Meski diimingi uang milyaran rupiah oleh sebuah perusahaan tambang besar, Bupati Sumba Barat bergeming.
Ia kekeh menolak pembukaan tabang di wilayahnya. Karena ia sadar, hubungan erat masyarakat dengan alam tak bisa dipisahkan hanya dengan uang sogokan.
Dengan hutan yang terjaga lestari, warga di kawasan tersebut tak akan khawatir mati kelaparan. Karena itulah, Wanggameti disebut penghalau kematian. Dalam bahasa lokal, Wangga berarti penghalau, meti artinya mati.
Pulau Sumba luasnya hanya satu juta hektar, sepertiga belas kali pulau Jawa. Pulau ini memiliki savana luas. Dua kawasan paling tinggi, Laiwangi Wanggameti bersama Tana Daru, tak hanya menjadi hulu sungai dan sumber-sumber air pulau ini, tapi juga kaya keragaman hayati.
Setidaknya 114 satuan sungai berhulu di Wanggameti dan menopang kebutuhan air sekitar 200-an ribu warga Sumba Timur dan sekitarnya. Hulu daerah aliran sungai (DAS) Kambaniru, Luku, Lunga, Luku Kanabu Wai dan Melolo berada di Wanggameti.
DAS itu memasok air irigasi dan air minum kota Waingapu, ibu kota sumba Timur. Juga kawasan sebelah utaranya yang lebih kering, serta kawasan selatan, salah satu pusat peternakan di Sumba. Ribuan Sapi, kerbau dan kuda meminum air dari berbagai anak sungai yang mengalir di tengah padang savana.Itu sebabnya Wanggameti berjuluk Paberi Wai la Ndeha Kahangga Wai Lapau, atau Sang Pembagi air.
Di Wanggameti ditemukan sedikitnya 182 jenis burung, 22 jenis mamalia, 115 jenis kupu-kupu, tujuh jenis amphibia, dan 29 jenis reptilia. Bahkan Kakatua Jambul Jingga, Rangkong Sumba, Burung Walet sarang putih dan Walik Rawamanu, serta sedikitnya 70 jenis tumbuhan hanya ditemukan di Sumba.
Tak heran banyak cerita rakyat berkaitan dengan Wanggameti. Salah satunya, cerita kuno tentang Kullu Kanuhu, seekor burung penyelamat hutan dari penjarahan. Tapi di jaman Milenium ini, ancaman kerusakan hutan Wanggameti tak hanya cerita. Terutama sejak Frans Lebu Raya, gubenur Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluarkan ijin tambang emas.
Secara sosial budaya, orang Sumba tak lepas dari tiga hal, Wai, tana dan watu. Air, tanah dan batu. Mereka percaya tanah atau bumi adalah ibu, dan langit adalah ayah. Ibu memberikan makan, ayah menurunkan air hujan. Tanah dan air memberi manusia hidup. Tak heran, nama-nama tempat di sini sebagian besar berkait dengan ketiganya.
Jika dirunut dari timur ke barat, keempat ibu kota kabupaten di pulau Sumba menggunakan nama Wai. Waingapu artinya air yang memukul-mukul, menjadi nama Ibu kota Sumba Timur. Kabupaten ini berjuluk Matawai Amahu, Pada Ndjara Hamu. Artinya mata air emas, padang penggembalaan kuda. Julukan yang merujuk Wanggameti. Sementara Waibakul, ibu kota Sumba Tengah, punya arti sumber air yang besar. Waitabula, ibu kota Sumba Barat Daya berarti air yang meluap-luap. Dan Waikabubak atau air yang meluber menjadi nama ibu kota Sumba Barat
Kampung dan nama-nama tempat keramat juga serupa. Kampung Tanarara atau tanah merah misalnya, sebuah kampung di lereng Wangameti yang tanahnya berwarna merah terang.
Watu bakul atau Batu Besar merupakan kawasan khusus tempat batu-batu yang biasanya digunakan untuk batu kubur dan nisan. Watu Karamba, tempat berkumpul, bekerja dan mendapatakan informasi secara bersamaan. Watu Karamba berarti batu yang rumit.
Hubungan manusia dan alam Wanggameti juga dibuktikan oleh tebaran kuburan kuno berukir dengan motif kuda, kerbau, penyu, buaya, perempuan dan laki-laki. Kuburan itu simbol dan status sosial keluarga, dan menjadi tempat keramat. Secara rutin, keluarga yang ditinggalkan akan mengunjungi kuburan ini, baik untuk ritual adat, maupun ziarah.
Keselarasan dengan hutan tercermin dari keyakinan yang menganggap hutan tempat bersemayamnya para leluhur. Mereka punya lahan khusus untuk berkebun dan ritual adat. Mereka mengeramatkan hulu Sungai Kapunduk, salah satu sungai besar yang mengalir di lima desa. Hulu Kapunduk tak boleh disentuh, apalagi dirusak, atau Kapunduk Pandajuagaru-Kalaulak Kandangngu.
