Tulisan ini adalah jawaban sekaligus penjelasan mengenai Partai Hijau (yang saya dambakan) dan alasan mengapa saya bergabung dengannya.
Oleh : John Muhammad #
Sudah sekian lama, saya tertarik dengan politik hijau (green politics), baik sebagai partai maupun hanya sebagai gagasan politik.
Kekaguman saya, terutama karena beberapa keunggulannya sebagai partai politik/politik modern, seperti: sifat non divisive-nya. Divisif seperti kita ketahui merupakan karakter khas yang mendominasi partai seluruh dunia, yakni “pembedaan”, baik itu partai ideologis yang menyatakan dirinya inklusif maupun tidak. Berbeda dengan sifat inklusif yang pada dasarnya hanya menekankan sikap penerimaan terhadap kelompok lain/perbedaan, sifat non divisif benar-benar mampu melampaui perbedaan agama, ras, etnik, kelas, nasionalisme dan ideologi apapun.
Selain faktor non divisif, partai hijau memiliki keunggulan universality urgency, yakni dimana hari ini, siapapun dan dimanapun, harus mengakui bahwa gerakan hijau (green movement), gaya hidup hijau (green lifestyle), budi hijau (green mind) dan nalar hijau (green reason) telah menjadi international – grand narrative. Bahkan, meningkatnya bencana-malapetaka alam semakin menyadarkan dunia betapa mendesaknya politik hijau.
Tidak hanya itu. Sejak dilahirkan dan diuji-coba di berbagai negara, perkembangan filosofis politik hijau telah memasuki pendewasaan politik, dimana tidak melulu berfokus utama pada “penyelamatan lingkungan”. Terakhir, merujuk pada Global Green Charter, April 2001, lahirlah 6 prinsip politik hijau:
- Ecological wisdom
- Social Justice
- Participatory Democracy
- Non Violence
- Sustainability
- Respect for diversity
Catatan: Demokrasi partisipatoris (dalam bahasa lain disebut pula dengan istilah grassroots democracy, direct democracy) adalah model demokrasi paling mutakhir yang berkembang saat ini, yakni dimana peran publik dalam demokrasi diupayakan lebih luas, dalam, efisien dan aktif. Ini lebih klop dengan masa depan dan kemajuan IT yang kini kita nikmati, dimana nantinya individu atau kelompok-kelompok kecil masyarakat berperan lebih mandiri dan produktif membangun dirinya (serta negara, secara tidak langsung).
Dengan adanya keenam prinsip ini, maka kritik yang mengatakan politik hijau hanyalah single-issue politic, semestinya gugur.
Kritik lain yang tak kalah menantang adalah kesan utopia dan keraguan atas aplikasi politik hijau dalam kehidupan sehari-hari. Kritik ini lagi-lagi tertangkis dengan terus lahir, berkembang serta mulai diadopsinya terapan hijau dalam berbagai bidang oleh pemerintah dari berbagai bangsa. Dalam ekonomi, sekarang muncul “green economy“, “green business” dan “green banking” (istilah lain dari “sustainable banking“). Bahkan, dalam seni terapan, “green design” telah berkembang dan dipraktikan sejak lama.
Lantas, bagaimana peluangnya di Indonesia?
Perkembangan politik Indonesia saat ini, sebenarnya tengah merontokan fatsun politik aliran (political cleavage) di Indonesia yang dirumuskan Clifford Geertz pada 1950-an, yakni terbelah secara sederhana menjadi dua aliran: santri (ke parpol Islam) dan abangan (ke non parpol Islam). Sebaran suara Pemilu 1955 yang menjadi rujukan Geertz itu jelas sudah tidak up to date lagi.
Mengacu pada rekapitulasi suara Pemilu 1999, 2004 dan 2009, Burhanuddin Muhtadi menegaskan kecenderungan itu melalui tulisan yang berjudul “Memudarnya Politik Aliran”. Menurut Burhan – yang saya coba singkatkan disini – penyebab memudarnya politik aliran adalah: (1) Tidak ada lagi parpol yang konsisten terhadap batas ideologisnya, baik itu kubu nasionalis maupun islamis; (2) Semakin rasionalnya pemilih Islam, lebih tertarik isu non agama, seperti ekonomi ketimbang isu-isu simbolis dan (3) terjadinya krisis kepemimpinan di kelompok muslim. Menyoal hal yang sama, Din Syamsuddin malah lebih ketus lagi. Seperti dikutip media online, Din mengatakan, “Saat ini, sudah sangat-sangat cair, jadi sudah tidak ada politik aliran, apalagi yang bersifat ideologis, keagamaan itu sudah tidak ada, karena sama-sama sudah punya ideologi baru, yaitu pragmatisme politik.”
