JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Abby Gina Boang Manalu menjelaskan bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini sebagai krisis iklim yang merupakan isu global.
Sebelumnya, krisis iklim sering dianggap sebagai peristiwa ekologi semata atau fenomena yang terjadi secara natural, tanpa memperhatikan bahwa krisis iklim memunculkan banyak persoalan. “Banyak krisis lain yang mengikutinya,” ujar Abby saat menjadi narasumber pada sesi diskusi “Perempuan dan Iklim” di Jakarta (4/11).
Tak heran jika banyak kalangan menyebut, kerusakan atau gangguan pada iklim akan menimbulkan krisis multidimensi. Sejatinya, perbincangan tentang keadilan iklim sudah disuarakan sejak tahun 1980-an. “Ketika itu dibicarakan, kita lebih berfokus pada kerusakan lingkungan berdampak terhadap semua orang,” katanya
Padahal jika melihat langsung ke lapangan, ternyata ada persoalan besar yang dialami oleh perempuan. Oleh sebab itu, feminisme melihat berdasarkan pada pendekatan yang sensitif gender dan interseksional. Dari situ akan terlihat, apakah setiap kelompok telah mendapatkan dampak yang sama ketika menghadapi satu persoalan lingkungan.
“Dari perspektif gender, tanpa adanya krisis iklim, perempuan telah memiliki posisi yang rentan. Misalnya, akses terhadap modal lebih sedikit. Akses perempuan terhadap pekerjaan lebih sedikit. Ada nilai-nilai budaya yang membatasi ruang lingkup perempuan,” terang Abby.
Artinya, tanpa krisis iklim, kondisi perempuan sudah begitu sulit. Bahkan data global menunjukkan jika perempuan adalah wajah kemiskinan dunia. “Karena 70% penduduk miskin global adalah perempuan,” ungkapnya.
Dengan adanya krisis iklim, Abby melihat, setidaknya ada pola yang sama, meskipun masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda. Ini menunjukkan adanya persoalan yang sama, yaitu perempuan harus mengatasi ketimpangan gender.
“Bahkan ada kerentanan konflik, ditambah lagi atau dilipatgandakan dengan adanya krisis iklim,” jelasnya.
Penelitian Jurnal Perempuan dalam 10 tahun terakhir memperlihatkan bahwa terkait iklim, perempuan terdampak secara ekonomi. Untuk itu, mereka terpaksa melakukan praktik resiliensi, yang mungkin juga mengancam kesehatan reproduksi, ketika akses terhadap sumberdaya menjadi terbatas.
“Ini menjadi gambaran, baik itu di global maupun di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, bahwa perempuan menanggung beban yang lebih berat lagi terkait iklim,” ujar Abby.
Untuk itu perlu ada perspektif keadilan gender atau perspektif feminis untuk melihat bahwa kelompok perempuan memiliki kerentanan yang berlipat dan butuh respons yang berbeda.
“Yang menjadi persoalan adalah, ketika bicara tentang keadilan gender dan keadilan iklim, perempuan lebih sering diletakkan sebagai pelengkap, tanpa sungguh-sungguh mengakomodasi kebutuhan mereka,” katanya.
Sebagai contoh, kehidupan perempuan nelayan yang kesulitan untuk mencari ikan. “Dulu misalnya untuk mencari ikan tidak sesulit sekarang. Harus lebih jauh dan lebih dalam lagi,” ucap Abby.
Dengan begitu, feminisme percaya bahwa pendekatan perspektif keadilan gender dan keadilan iklim tidak mungkin tercapai ketika keadilan gender tidak dilibatkan di dalamnya.
“Selain melihat perempuan sebagai kelompok yang paling rentan, sejumlah data dan riset yang dilakukan di global menunjukkan bahwa daya lenting atau resiliensi perempuan sebenarnya sangat kuat,” tegasnya.
Hal itu terjadi, karena perempuan memiliki perhatian yang besar terhadap keluarga. Perempuan juga sangat peduli dengan lingkungannya yang mungkin luput dari pantauan laki-laki. “Selain itu, perhatian perempuan terhadap lingkungan turut membangun cara untuk bertahan,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)