Dua puncak pegunungan tertinggi di Pulau Sumba berada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Manupeu Tana Daru. Kini kedua kawasan ini terancam dibongkar tambang emas. Ijin tambang itu sudah ada sejak 1997 atas nama Broken Hill Property (BHP) dari Australia. Setahun kemudian warga menolak kehadiran tambang emas itu. Kontrak Karya BHP diputus pemerintah pada 2008.
Tapi diam-diam, setahun sebelum dicabut, Frans Lebu Raya memberi ijin Kuasa Pertambangan pada PT Fathi Resources, luasnya 346.500 hektar. Rencana tambang berada di tiga titik Tana Daru, Lamboya dan Masu. Namun, keluarnya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 menuntut penyesuaian menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas maksimal 100 ribu hektar.
Kini, peta IUP menyisakan dua titik, proyek Masu dan Tana Daru, luasnya 99.970 hektar melintas dua Taman Nasional dan tiga kabupaten: Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kini 80 persen saham perusahaan dimiliki Hillgrove Resources, Australia.
Bupati Sumba Barat, Jubilate Pandango menolak rencana tambang emas ini. Ia mengaku akan disuap Rp 5,8 Miliar oleh perusahaan tambang yang tak mau ia sebutkan namanya (KBR86H/0806). Dewan perwakilan Rakyat NTT pun merekomendasikan mencabut ijin tambang. Berbeda dengan sikap Bupati Sumba Tengah – Umbu S Pateduk, yang justru getol mendukung Tambang, setali Bupati Sumba Timur.
Eksplorasi dimulai kembali tahun lalu, perusahaan baru menyelesaikan pengeboran di sekitar desa Wanggameti. Markas mereka di sana dijaga Brimob. Kini titik eksplorasi bergeser ke desa Karipi. “Kami menolak, tapi kepala desa ngotot menginjinkan perusahaan masuk,” ujar Markus Djangga Dewa, mantan Kepala Sekolah Dasar Karipi. Sejak 2010, beragam aksi dilakukan warga dan para aktivis menghentikan tambang emas ini. Mulai demo, dialog dengan pemerintah dan DPRD hingga pemblokiran kawasan tambang.
Di Karipi, ada 15 titik bor yang disiapkan perusahaan, tersebar di kaki hingga puncak bukit. Perusahaan membuka jalan yang lebarnya sekitar 1,2 meter. Makin banyak titik, makin banyak jalan dibuka, dan permukaan tanah yang dikupas. Pembukaan ini beresiko longsor, seperti yang terjadi pada pengeborannya di desa Wanggameti, yang tanah-tanahnya mudah longsor.
Pengeboran direncakan Juni 2011. “Sepertinya tertunda karena bor mereka dibakar warga di Sumba Tengah. Alat itu dibakar karena pemuda di sana memaksa untuk dipekerjakan di tambang. Digeser Agustus depan”, ujar Umbu Tamuama, salah satu pekerja PT Fathi Resources.
Alat pengeboran yang dimaksud terbakar pada April 2011 di desa Praikaroku Jangga. Perusahaan menuduh warga yang melakukan. Kini empat warga dikenakan wajib lapor. Keempatnya menyaksikan alat tersebut terbakar sebelum mereka datang ke sana.
Tapi tindakan warga beralasan kuat. Perusahaan tak pernah mendapat ijin dari pemilik tanah setempat dan tak punya dokumen Amdal, syarat penting sesuai UU Minerba. Apalagi sebulan sebelumnya warga sudah bersurat pada Bupati Sumba Tengah, mereka menolak lahannya diusik. Sikap warga didukung Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS).
Orang Sumba tak bisa lepas dari Tanah, air dan batu. “Sebagian besar kami petani, dan kami membutuhkan tanah dan air sebagai syarat bertani,” ujar Markus Toru, Ketua Majelis GKS Laloka setelah ibadah Peringatan kenaikan Isa Almasih, pekan lalu di Sumba Tengah. Wilayah mereka berdekatan dengan TN, Manupeuh Tana Daru.
Warga menyadari, Wanggameti sang pembagi Air dan Tana Daru – tanah labil harus diselamatkan dari tambang emas. Jika tidak, masa depan mereka terancam. Apalagi, menurut Organisasi PBB yang mengurusi Penggurunan, NTT merupakan salah satu dari tiga wilayah di Indonesia yang rentan penggurunan (UNCCD). Luas hutannya juga terus menyusut drastis, tinggal 10 persen, dan tiap tahun propinsi ini mengalami defisit air. (Siti Maimuna).
* Penulis Siti Maimunah (Badan Pengurus JATAM, Tim Kerja Perempuan & Tambang (TKPT), dan Koordinator Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim (CSF) ) & Umbu Wulang (NTT)