Lebih jauh lagi, Philips J Vermonte, dalam tulisannya berjudul “Politik Aliran”, menilai penyelewengan ideologi parpol atas dasar ambisi meraup suara sebanyak-banyaknya dan yang mengakibatkan tidak berkembangnya kompetisi program antar parpol, disebabkan oleh tidak adanya partai “kiri” (dalam pengertian progresif atau alternatif). Philips percaya pada pentingnya keberadaan keseimbangan aliran politik kiri (alternatif), tengah (moderat) dan kanan (konservatif). Adanya keseimbangan ini membuat parpol dan pemilih memiliki preferensi kebijakan yang konsisten. Sementara. hilangnya elemen “kiri”, membuat penyertaan simbol agama dan primordial menjadi lebih menonjol.
Menambahkan Philips, selain agama dan primordialisme, saya sendiri menilai kecenderungan berpolitik di Indonesia adalah berkembangnya figurisme, yang juga diduga akan berkembang ke arah politik dinasti atau kepentingan politik sesaat. Ini dapat dicermati dengan parpolnya SBY (partai Demokrat), parpolnya Wiranto (partai Hanura), parpolnya Prabowo Subianto (partai Gerindra) dan parpolnya Surya Paloh – Hary Tanoe (partai Nasdem). Sepertinya, ada penyederhanaan fatal oleh politikus kita dalam memahami kebutuhan sosok pemimpin dalam parpol. Penyakit figurisme, parahnya juga menular pada parpol-parpol yang sesungguhnya memiliki ideologi yang jelas, seperti pada kasus PDIP dengan Megawati-nya yang tengah memasuki tahun ke-13 pada 2012 ini.
Sampai disini, jelas bahwa sifat non divisif yang dimiliki partai hijau akan membuatnya mudah diterima masyarakat dan cocok dengan perkembangan preferensi politik pemilih di Indonesia. Juga, sebagai partai politik dengan akar sejarah di Eropa yang dekat dengan kelompok kiri, seharusnya partai hijau menjadi sangat seksi bagi kaum kiri di Indonesia. Partai hijau pun tidak perlu kuatir dengan kemungkinan dominasi seorang atau kelompok figur tertentu. Partai hijau saya ini dibangun bersama oleh kelompok akademisi, profesional, mantan aktivis mahasiswa ‘98 dan aktivis masyarakat (baik yang berasal dari isu lingkungan, HAM sampai dengan anti korupsi) yang sadar akan kebutuhan untuk menyatukan kekuatan figur yang dimilikinya untuk dihimpun bersama sebagai kekuatan alternatif.
Dengan modal otentisitas idealisme yang dimiliki aktor-aktor politiknya, partai hijau dapat merebut simpati kelompok pemilih yang kritis (seperti kelompok Golput yang “sangat pemilih” dan nyaris puritan). Bahkan, jika mereka mampu mengembangkan partai sejalan dengan cita-cita reformasi 1998, terutama melawan korupsi, partai hijau berpeluang besar menjadi “Partai Etik”. Partai Etik, adalah istilah saya untuk menggambarkan partai yang tegas, konsisten dan secara aktif mempromosikan serta melindungi nilai-nilai yang diyakininya. Bagi saya, Partai Etik adalah jawaban atas kejumudan (dan apatisme) publik terhadap perilaku politik atau inkonsistensi parpol saat ini.
Selain berkarakter sebagai partai etik, model politik hijau bukan politik yang mengejar kekuasaan atau yang biasa disebut “politik kekuasaan” melainkan politik yang mendorong pemberdayaan dan pemberi manfaat kepada khalayak, yang kami beri nama: “politik daya-guna”. Jadi tanpa harus menunggu berkuasa, partai hijau harus berdayaguna bagi publik.
