JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Studi terbaru Ernst and Young (EY), salah satu lembaga audit terbesar di dunia, mengungkapkan, energi terbarukan di Indonesia merupakan yang paling menonjol dan paling menarik dari sektor energi. Riset tersebut mengidentifikasi potensi pemulihan hijau dengan total 97 proyek energi terbarukan dan perkiraan investasi mencapai US$ 12 miliar.
Dalam studi bertajuk “Green Recovery Opportunities in Southeast Asia, Japan, South Korea and Taiwan” tersebut, EY melakukan riset di delapan negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Studi di delapan negara tersebut mengidentifikasi total 811 proyek energi terbarukan, dengan potensi investasi US$ 316 miliar, penambahan kapasitas 90 GW, 870 ribu potensi pekerjaan tercipta, dan penurunan emisi 229 MTCO2e.
Dari 97 proyek itu, Indonesia berpotensi menambah total 4 GW pembangkit listrik terbarukan, menciptakan 34 ribu pekerjaan, serta menurunkan emisi 19 MTCO2e.
“Ini bukti perusahaan swasta semakin tertarik pada energi terbarukan untuk berkontribusi pada transisi energi di Indonesia. Pembaruan target nasional dan proses pengadaan yang jelas dapat mempercepat investasi di sektor ini,” mengutip riset Ernst and Young yang dirilis Senin (12/4).
Riset EY juga menekankan bahwa manfaat lingkungan dan ekonomi dari pengembangan energi hijau tidak dapat diabaikan lagi. Pemerintah di seluruh dunia telah mengakui peran yang dapat dimainkan sektor energi hijau dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.
“Penambahan kapasitas 4 GW pembangkit dari energi terbarukan di Indonesia, di saat yang sama, menurunkan emisi yang berdampak baik bagi kesehatan dan juga perekonomian,” tulis EY.
Studi ini juga menemukan, adanya minat investor yang luar biasa dan kelebihan modal swasta yang siap dikerahkan di sektor energi bersih. Namun, transisi energi bersih hanya dapat dipercepat jika tantangan tertentu ditangani oleh pihak berwenang, sehingga membuat sektor ini menarik bagi investasi swasta.
Regulasi, Administrasi dan Komersialisasi Proyek
Berdasarkan studi tersebut, selain panas bumi, solar panel dan angin merupakan yang paling menarik. Namun, masa depan pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih bergantung pada strategi PT PLN (Persero) sebagai pemasok tunggal listrik.
“Karena itu, Indonesia membutuhkan regulasi yang jelas agar mampu mengakselerasi transisi energi,” tulis EY dalam rilisnya.
Studi ini juga merekomendasikan program spesifik berbasis pasar yang bisa dilakukan PLN. Di antaranya memastikan keselarasan antara rencana pengembangan listrik tahunan PLN dan rencana yang diumumkan pemerintah, hingga menyelenggarakan proses pengadaan yang transparan.
“Termasuk mengadopsi pendekatan Feed in Tariff (FiT) untuk mengatasi hambatan yang ada, dan mempersingkat negosiasi PPA,”tulis EY.
Karena itu, Indonesia perlu melakukan sejumlah hal, mulai dari mengenalkan tarif “optimal” untuk mempromosikan energi terbarukan; memastikan jaminan kredit, hingga menjembatani pembiayaan dan pinjaman yang dapat dijadikan paket stimulus untuk membantu mendanai proyek skala kecil.
“Pasalnya, di Indonesia, 61 dari 97 proyek yang teridentifikasi merupakan proyek dengan investasi kurang dari US$ 50 juta,”menurut riset EY.
Secara keseluruhan, studi ini menggarisbawahi bahwa “Pendanaan proyek hanyalah salah satu kendala yang teridentifikasi. Tapi untuk kebanyakan proyek di banyak negara, tantangan utamanya adalah isu non-finansial dan terkait dengan regulasi, administratif, dan komersial proyek.”
Selain itu, riset juga mengungkapkan sejumlah proyek transformatif telah dilakukan negara lain, yang terutama didukung oleh kebijakan dan regulasi memadai. Di Malaysia, mekanisme lelang terbalik dirancang dengan baik dan transparan, membantu industri tenaga surya berkembang.
Di Vietnam, FiT yang menarik dan standar PPA mengarah ke instalasi tenaga surya berkapasitas 4,5GW tahun 2019, melebihi target nasional 4GW untuk 2025. Kementerian Energi setempat saat ini sedang mengevaluasi mekanisme perjanjian pembelian listrik langsung antara energi terbarukan dan konsumen listrik swasta. (Jekson Simanjuntak)