATIN) atas support USAID baru saja melakukan kajian implementasi kebijakan Kemitraan Konservasi di 12 Taman Nasional (TN) yaitu TN Sebangau, TN Gunung Halimun-Salak, TN Gunung Ciremai, TN Meru Betiri, TN Gunung Tambora, TN Kalimutu, TN Gunung Leuser, TN Kepulauan Karimun Jawa, TN Kayan Mentarang, TN Bantimurung Bulusaraung, TN Bogani Nani Warta Bone serta TN Komodo.
“Temuan kami kemitraan konservasi memberikan jaminan bahwa pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat sekitar menjawab dilema pengelolaan selama ini,” ungkapnya. Kemitraan konservasi lanjut Arief, menjadi salah satu jawaban atas konflik yang terjadi di kawasan konservasi. Termasuk keterlanjuran aktivitas masyarakat di dalam kawasan konservasi.
Sementara itu, Dirjen KSDAE KLHK, Wiratno mengatakan, sejak 2018, sudah ada peraturan yang memberikan akses masyarakat terlibat penuh dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dengan adanya akses, masyarakat dapat berusaha meningkatkan pendapat keluarga. Muaranya adalah memperoleh penghidupan yang layak.
Pada kesempatan tersebut, mantan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser ini juga mengucapkan terimakasih kepada LATIN yang sudah melakukan kajian kebijakan implementasi Kemitraan Konservasi di sejumlah Taman Nasional. “ Saya mengucapkan terimakasih atas adanya kajian dari LATIN, sebagai salah satu upaya publik dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera,”tandasnya. (Marwan Azis).
Perdirjen No 6 Tahun 2018 tentang Juknis Kemitraan Konservasi Kemitraan Konservasi bisa diakses melalui link ini