Taman Surga! Itulah julukan yang diberikan wisatawan asing yang pernah berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Julukan ini tidak berlebihan, karena taman nasional ini memiliki kekayaan fauna dan flora yang langka, salah satunya adalah orangutan, yang menjadikannya salah satu keajaiban alam yang ada di bumi.
Awalnya TNTP didirikan sebagai suaka margasatwa pada tahun 1935, kemudian diresmikan sebagai taman nasional sejak 1982. Taman nasional ini berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Tinggal atau sekedar berkunjung ke Kalimantan, tidak akan lengkap bila belum menghirup udara taman surga ini. Hampir setahun lebih, impian menghirup udara TNTP harus dipendam. Kesempatan mengunjungi taman nasional ini datang mendadak. Seorang kawan yang baru saya kenal 4 bulan lalu, mendadak mengajak saya ke TNTP. Saya harus mengambil keputusan dalam satu hari, berangkat atau tidak?
Setelah mendapat izin dari kantor, akhirnya saya memutuskan berangkat. Perjalanan dimulai dari kota cantik Palangka Raya, Jumat (25/2) sore, dengan menggunakan angkutan bus malam. Rasa was-was sempat menghampiri, karena tiket bus belum dipesan. Sementara, pukul 16.00 WIB adalah jadwal keberangatan bus trayek Palangka Raya-Pangkalan Bun. Karena serba mendadak, dua dari tiga perusahaan oto bus yang melayani trayek ini, sudah penuh. Harapan satu-satunya adalah bus yang ketiga. Tidak sia-sia, dengan gerak cepat, bus ketiga belum penuh, dan saya mendapatkan tiket menjelang keberangkatan bus. Rasa was-was pun hilang seketika.
Matahari mulai menghilang dibalik cakrawala, saat bus mulai bergerak meninggalkan kota cantik, julukan Kota Palangka Raya menuju Sampit, Kabupaten Kotawringin Timur. Perjalanan cukup nyaman dan lancar karena ruas jalan cukup mulus. Setelah hampir lima jam perjalanan, bus tiba di Sampit. Bus berhenti sesaat untuk menurunkan peumpang. Kemudian bus kembali bergerak meninggalkan Sampit menuju Pangkalan Bun, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul 23:30 WIB.
Perjalanan kali ini terasa lebih berat, karena ruas jalan antara Sampit dan Pangkalan Bun tidak mulus, banyak bagian jalan yang aspalnya hancur akibat sering dilintasi truk pengangkut sawit yang over tonase. Inilah yang membuat perjalanan terasa sangat lambat, apalagi mata tidak bisa diajak terlelap. Akhirnya bus tiba di Pangkalan Bun tepat pukul 05:30 WIB.
Perjalanan menggunakan angkutan bus di Bumi Tambun Bungai sangat berbeda dengan di Pulau Jawa dan Sumatera. Di sini, pengemudi bus memacu kendaraannya dengan kecepatan rendah. Sementara di Pulau Jawa dan Sumatera, pengemudi memacu bus dengan kecepatan penuh dan terkesan ugal-ugalan.
Menyusuri Sungai Sekonyer
Udara pagi masih terasa dingin saat saya tiba di Pelabuhan Kumai. Di pelabuhan ini saya langsung bergabung dengan rombongan peserta International Youth Forum on Climat Change (IYFCC) yang berasal dari beberapa negara dan sejumlah anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia dari sejumlah daerah.
Rombongan lain yang ikut dalam perjalanan kali ini adalah staf dari Dinas Kebudayaan dan Parawisata (Disbudpar), Humas Kabupaten Kotawaringin Barat, sejumlah pelajar SMA dan empat rekan jurnalis.
Rombongan dibagi menjadi empat grup. Saya bergabung bersama rombongan staf Disbudpar dan rekan jurnalis. Setiap grup diisi sekitar 10 orang yang menempati satu perahu klotok wisata yang memiliki dua dek.
Sekitar pukul 08:00 WIB iring-iringan perahu klotok mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan TNTP di teluk Kumai menuju Sungai Sekonyer yang merupakan pintu gerbang masuk Taman Nasional Tanjung Puting.
Setelah 20 menit pelayaran, kapal mulai belok kiri memasuki Sungai Sekonyer. Tumbuhan nipah menjadi pemandangan di kiri kanan sungai, sesekali terlihat nelayan memancing dari perahu klotok kecil. Air sungai ini terlihat coklat seperti kopi susu, Menurut staf Disbudpar, air sungai ini sudah tercemar akibat penambangan emas di sekitar taman nasional yang hingga kini masih terus berlangsung.
Tanpa terasa, setelah dua jam pelayaran, rombongan tiba di Camp Tanjung Harapan, wilayah konservasi Taman Nasional Tanjung Putting. Di camp ini para peserta IYFCC melakukan penanaman berbagai jenis bibit pohon, seperti pohon ulin, gaharu dan lain-lain. Di camp ini juga terdapat budidaya anggrek dan tanaman obat khas Kalimantan.
Camp Leakey yang Mendunia
Akhirnya sekitar pukul 16.00 WIB, impian menghirup udara taman surga yang sesungguhnya menjadi kenyataan, saat perahu klotok yang membawa kami sandar di dermaga kayu di Camp Leakey. Kami pun mulai berjalan di atas jembatan kayu ulin sepanjang sekitar 250 meter dan lebar satu meter menuju pusat Camp Leakey.
Camp ini didirikan pada tahun 1971 oleh Dr Birute Galdikas, seorang ilmuwan berkebangsaan Kanada. Hingga kini, camp ini menjadi tempat bagi para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan observasi tentang orangutan.
Melalui jalan setapak rombonga langsung menuju tempat pemberian makan orangutan atau disebut feeding yang berjarak sekitar 2 km dari dermaga.
Karena jadwal feeding telah lewat, yaitu jam tiga sore, akhirnya kami hanya melihat sekitar lima ekor orang utan. Namun kami tetap bersyukur karena ada dua ekor orangutan sedang bermain bersama bayinya di pepohonan.
Rombongan terlihat sangat menikmati tingkah laku bayi orangutan yang lucu dan menggemaskan. Ingin rasanya lebih lama di tempat ini, tapi gerimis sudah mulai turun dan kami pun meninggalkan lokasi feeding menuju dermaga.
Keberuntungan menghampiri kami saat tiba di dermaga. Kami melihat Tom, seekor orangutan jantan yang menjadi penguasa di camp ini, sedang tertidur pulas di atas dahan pohon ditemani seekor orangutan betina. Berkali-kali kami mencoba memanggilnya untuk melihat secara jelas wajahnya. Namun, Tom tetap terlihat tertidur pulas, hanya bulu-bulu berwana kekuningan yang membungkus tubuhnya jelas terlihat.
Mungkin Tom mendengar panggilan kami, tapi dia tidak mau menjawab. Mungkin itu cara dia meminta agar suatu saat kami kembali mengunjunginya. Semoga! Selamat tinggal, Tom!