BANGKA BELITUNG, BERITALINGKUNGAN.COM — Ratusan nelayan Matras hingga Pesaren, di Kecamatan Riau Silip dan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung menduduki Kapal Isap Produksi (KIP) Citra Bangka Lestari di Perairan Bedukang, sejak Senin (12/07) siang. Mereka menuntut pencabutan izin seluruh KIP yang beroperasi di perairan Matras, Bedukang dan Tuing.
Aksi ratusan nelayan itu mewakili 2.000 nelayan setempat yang wilayah tangkapnya hancur akibat aktivitas tambang PT Timah. Nelayan yang telah berjuang sejak tahun 2015 itu meminta pemerintah membebaskan wilayah tangkap dan ruang hidup nelayan dari operasi tambang.
Ketua Nelayan Tradisional Peduli Lingkungan (NTPL) Matras – Pesaren Suhardi mengatakan Gubernur Bangka Belitung sempat mengundang perwakilan nelayan, setelah mereka melakukan aksi penolakan terhadap PT Timah pada 5 April 2021. Setelah itu, digelar rapat koordinasi antara gubernur dan seluruh Forkopimda Babel pada 15 April 2021.
Sayang, tidak ada kesepakatan dalam rapat koordinasi itu. Sementara itu, Kapal Isap Produksi Citra Bangka Lestari milik PT Timah tetap beroperasi di Laut Matras. Gubernur, Direktur Operasi PT Timah Tbk, dan Kapolda Babel dianggap tidak memberikan solusi.
“Mereka bersembunyi di balik UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang menurut nelayan justru tak berpihak kepada mereka, sebaliknya menindas hak mereka yang menginginkan laut bebas aktivitas tambang,” terang Suhardi.
Pada 8 Juni 2021, PT Timah mengundang warga nelayan Air Hantu Desa Deniang untuk menghadiri sosialisasi Paparan Rencana Operasional Penambangan Laut yang akan dilaksanakan di Laut Bedukang dan Laut Tuing. Sosialisasi tidak terlaksana, lantaran puluhan nelayan malah menggelar protes di hadapan Kepala Unit Penambangan Laut Bangka (UPLB) PT Timah Tbk.
Nelayan mempertanyakan mengapa tambang terus dipaksakan, sementara korporasi tidak memberikan solusi bagi nelayan. Mereka menolak seluruh rencana tersebut.
“Perdebatan menjadi alot dan tensi tinggi, karena PT Timah mengundang LSM HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Cabang Bangka. Organisasi LSM yang dinilai tidak mewakili nelayan terdampak,” katanya.
Sepengetahuan Suhardi, justru LSM tersebut mendukung kegiatan penambangan yang telah merusak ekosistem perairan. Tak hanya itu, PT Timah juga mengundang panitia KIP yang selama ini menjadi aktor perpecahan di tengah masyarakat.
Pada 8 Juli 2021, PT Timah secara sepihak mengirim surat pemberitahuan kegiatan operasional penambangan laut yang akan dilakukan di Laut Bedukang dan Laut Tuing. Sontak warga dan nelayan menolak keras rencana tersebut.
“Bahkan warga dan nelayan beramai-ramai memblokade rumah oknum panitia yang menjadi biang kekacauan karena diduga menyetujui penambangan, padahal seluruh warga dan nelayan menolak rencana tersebut,” kata Suhardi.
Ketua Forum Nelayan Tuing Heri Susanto mengamini aksi nelayan yang memblokade jalan masuk ke Tambat Labuh Nelayan Air Hantu. Mereka menghalangi aparat keamanan agar aksi protes nelayan pada 11 Juli itu berjalan lancar.
Pada 12 Juli hingga 13 Juli 2021, Heri menegaskan, nelayan bersama warga Matras hingga Pesaren tetap melakukan aksi blokade laut, menduduki kapal isap produksi PT Timah sampai tuntutan mereka dikabulkan.
Pada pukul 11.38 WIB, Kapolres Bangka, Dandim 0413 Bangka, Bakamla Bangka, melakukan pertemuan dengan nelayan. Tawaran agar mereka keluar dari kapal isap produksi ditolak nelayan.
“Setidaknya hingga ada keputusan yang jelas untuk menghentikan seluruh aktivitas dan mencabut izin tambang dari ruang tangkap nelayan,” tegas Heri.
Selain itu, menurut Heri, nelayan mendesak agar revisi Perda RZWP-3-K Babel segera dilaksanakan, termasuk penghapusan zona tambang dari perairan Matras sampai Pesaren
“Terakhir, kami menuntut Menteri ESDM mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) di perairan Matras sampai Pesaren,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)