JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Riset Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) terbaru menunjukkan terjadinya penurunan populasi lebah secara besar-besaran, baik lebah yang diternakkan maupun lebah alami di alam.
Kekhawatiran itu memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan penurunan populasi lebah secara global dan seperti apa dampaknya terhadap pertanian dan produksi pangan dunia.
Studi yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap 272 peternak lebah itu mengungkapkan terjadinya penurunan produksi madu, seperti yang dialami oleh 57% responden. Mereka rata-rata menyatakan bahwa dugaan penurunan produksi karena dampak perubahan iklim, ketersediaan pakan dan pestisida yang digunakan di bentang alam.
Hasil penelitian itu disampaikan dalam Lokakarya Bee and Polinator Awareness Day, dengan tema “Lebah, Ketahanan Pangan, dan Kesehatan: Peluang dan Tantangan” pada 6 April 2021.
Riset PEI
Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) melibatkan 272 peternak lebah, berasal dari pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Maluku.
Secara umum jenis lebah yang popular diternakkan di Indonesia mencakup 22 spesies. Masing-masing terdiri dari 4 spesies lebah madu, seperti Apis cerana dan Apis mellifera, dan 18 spesies lebah tak bersengat (dalam bahasa daerah sering disebut Kelulut), termasuk Heterotrigona itama, Tetragonula laeviceps, dan T. cf. biroi.
Dalam skala nasional, keanekaragaman tertinggi terdapat di Pulau Sumatera (16 spesies), diikuti Jawa dan Kalimantan (masing- masing 10 spesies).
Sementara itu, lebah madu Asia (Apis cerana) merupakan spesies yang paling umum ditemukan di semua pulau. Beberapa spesies unik lainnya hanya ditemukan di pulau-pulau tertentu, seperti Apis nigrocincta di Sulawesi, Tetragonula melanocephala di Nusa Tenggara, Homotrigona fimbriata di Kalimantan, dan Tetragonula minangkabau, Heterotrigona erythrogastra dan Lophotrigona canifrons, yang hanya terdapat di Pulau Sumatera.
Saat melakukan riset, sebanyak 25 peneliti dari 19 cabang PEI di Indonesia terlibat melakukan wawancara melalui kuesioner secara langsung terhadap 221 peternak lebah, dan secara online kepada 51 peternak lebah di 25 propinsi.
Hasil wawancara memberikan info profil peternak lebah dan pengalaman mereka dalam beternak. Secara keseluruhan, para peternak didominasi oleh mereka yang berusia muda (30-39 tahun) dengan tingkat pendidikan rata-rata sekolah menengah atas.
Riset juga menemukan, jumlah peternak lebah terus meningkat. Sebagian besar baru memelihara lebah dalam kurun 3-5 tahun terakhir. Hampir setengah dari total peternak memperoleh koloni lebah pertama dari alam liar.
Selain itu, tim riset berhasil mengumpulkan berbagai spesies lebah untuk diidentifikasi dan dianalisis pollen (bagian lebah yang mengandung karbohidrat, protein, asam lemak, antioksidan, serta vitamin dan mineral)-nya.
Hal itu dilakukan untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan yang dihinggapi lebah. Ini sekaligus memberikan informasi tentang jenis tanaman yang biasa dijadikan pakan oleh lebah.
Penelitian yang sifatnya kualitatif dan kuantitatif itu, berguna untuk memberikan gambaran akurat mengenai pemeliharaan lebah di daerah tropis. Ini pertama kalinya, tim riset mampu memusatkan perhatian untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi para peternak.
Perlindungan lebah
Kepala Pusat CTSS, Guru Besar Departemen Proteksi Tanaman IPB Prof. Damayanti Buchori menjelaskan lebah memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan pangan dan kesehatan manusia.