Hal lain yang saya anggap potensi partai hijau di Indonesia adalah visinya yang lebih riil, kontekstual dan nyaris genuine. Dengan memperhitungkan kekuatan geopolitik Indonesia, partai hijau hendak membawa bangsa ini menjadi “pahlawan bumi”. Jikalau mau, sebagai suatu glorifikasi, bahkan partai hijau ingin menjadikan bangsa ini memimpin dunia dalam upaya menunda kiamat ekologis. Dalam pandangan partai hijau, Indonesia punya peluang untuk mengisi peran tersebut. Karena, seperti diketahui bersama dan diakui dunia, bahwa hutan Indonesia dan hutan Amazon adalah dua donatur terbesar oksigen dunia, yang biasa disebut sebagai “Paru-Paru Dunia”. Dengan kecepatan kerusakan hutan kita, partai hijau di Indonesia justru lebih kontekstual dan mendesak ketimbang di negara lain.
Melalui “pahlawan bumi”, partai hijau ingin menggenapi visi-visi parpol yang telah ada, seperti “mandiri” (setelah mandiri, lalu apa?), “sejahtera” (untuk apa kesejahteraan itu kemudian?) atau “sejajar dengan bangsa-bangsa besar” (Yang mana? Rusia? Jepang? AS? Inggris?). Misalnya kepada kelompok Islam, pendekatan “pahlawan bumi” seharusnya dapat menggiring energi “syariah Islam” yang selama ini dominan bergeser ke energi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Terhadap pandangan yang menganggap partai hijau kehilangan momentum pemilu 2014, saya justeru mensyukuri kondisi ini. Pertama, momentum ini dapat meredam aktivis “haus kekuasaan” atau “kebelet berkuasa” menggunakan partai hijau sebagai papan selancar, sebaliknya memudahkan konsentrasi partai hijau membangun dirinya sebagai “partai etik”. Kedua, momentum ini dapat digunakan untuk mendewasakan kader partai hijau atau memaksa partai untuk menjadi “satelit”, yakni mempengaruhi pasang-surut situasi politik dengan mempromosikan figur-figur publik yang bersih dan kompeten (baik kader partai, bukan kader partai maupun profesional) melalui kontrak politik yang riil-mengikat.
Mengenai keuangan partai, selain bentuk pengelolaan yang konvensional, partai hijau yang saya idamkan ini harus hadir dengan model keuangan alternatif – yang otentik, kreatif dan rasional. Kebetulan, saya dan beberapa teman, saat ini sedang merumuskan model alternatif tersebut. Insya Alloh, dalam waktu dekat bisa dipresentasikan.
Jika kamu jeli, sebenarnya tidak perlu heran dengan pilihan saya ini, sebab sejak Facebook menawarkan pilihan mengisi political views, saya langsung mengisinya dengan “green”, hijau.
Pernah seorang teman bertanya, “Kenapa lo tulis ‘Green’ di Facebook lo?” Belum sempat saya menjawab, teman yang lain, langsung menyergah, “Soalnya, John-John kan masih hijau dalam politik, taunya cuma etik dan dunia LSM doang!” Kita semua, termasuk saya, tertawa mendengar ledekan itu.
Ledekan itu ada benarnya. “Hijau” yang disampaikan teman saya itu, memiliki banyak konotasi. Salah satunya adalah berarti “belum dewasa” atau “belum jadi”, “polos” atau malah “bloon”. Dunia aktivisme yang saya lakonin di jaman reformasi 1998, kemudian lembaga swadaya masyarakat dan profesional arsitek tentu sangat berbeda dengan politik partai. Banyak orang bilang, dunia saya itu terlalu polos (baca: puritan) dan tidak cocok dengan dunia partai politik saat ini. Justeru itulah yang menantang saya: membangun partai politik yang berbeda – partai alternatif.
Tetapi modal puritanisme dan cita-cita mendirikan partai alternatif, bukan satu-satunya alasan yang membawa saya pada pilihan ber-Partai Hijau. Setidaknya ada beberapa alasan lagi, yakni:
Pertama, secara pribadi, saya mulai menyadari kebutuhan akan “identitas politik”, terutama supaya tidak menghindar atau sekadar memberi jawaban diplomatis kepada anak saya seperti: “Ayah ini independen, Nak” atau “Ya, Islam-lah, cuma memang kurang cocok saja dengan parpol Islam yang ada”, saat nanti dia bertanya: “Aliran politik Ayah apa sih?”
Kedua, selain identitas politik, saya pun mulai menyadari kebutuhan untuk menggenapi “ikhtiar perjuangan” saya, terutama untuk menjawab, “Ya, itupun telah/pernah kulakukan/ikhtiarkan”, jika suatu saat anak saya bertanya: “Mengapa ayah tidak masuk/membentuk saja partai politik yang ayah idamkan” atau kalau-kalau dia bertanya, “Ayah sudah mencobanya lewat partai politik belum?”
