YOGYAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Di bawah langit pagi yang teduh usai diguyur hujan, deretan langkah kaki kecil berpadu dengan cakar-cakar bersahabat menyusuri jalanan sempit dan bersejarah di kawasan Sayidan, Yogyakarta.
Ada yang mengenakan baju bergambar idol K-pop favoritnya, ada pula yang menuntun anjing dengan harness berwarna cerah. Tapi semuanya hadir untuk satu suara: anjing bukan makanan.
Setelah 13 tahun berlalu sejak gelaran pertamanya, Bark In The Park kembali hadir pada 18 Mei 2025, kali ini membawa semangat baru dan gema yang lebih luas. Dikenal sebagai kota budaya dan kreativitas,
Yogyakarta kini menjadi medan gerakan moral untuk menegakkan hak-hak hewan melalui Bark In The Park II: Suara dari Sayidan, sebuah acara kolaboratif yang menyatukan aktivis hewan, komunitas K-pop, dan warga biasa dalam satu barisan kasih sayang dan kesadaran.
Diselenggarakan oleh Animal Friends Jogja (AFJ) bersama Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan komunitas pecinta Korea, acara ini bukan sekadar kampanye, tetapi juga perayaan kehidupan bagi anjing-anjing yang selama ini tak bersuara.
Di Antara Jejak Sayidan dan Gema Lagu Korea
Sayidan, yang dulu dikenal sebagai kampung seniman dan titik temu para pejalan, kini menjadi latar penuh makna dalam Dog Walking Tour Sayidan — sesi jalan pagi yang membawa manusia dan anjing menyusuri lorong-lorong nostalgia, sambil menanamkan pesan bahwa setiap makhluk hidup layak dihormati.
Di salah satu sudut kafe Milli by Sayidan, tawa dan nyanyian bergema dari Noraebang: K-pop Section of Hope. Karaoke amal ini mengajak para fans K-pop tidak hanya bernyanyi, tetapi juga berdonasi untuk hewan-hewan terlantar. Di sini, cinta pada hewan dan budaya pop saling bertaut, membuktikan bahwa advokasi bisa dilakukan dengan cara yang inklusif dan menyenangkan.
“Ini adalah bentuk edukasi alternatif yang kami rancang agar lebih akrab dengan generasi muda,” jelas Thania Putri, Manajer Adopsi AFJ kepada Beritalingkungan.com (19/05/2025). “Anjing adalah kawan. Mereka bukan komoditas, bukan objek konsumsi.”
Realitas Kelam di Balik Wajah Ceria
Namun di balik atmosfer ceria ini, terdapat kenyataan yang menggugah. DIY tercatat sebagai provinsi dengan tingkat konsumsi daging anjing tertinggi ketiga di Pulau Jawa. Praktik kejam ini masih terjadi diam-diam, meski Surat Edaran Gubernur No. 510/13896/2023 telah menyerukan pengendalian perdagangannya.
“Surat Edaran saja tidak cukup,” tegas Elsa Lailatul Marfu’ah, Koordinator Edukasi DMFI. “Kami baru saja mengikuti public hearing dengan DPRD DIY untuk mendorong penguatan perlindungan dalam Raperda tentang Keamanan dan Mutu Pangan Asal Hewan. Ini momen penting. Yogyakarta harus menjadi contoh daerah yang berbudaya, termasuk dalam memperlakukan hewan.”
Kolaborasi Adalah Kunci Perubahan
Dalam acara ini, Juseyo, komunitas penyelenggara event bertema Korea, ikut bergabung. “Sejak awal kami memang ingin menyelenggarakan event amal,” kata Andining Putri Candraningtyas dari Juseyo. “Ketika bertemu dengan AFJ, kami merasa ini bukan hanya tepat, tapi juga perlu. Ini kampanye yang menyuarakan nilai-nilai universal: cinta, empati, dan keberlanjutan.”
Di ujung acara, seorang remaja duduk di trotoar dengan seekor anjing betina kecil di pangkuannya. Dia tak berbicara banyak, hanya tersenyum. Tapi lewat kehadirannya, dia telah menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar — gerakan yang percaya bahwa dunia bisa berubah bukan dari kekuasaan, melainkan dari kepedulian.
Bark In The Park II adalah bukti bahwa advokasi tak harus selalu lantang. Kadang, cukup dengan langkah kaki pelan, lagu yang dinyanyikan bersama, atau genggaman tangan pada makhluk yang selama ini tak bisa membela diri.
Anjing-anjing itu akhirnya punya suara. Dan suara itu bergema dari Sayidan, menembus batas komunitas, usia, dan budaya (Wan).