BADUNG, BERITALINGKUNGAN.COM — Bendesa Desa Adat Kedonganan Ngardi Resik (KNR) I Wayan Mertha menjelaskan bahwa wilayah adat Kedonganan Ngardi Resik yang berada di Kecamatan Kuta Selatan memiliki luas 1.92 Km2, dengan jumlah penduduk 7500 jiwa.
Dengan wilayah seluas itu, Wayan Mertha mengusulkan adanya tempat Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) yang juga merupakan salah satu implementasi dari peraturan Gubernur Bali nomor 47 tahun 2019, tentang pengelolaan sampah berbasis sumber.
Ide TPS3R Kedonganan Ngardi Resik (KNR) telah dimulai sejak tahun 2018. Saat itu, Wayan Mertha telah menyadari bahwa suatu saat sampah yang dihasilkan oleh masyarakat harus mampu diselesaikan oleh masyarakatnya itu sendiri.
“Kita tidak bisa menggantungkan penyelesaian sampah kita kepada orang lain, kepada pemerintah, tetapi kitalah yang harus menyelesaikannya,” ungkapnya saat menerima rombongan C20 pada Rabu (5/10).
Selain itu, Wayan Mertha berharap mampu menghasilkan energi yang berasal dari sampah, sehingga bisa digunakan oleh masyarakat. “Misalnya kita kelola energi itu, kembali menjadi energi baru yang bisa dimanfaatkan kembali. Jadi itu filosofi dari tempat ini,” ujarnya.
TPS3R Kedonganan Ngardi Resik (KNR) berdiri di atas lahan seluas 24 are, milik Desa Adat Kedonganan untuk menampung sampah dari 1300 Kepala Keluarga. Pemberian lahan adat untuk dijadikan TPS3R tidaklah mudah. Wayan Mertha harus menjelaskan berulang kali kepada warga tentang pentingnya TPS3R.
“Kami harus berbicara kepada seluruh warga untuk bisa melepaskan lahan ini untuk kami gunakan mengolah sampah yang pada mindset awalnya bahwa sampah adalah kotor, bau, sehingga untuk meyakinkan masyarakat pada awalnya sangat sulit,” terang Wayan Mertha yang juga dosen di Politeknik Pariwisata Bali.
Sebelumnya berkembang pemikiran di masyarakat, ketika tanah adat dilepas untuk dijadikan TPS3R, maka lingkungan mereka akan menghasilkan bau, kotor, hingga munculnya penyakit. Itu sebabnya penolakan sempat terjadi di awal-awal pendirian TPS3R.
“Disitulah saya bersama teman-teman meyakinkan masyarakat bahwa salah satu janji kami adalah tempat ini tidak boleh berbau busuk,” tegasnya.
Dia menambahkan, “Jika dibandingkan dengan TPA di Suwung, itu luar biasa. Kami tidak seperti itu.”
Setelah mendapatkan izin penggunaan lahan adat, pekerjaan selanjutnya adalah mengetuk hati para donatur, karena operasional TPS3R membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal itu terpaksa dilakukan karena kebijakan penggunaan dana adat tidak diperuntukkan untuk kegiatan persampahan.
“Untuk membiayai tempat ini, tentu kami di Desa Adat tidak bisa, bukan karena tidak ada uang, tetapi tidak boleh. Desa Adat punya fungsi yang sangat jelas, yaitu terkait dengan kegiatan adat, budaya, agama dan tradisi. Itu adalah fokus pembiayaan dari Desa Adat,” papar Wayan Mertha.
Hal ini ada kaitannya dengan upaya penyadaran kepada masyarakat adat Kedonganan Ngardi Resik (KNR) yang jumlahnya 7500 jiwa. Lagi-lagi, ini bukan perkara mudah. Dibutuhkan komitmen dan keseriusan, termasuk alokasi waktu.
“Jadi kami harus bilang, kami harus sampaikan tujuannya. Dan mampu meyakinkan mereka bahwa apa yang akan kita buat ini bisa berjalan dan bisa mencapai tujuan yang kita inginkan,” jelasnya.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, Wayan Mertha dan tim mendatangi pemerintah setempat. Disana mereka diberi bantuan dana senilai Rp600 juta yang kemudian digunakan untuk membeli sejumlah peralatan dan mendirikan bangunan.
“PUPR Sanur memberikan bantuan bangunan ini senilai Rp600 juta dan membeli sejumlah peralatan yang dibutuhkan untuk mengelola sampah yang dihasilkan oleh masyarakat,” ujar Wayan Mertha.
Reward and Punishment
Wayan Mertha menjelaskan bahwa ada dua hal yang harus mereka lakukan agar TPS3R Kedonganan Ngardi Resik (KNR) bisa beroperasi dengan baik. Pertama terkait dengan sosialisasi yang terus menerus. Hal itu sulit, karena di benak masyarakat selama berpuluh-puluh tahun persoalan sampah cukup dengan membuangnya ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Kebanyakan sampah yang dihasilkan tidak dipilah.