Ketiga, sebenarnya, tanpa kedua hal itupun, buat saya yang dibesarkan dalam “keluarga politik”, berparpol atau masuk dalam politik praktis sudah seperti tuntutan (atau setidaknya kerap dipertanyakan). Sebagai cucu H. Muhammad Saleh Suaidy – pendiri Partai Masyumi, guru Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Bangkalan, perintis kemerdekaan dan pendiri Departemen Agama serta anak H. Achmad Sjukry Suaidy – angkatan ’66, eks GMNI Osa-Usep, eks PDI dan eks ICMI, selalu saja ada pertanyaan setengah menyindir, “Kapan nih masuk partai politik?” atau permintaan setengah memerintah, “Mestinya, orang-orang seperti kamu dan teman-teman kamu nih yang mengisi pemerintahan.”
Keempat, meski keluarga besar Suaidy, memiliki kelenturan berpolitik yang diibaratkan kakek saya sebagai “ikan di laut” – yang maknanya berarti walau di laut, dagingnya tidak serta merta terasa asin, saya merasa tiap jaman memiliki tantangannya sendiri. Selain karena gentar melawan arus pragmatisme di internal parpol yang ada saat ini, saya melihat masyarakat kita masih suka salah paham dengan aktivis parpol. Yaitu, orang selalu menyamaratakan bahwa masuk parpol ya berarti mengejar kekuasaan. Hanya sedikit yang percaya, bahwa keputusan masuk parpol bisa datang dari motivasi yang mulia, yakni mengabdi pada perjuangan yang diyakininya. Jadi saya telah berhitung bahwa terlalu berat untuk memperjuangkan politik hijau pada partai politik yang ada. Politik hijau ya hanya cocok dibawakan oleh partai hijau, bukan yang lain. Nah, ketika datang kabar dari Berry N. Furqon (mantan Direktur Ekskutif Walhi) mengenai rencana pendirian partai hijau, sudah tentu saya menyambut gembira.
Kelima, ini jawaban tegas atas tanggung jawab yang baru saya sadari baru-baru ini, yakni menyalurkan hasrat politik adik dan kawan di Universitas Trisakti, yang pernah bertanya, ”Habis ini, kita ngapain, Bang?” atau sekadar berkonsultasi, “Aku sebaiknya masuk mana, Bang? Dulu, biasanya saya menjawab normatif saja. Namun, setelah mereka berpartai, kadang saya meringis-menyesal, karena tingkah laku mereka berubah layaknya politisi busuk pada umumnya. Seolah-olah mudah saja menghilangkan etik perjuangan yang disepakati bersama dulu.
Sesungguhnya, mendirikan dan membesarkan partai hijau yang saya idam-idamkan ini juga tidak lebih mudah daripada apa yang saya utarakan ini. Bukan tidak mungkin, kerena ketidaksabarannya, partai hijau akan terjerembab, mengulangi kesalahan partai-partai sebelumnya, yang awalnya pasti didirikan dengan niat yang mulia.
Bahkan saya menaruh hormat setinggi-tingginya kepada beberapa aktivis partai politik yang tengah bergelut melawan pragmatisme politik didalam partainya. Justeru kepada mereka, saya – bahkan partai hijau ini – ingin berguru agar tidak menjadi partai gagal. Tentu saja, ada harapan luar biasa agar mereka membantu partai hijau ini menjadi besar, apalagi bergabung bersama.
Sobat,
Jika kamu menganggap dirimu jujur dan amanah serta merasa cukup dengan penjelasan partai hijau yang saya uraikan tersebut dapat berdiri tegak dengan sendirinya, maka kamu salah besar. Kita harus realistis: selalu saja ada tikus dalam perjuangan. Karena kamu jujur dan amanah, partai hijau ini benar-benar sangat membutuhkanmu.
Sekali lagi, kepada kamu yang jujur dan amanah, tulisan ini saya sampaikan dengan harapan, kalaupun kamu belum mau bergabung dengan partai hijau, bantulah agar partai hijau ini tidak jatuh pada tangan yang salah. Karena apapun bantuanmu, niscaya akan menentukan masa depan alam yang kelak akan dihidupi anak-anak kita.
Wallahualam bi shawab.
# Penulis adalah aktivis lingkungan yang juga turut menjadi salah satu deklarator Partai Hijau