“Fenomena penurunan populasi lebah secara global merupakan sebuah fakta. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai fenomena ini, apakah juga terjadi atau tidak, padahal mendeteksi kondisi populasi lebah sangatlah penting agar kita dapat melakukan tindakan-tindakan penyelamatan, jika memang terjadi,” ujar Prof. Damayanti.
Menurut Prof. Damayanti, studi yang dilakukan Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) merupakan studi pertama yang dilakukan dalam usaha mencari data penurunan populasi lebah.
“Dari hasil ini tampak bahwa penurunan populasi lebah dirasakan oleh sebagian besar peternak. Data awal ini perlu ditindaklanjuti dengan riset yang lebih komprehensif mengenai kondisi lebah di Indonesia,” ujar Prof. Damayanti.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Antarjo Dikin menyebut lebah sebagai serangga yang hidupnya selalu bersih, dan tidak mau merusak alam bahkan memberikan pertolongan terhadap makhluk lain.
Bahkan, madu yang dihasilkan lebah digunakan untuk kesehatan manusia. Tak hanya itu, menurut Antarjo, lebah berperan sebagai pemulia (breeder) untuk memperoleh varietas atau klon tanaman perkebunan secara tidak langsung.
“Sarang lebah diekstrak (Propolis) juga sebagai bahan kosmetik, obat ketahanan tubuh manusia dari infeksi bakteri virus, bakteri dan jamur hingga mampu mengendalikan tekanan darah (hipertensi) serta menekan pertumbuhan kanker,” ungkap Antarjo Dikin.
Aksi Kolaborasi
Studi terbaru terkait penurunan populasi lebah, baik lebah ternak maupun lebah alami yang dilakukan Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) menunjukkan ada tiga faktor utama penyebab kematian lebah, yakni; iklim (31%), sumber makanan (23%), dan pestisida (21%).
Berbagai masalah lain juga memengaruhi kuantitas dan kualitas hasil madu, seperti cuaca, sumber pakan, jenis lebah, dan perlakuan saat panen dan pasca panen.
Karena itu, penelitian yang didukung PT. Syngenta Indonesia itu diharapkan mampu melengkapi informasi untuk mengatasi permasalahan penurunan populasi polinator di Indonesia, sekaligus mempromosikan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang dapat meningkatkan hasil panen sekaligus memulihkan keseimbangan ekosistem.
Ketua Umum Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Prof. Dadang menilai pollinator (serangga penyerbuk) memiliki peranan penting di ekosistem, dimana kesuksesan reproduksi spesies tumbuhan tergantung pada keberadaannya.
Khalayak umum perlu diberikan informasi dan pengetahuan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan pollinator, sehingga dapat dimanfaatkan secara bijak dan berkelanjutan.
Dadang juga mengapresiasi proses kolaborasi dan kerjasama multipihak yang di lakukan dalam penelitian ini. Penelitian tiba pada kesimpulan bahwa permasalahan lebah dan upaya mencari solusi perlu dilakukan secara bersama-sama.
Hal itu juga mendasari lahirnya forum Indonesian Pollinator Initiative (IPI) sebagai forum inisiatif pertama di Indonesia yang diharapkan dapat membuka dialog seputar permasalahan lebah dan pollinator.
“Ini menjadi tonggak dimulainya forum Indonesian Pollinator Initiative (IPI) secara resmi, dan menjadi kesempatan besar untuk menyampaikan hasil survei PEI kepada para akademisi, pembuat kebijakan, praktisi, pejabat pemerintah, petani, dan masyarakat sipil,” pungkas Prof. Dadang.
Sementara itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno menilai, penelitian terbaru PEI itu sebagai sumberdaya yang berharga. Berbagai usaha perlu dilakukan untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap lebah di Indonesia.
“Menggali pengetahuan dan informasi mengenai lebah, dan juga kolaborasi erat antar pihak terkait merupakan salah satu usaha dan upaya yang sangat baik, dalam rangka meningkatkan kesadaran akan keanekaragaman lebah di Indonesia,” pungkas Wiratno. (Jekson Simanjuntak)