JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Kepala Riset Ekonomi Lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia, Dr. Alin Halimatussadiah menegaskan, mitigasi bencana yang bersifat anomali akibat perubahan iklim, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Minggu (4/4) perlu dilakukan oleh semua pihak.
Terlebih NTT memiliki tingkat kemiskinan yang berada di atas tingkat nasional. Artinya, jika terkena bencana, maka kondisi masyarakat di daerah tersebut akan semakin terpuruk. Karena itu, Alin menyebut dampak dari bencana tersebut bersifat katastropik.
“Ketika masyarakat kehilangan rumah, ladang, ternak dan keluarga, mereka membutuhan waktu pemulihan yang lama, terlebih perlindungan sosial yang sekarang tersedia belum cukup adaptif bagi mereka yang jatuh miskin akibat bencana,” ujar Alin.
Peristiwa anomali bencana seperti ini, menurut Alin menjadi momentum tentang perlunya perencanaan matang untuk mitigasi bencana, baik yang bisa diprediksi maupun tidak.
“Karena itu penting memasukan mitigasi bencana ke dalam RPJMD masing-masing daerah, sehingga pemerintah minimal sudah memiliki upaya untuk memitigasi bencana,” jelasnya.
Lebih lanjut, mitigasi harus dipersepsikan sebagai sebuah investasi jangka panjang yang wajib dilakukan, sehingga pengeluaran anggaran akibat bencana di masa depan menjadi lebih rendah.
Mitigasi dapat dilakukan antara lain dengan pembuatan spatial planning dan early warning system untuk mengurangi risiko kerugian yang lebih besar, baik dari aspek sosial maupun ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan fiskal suatu daerah.
Saat ini, LPEM FEB UI sedang melakukan riset terkait infrastruktur tahan bencana dan perubahan iklim di Indonesia. Alin berharap, studi tersebut bisa menjadi rujukan dalam merancang mitigasi jangka panjang di Indonesia.
Saat ini, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur naik secara signifikan dari Rp154,6 triliun (USD 13 miliar) pada 2014 menjadi Rp394,1 triliun (USD 27,2 miliar) pada 2019, atau kurang lebih bertambah sebesar 254,9% (LPEM UI, 2021).
Alin juga mengingatkan tentang perlunya merancang infrastruktur di masa depan yang lebih tahan terhadap bencana, terutama akibat perubahan iklim. “Itulah mengapa, pemerintah harus bergerak progresif untuk memperbaiki konektivitas antar wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing melalui pembangunan infrastruktur,” katanya.
Alin memastikan hasil kajian yang dilakukan LPEM UI mampu memberikan beberapa rekomendasi yang dapat diaplikasikan oleh pemerintah, seperti: mengembangkan definisi yang tepat dari infrastruktur yang tahan terhadap iklim dan bencana dan membangun standardisasi yang kuat untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia
“Riset juga menjelaskan konsep ketahanan iklim serta kapasitas pemerintah daerah dalam membangun infrastruktur, termasuk mengembangkan pembiayaan inovatif bagi infrastruktur yang tahan terhadap iklim dan bencana, ,” kata Alin.
Contohnya, seperti promosi PPP dan juga termasuk skema Viability Gap Fund (VGF) dan Availability Payment (AP), penerbitan green bonds, hingga sovereign wealth fund, yang dilengkapi dengan instrumen pendukung lainnya
Selain itu. yang tak kalah penting menurut Alin, hasil kajian mampu meningkatkan kapasitas pangkalan data yang andal dan real time untuk mendukung penilaian risiko serta pemantauan dan evaluasi pembangunan infrastruktur yang tangguh. (Jekson Simanjuntak)