“Dari rumah mereka menghasilkan sampah yang sudah dicampur, dijadikan satu masuk plastik. Kemudian ditaroh di jalan atau di lokasi-lokasi tertentu (TPS). Dan selesai buat mereka,” paparnya.
Yang dilakukan kemudian adalah mengubah paradigma masyarakat. Mereka harus memilah sendiri sampahnya sejak dari rumah, menjadi sampah organik dan anorganik. Semua upaya dilakukan, termasuk menggunakan media sosial milik masyarakat adat.
“Dengan menggunakan sosial media dan organisasi sosial yang kita punya di desa adat terpaksa digunakan. Saya harus berkoar-koar, saya harus berbicara untuk meyakinkan masyarakat bahwa untuk bisa menyelesaikan sampah seperti yang diharapkan, itu harus dipilah dari sumber. Harus dipilah dari rumah,” jelasnya.
“Sosialisasi ini awalnya bukan main. Jadi bayangkan apa yang mereka katakan, bahwa kami sudah harus memilah dan kami membayar pula.”
Benar saja, sebelumnya warga cuma perlu membayar sejumlah uang, maka sampahnya akan lenyap. Sementara saat ini, mereka dipaksa untuk memilah sampah, sebuah kemauan ekstra yang tidak mudah.
“Kalau dulu kami tidak pernah lakukan itu. Kami jadikan satu, kami buang saja. Walaupun kami bayar tetapi kami tidak repot dan lebih mahal lagi dari yang dulu kami bayar,” ungkap Wayan Mertha.
Beruntung, berkat kerja keras dan tim yang solid, TPS3R Kedonganan Ngardi Resik (KNR) berhasil menyadarkan warga bahwa upaya yang dilakukan berdampak baik terhadap lingkungan dan juga Bumi.
“Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan, kemudian sekarang tinggal 60% sampah itu sudah dipilah di rumah tangga,” ujarnya bersemangat.
Hal kedua terkait dengan Reward and Punishment atau penghargaan dan hukuman. Menurut Wayan Mertha, warga yang kedapatan melanggar aturan, seperti tidak tidak mau memilah sampah akan mendapatkan ganjaran sanksi adat.
“Kami harus membuat aturan yang kami sebut Awik-awik atau Perarem. Kami desa adat punya kewenangan membuat aturan untuk memberikan reward maupun hukuman bagi komunitas yang melakukan dengan baik pemilahan maupun yang tidak melakukan pemilahan dengan baik,” ujarnya.
Ketika sanksi yang diberikan adalah sanksi adat, mayoritas penduduk menaatinya. Mereka lebih takut dengan sanksi adat ketimbang sanksi administratif yang dibuat pemerintah.
“Untuk hukuman jika ada masyarakat yang melanggar awik-awik, maka mereka harus membayar sejumlah tertentu,” ungkap Wayan Mertha.
Dia mencontohkan, ketika ada masyarakat yang sengaja membuang sampah di jalan, karena sudah dibuat awik-awiknya maka petugas keamanan (pecalang) dan jagabaya akan melakukan kontrol selama 24 jam.
“Begitu mereka tertangkap, mereka harus membayar biaya denda yang menurut ketentuan sebesar Rp5 juta, tapi di kami hanya Rp500 ribu yang harus dibayar kepada desa,” katanya.
Selain itu, mereka juga harus membersihkan desa. Pelanggar aturan harus menyapu jalan desa disaksikan oleh begitu banyak mata. “Sehingga barangkali mereka malu untuk itu. Selain itu, fotonya di upload ke media sosial,” ujar Wayan Mertha.
Wayan menambahkan, “Kami sampaikan bahwa ini adalah pelanggar aturan yang membuang sampah di lokasi yang tidak semestinya, sehingga mereka wajar ditangkap.”
Sejak aturan tersebut diterapkan, ternyata tidak ada satu pun warga yang menolak atau protes. “Syukurnya, tidak ada satu pun yang komplain dari mereka yang tertangkap karena kami sudah punya aturan itu. Kami sudah buat, apa yang boleh dan tidak boleh,” terang Wayan Mertha.
Sedangkan untuk hadiah (reward), nantinya didasarkan atas sampah yang berhasil dikumpulkan warga. Mereka yang memilah sampah terbanyak akan diberikan hadiah berupa trip wisata religi ke pura-pura tertentu yang belum pernah dikunjungi warga.
Adapun jumlah sampah yang dikumpulkan akan diinput menggunakan aplikasi tertentu. Saat ini, pembuatan aplikasi sedang dalam proses pengembangan bersama Pertamina.
