JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) belum menjawab secara detail persoalan utama pengelolaan energi terbarukan di Indonesia.
Mereka juga menyoroti sejumlah hal, seperti kemungkinan pengulangan substansi aturan yang tumpang tindih di RUU EBT dengan regulasi yang sudah ada. Regulasi tersebut adalah UU Nomor 30/2007 tentang Energi dan UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Deputi Direktur Bidang Program dan Kepala Divisi Tata Kelola LH dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengapresiasi hadirnya RUU EBT, jika mampu memberi kepastian hukum dan mengisi kekosongan hukum yang belum diatur di UU yang sudah ada.
“Namun masalahnya, ketentuan di RUU EBT sejauh ini justru mengulang dan tidak menjawab persoalan, sehingga dikhawatirkan tidak dapat dilaksanakan ketika sudah disahkan,” ungkap Grita Anindarini usai beraudiensi dengan Komisi VII DPR pada Rabu lalu (7/4).
Menurut Grita, dari 15 bab di RUU EBT, hanya dua bab saja yang benar-benar baru, yakni Bab VII yang mengatur soal harga energi baru dan terbarukan dan Bab X mengenai dana energi terbarukan.
Oleh karena itu, ICEL yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih mendorong Komisi VII DPR RI melakukan pendalaman materi dan substansi yang lebih komprehensif dalam menyusun RUU EBT.
“Hal ini penting, karena yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi untuk mendorong akselerasi energi terbarukan,” papar Grita.
Saat ini, transisi energi menjadi langkah penting yang harus dilakukan oleh banyak negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris agar suhu bumi tidak melebihi 2ºC.
Penurunan emisi dan suhu Bumi, menurut Grita, hanya bisa dicapai dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi fosil.
“Termasuk dengan tidak memasukkan gasifikasi batubara atau likuifaksi batubara, atau energi nuklir dalam RUU EBT,” ujar Grita.
Sementara itu, juru kampanye Trend Asia Andri Prasetiyo menyoroti soal gasifikasi batubara yang diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 377 juta per tahun. Tidak hanya itu, komponen fixed cost sebesar US$ 2 miliar juga merupakan investasi berisiko tinggi yang berpotensi mengikis kedaulatan negara.
“Dalam RUU EBT ini, jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Secara substansial, terminologi itu problematik sebab masih memasukkan energi kotor batubara (gasifikasi),” ungkap Andri Prasetiyo.
Andri menilai, selain berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, ‘energi baru’ juga berpotensi membebani keuangan negara. Karena itu, pembahasan tentang ‘energi baru’ menjadi tidak relevan dalam RUU EBT ini.
“RUU ini seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan saja,” pinta Andri yang juga merangkap manajer program di Trend Asia.
Saat ini, Indonesia berupaya mengejar ketertinggalan target 23 persen bauran energi pada 2025, yang saat ini baru tercapai 11,5 persen. Manager program transformasi energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menilai upaya pemerintah itu harus didukung, termasuk mempercepat transisi energi. Oleh karena itu, kapasitas pertumbuhan pembangkit energi terbarukan perlu diakselerasi 6-8 kali lipat.
“Sejak tahun 2015, pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia sangat lambat, sekitar 400-500 MW per tahun. Pada tahun 2020, pertumbuhannya baru mencapai 187,5 MW,” kata Deon Arinaldo.
Untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23 persen itu, Deon menilai, pembangkit energi terbarukan perlu mencapai 24 GW pada tahun 2025 atau bertambah sebesar 2-3 GW per tahun.
Karena itulah, di hadapan Komisi VII DPR, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih meminta agar pengambilan keputusan terkait energi perlu melibatkan masyarakat secara luas. Pasalnya, hal itu berkaitan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana diamanatkan konstitusi. (Jekson Simanjuntak).