“Jadi kami sedang membuat aplikasi digital untuk setiap hari petugas kami harus merecord, siapa yang mampu memilah sampahnya dengan baik. Disitu akan tertulis baik. Kemudian yang jelek akan ditulis jelek, sedangkan yang sedang akan ditulis sedang,” jelas Wayan Mertha.
Lebih jauh Wayan menjelaskan bahwa reward yang diterima tidak dalam bentuk uang tunai, namun berupa perjalanan religi dan fieldtrip ke lokasi pengolahan sampah di Bali yang ternyata sangat digemari warga.
“Mereka kami ajak untuk ikut Metirta Yatre, sembayang di Pura yang barangkali belum pernah mereka lakukan. Dan kami ajak mereka ke tempat di Bali dimana limbah atau sampah telah dikelola dengan baik. Jadi itu adalah bentuk rewardnya,” ujarnya.
Khusus terkait pemenang akan diumumkan pada periode waktu tertentu. Sehingga setiap orang bisa menyocokkan dengan data yang dimiliki. Semua data dikumpulkan dengan transparan dan terbuka.
“Berhubung program ini baru diperkenalkan dan belum lama, maka dari sisi perencanaan baru awal 2023 bisa diberikan untuk reward, tapi yang punishment sudah dilakukan,” ungkapnya.
Sementara terkait dengan hukuman berupa denda sebesar Rp500 ribu, menurut Wayan Mertha, komposisinya dibagi dua. Sebanyak 60% diberikan kepada petugas yang terlibat di TPS3R dan 40%-nya masuk ke kas TPS3R KNR sebagai dana operasional.
“Jadi seperti itu, dana yang kita dapatkan dari mereka yang melanggar,” ujarnya.
Kerjasama dengan Banyak Pihak
Tak jauh dari TPS3R KNR berdiri sebuah lapangan sepak bola yang kerap digunakan oleh warga sekitar maupun pendatang untuk berlatih. Menurut Wayan Mertha, kehadiran lapangan sepak bola menjadi saksi penting bahwa pengelolaan sampah di TPS3R KNR berjalan dengan baik.
“Jika disini bau, bagaimana anak-anak kami bisa berolah raga. Inilah yang kami jamin dan kami sampaikan, bahwa tempat ini tidak boleh kotor dan tidak boleh berbau,” ungkapnya.
Untuk itu, setiap sampah yang datang dipisah menjadi dua. Sampah organik ditempatkan di sebelah kanan dan sampah an-organik di sebelah kiri. Sampah anorganik, akan diangkut setiap 2-3 hari sekali, yang langsung dibawa menuju TPS3R.
“Setelah tiba di TPS3R, proses berikutnya dilakukan pengolahan. Untuk sampah organik, akan dicacah dan akan dijadikan pupuk,” ujarnya
Namun karena mesin memiliki kapasitas yang terbatas, pengolahannya kurang baik dan masih berbentuk kasar. Akibatnya kualitas pupuk organik yang dihasilkan kurang baik. “Disebabkan karena sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh masyarakat bersumber dari sampah upacara keagamaan yang notabene bahan bakunya lebih banyak dari daun kelapa dan secara kualitas untuk organik kurang bagus,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal itu, pihak TPS3R KNR bekerjasama dengan Universitas Udayana. Harapannya dengan perlakuan dan rekayasa tertentu mampu meningkatkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan. “Untuk itu sedang dilakukan uji laboratorium dan ternyata ini harus dilakukan,” katanya.
Di sisi lain, terbatasnya peralatan menjadikan upaya pengolahan sampah organik menjadi terganggu. Pasalnya, peralatan yang dimiliki saat ini hanya untuk 300 pelanggan.
“Tetapi sekarang pelanggan kami sudah 1069 pelanggan. Sehingga jumlahnya 4 kali dari kapasitas. Akibatnya kami tidak bisa mengolah seluruhnya,” ujar Wayan Mertha.
Dia menambahkan, “Tadi kelihatan ada mobil yang masih penuh sampah. Itu karena kami belum bisa mengolahnya.”
Lebih lanjut, Mertha menyampaikan pengelolaan sampah ini akan terus dikembangkan. Caranya melalui kerja sama dengan DLHK, Pertamina termasuk peneliti, agar pembuatan pupuk organik bisa sesuai yang diharapkan
“Pupuk ini nantinya akan mampu membantu ekonomi masyarakat, tapi saat ini kami masih mengolah dengan baik sehingga perlu kerjasama dengan pihak yang ahli di bidangnya,” jelas Mertha.
Sementara, untuk sampah anorganik, akan kembali dipilah, yang nantinya akan dijual kembali. Sedangkan, sampah residunya akan ditangani pihak DLHK Pemkab Badung, yang setiap hari mengirimkan kendaraan ke TPS3R tersebut untuk mengangkut sisa residu. (Jekson Simanjuntak)